Bagaimanakah Laku Puasa Katolik Yang Sebenarnya?

924
3/5 - (5 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Ada imam yang mengatakan bahwa puasa Katolik itu bukan soal makan dan minum. Lalu, mengapa ada peraturan soal makan dan minum, misal makan kenyang satu kali sehari? Bukankah pantang berkaitan dengan makan dan minum? Mengapa 40 hari? Bukankah dari Rabu Abu sampai Jumat Agung lebih dari 40 hari?

Aloysius Siswantoro, Kediri

Pertama, pernyataan puasa Katolik itu bukan soal makan dan minum harus diartikan bahwa dalam berpuasa, yang terpenting bukan soal jasmaniah, karena hal ini hanyalah sarana mencapai suatu tujuan. Maka, soal tidak makan dan tidak minum, tidak boleh dijadikan lebih penting daripada tujuan dari puasa itu sendiri. Puasa haruslah merupakan ungkapan pertobatan dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan sesama.

Dengan mengorbankan kenikmatan makanan dan minuman, kita membuat diri kita “lapar” akan Tuhan dan kehendak-Nya. Puasa membuat kita lebih terbuka dan peka terhadap kuasa Allah yang membebaskan dari keterlekatan kepada dosa, memperkuat sikap tegas kita melawan nafsu dosa, dan menyembuhkan luka-luka dosa. Tujuan batiniah inilah yang harus lebih diperhatikan dan ditekankan dalam menjalankan puasa.

Kedua, tujuan batiniah untuk mendekatkan diri kepada Allah tetap perlu diungkapkan secara lahiriah- jasmaniah, karena kita adalah makhluk berjiwa badan. Tirakat dan keprihatinan dengan tidak makan dan tidak minum mewujudkan dan mengkonkretkan niatan batiniah dan keseriusan kita untuk mendekatkan diri kepada Allah. Karena itu, tetap dibutuhkan peraturan Gereja sebagai acuan berkaitan dengan makan dan minum, meskipun hal ini bukan tujuan akhir berpuasa. Tirakat dan keprihatinan ini mengingatkan kita agar selama masa Prapaskah ini, makanan yang disediakan juga cukup sederhana, tak berlebihan, baik kuantitas maupun kualitasnya.

Peraturan puasa dalam Gereja Katolik adalah peraturan yang berlaku bagi semua tingkatan usia, mulai dari yang termuda sampai tertua. Maka, peraturan ini sifatnya minimal. Puasa dalam Gereja Katolik wajib dilakukan dua kali selama masa Prapaskah, yaitu Rabu Abu dan Jumat Suci.

Puasa berarti boleh makan kenyang satu kali dalam sehari, sedangkan pada kesempatan lain boleh makan sedikit, tidak sampai kenyang. Persyaratan yang minimalis ini tentu bisa ditingkatkan melalui prakarsa pribadi, misal makan dan minum hanya dilakukan satu kali saja, bukan dua kali, dan di luar itu sama sekali tidak makan. Puasa juga bisa dilakukan bukan hanya dua kali, tapi sepanjang masa Prapaskah, selama 40 hari. Praktik puasa yang hanya makan satu kali dan selebihnya tidak makan dan minum itu sangat mirip dengan puasa Islam, tetapi tanpa sahur.

Ketiga, menurut ajaran Gereja Katolik, pertobatan kita “hendaknya jangan hanya bersifat batin dan perseorangan, melainkan hendaknya bersifat lahir dan sosial-kemasyarakatan.” (SC 110). Ungkapan lahiriah tak makan dan tak minum saja belum cukup, jika tidak diungkapkan secara sosial-kemasyarakatan, seperti yang diungkapkan Nabi Yesaya, “Berpuasa yang Kukehendaki, ialah supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan tali-tali kuk, supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk, supaya engkau memecah- mecahkan rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri!” (Yes 58:6-9). Tindakan-tindakan konkret diungkapkan bersama dalam Aksi Puasa Pembangunan (APP).

Keempat, puasa 40 hari masa Prapaskah kita ini didasarkan puasa Yesus selama 40 hari sesudah pembaptisan- Nya (KGK 538-540; 2043). “Oleh masa puasa selama 40 hari setiap tahun, Gereja mempersatukan diri dengan misteri Yesus di padang gurun.” (KGK 540). Ada 40 hari biasa dari Rabu Abu sampai Sabtu Paskah. Hari Minggu tidak dihitung, karena itu Hari Tuhan.

Petrus Maria Handoko CM

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here