Apakah Yang Dimaksud Liturgi Epifani?

1612
4.5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Saya ibu rumah tangga yang biasa mendoakan ibadat pagi dan ibadat sore. Mengapa dalam antifon Kidung Maria ibadat sore II saat Pesta Penampakan Tuhan dikatakan bahwa pesta itu merayakan kedatangan para majus, pembaptisan di Sungai Yordan, dan perkawinan di Kana, padahal liturgi Misa hari itu hanya merujuk kedatangan tiga orang majus? Apalagi jika dilihat bahwa Pesta Pembaptisan Yesus dirayakan pada Minggu berikut?

Leni Cahyani Gunawan, Blitar

Pertama, mari kita terlebih dulu mengerti makna pesta itu. Kata “Penampakan Tuhan” berasal dari bahasa Yunani, theophaneia (Ind: teofani) atau alternatifnya, epiphaneia (Yun) atau epifani yang secara harafiah berarti penampakan yang mencolok. Dalam Perjanjian Lama kata “epifani” digunakan dalam 2Mak 15:27 untuk merujuk penyataan diri Allah Israel, sedangkan dalam Perjanjian Baru digunakan dalam 2Tim 1:10 untuk merujuk kelahiran Kristus atau penampakan-Nya sesudah kebangkitan dan kemudian lima kali lainnya merujuk kepada kedatangan-Nya yang kedua. Jadi, Pesta Penampakan Tuhan (Epifani) ini merayakan penyataan (penampakan) martabat Ilahi dari Allah Putra dalam diri Yesus dalam peristiwa- peristiwa hidup-Nya sebelum kebangkitan. Untuk mengerti hal ini, perlu mengerti “momen penampakan” yang ditampilkan masing-masing pengarang Injil.

Kedua, kita harus ingat bahwa kebangkitan Yesus membawa para murid mengenali Yesus sebagai Allah. Dengan membedakan antara realitas martabat ilahi Yesus dan pengenalan para murid akan martabat itu, Injil tertua (Markus) memindahkan “momen penampakan” martabat Ilahi itu dari kebangkitan ke saat pembaptisan. Itulah sebab, rujukan tertua dari tahun AD 215 oleh St Klemens dari Aleksandria,merayakan pembaptisan Kristus sebagai Epifani. Saat pembaptisan itu diwahyukan jati diri ilahi Yesus, “Engkaulah Anak-Ku yang Ku-kasihi, kepada-Mulah Aku berkenan” (Mrk 1:11).

Ketika Injil Matius dan Lukas semakin dikenal lebih luas, “momen penampakan” dipindahkan dari saat pembaptisan ke saat kelahiran Sang Allah Putra, sehingga Pesta Penampakan Tuhan merayakan kelahiran Allah Putra. Tetapi, Gereja Barat kemudian memindahkan pesta kelahiran Sang Allah Putra menjadi 25 Desember. Untuk tetap mempertahankan Pesta Penampakan Tuhan, maka diambillah kunjungan orang Majus. Persembahan dupa yang dibakar untuk menghormati Allah, dipandang sebagai “momen penampakan” yang menyatakan martabat ilahi Yesus.

Injil Yohanes memindahkan “momen kristologis” dari saat kelahiran ke pre- eksistensi Allah Putra. Maka “momen penampakan” dirujuk ke saat historis perjamuan di Kana, yaitu pada saat Yesus mengubah air menjadi anggur. Mukjizat itu menampakkan martabat ilahi dari Yesus sebagai Putra Allah.

Maka, pada catatan sejarah dari abad IV dikatakan bahwa pesta Epifani merayakan empat peristiwa, yaitu kelahiran Kristus, pembaptisan-Nya,kedatangan orang Majus, dan mukjizat di Kana. Komentar para Bapa Gereja pada sekitar abad IV juga sudah merujuk ke empat “momen penampakan” martabat ilahi Putra Allah dalam diri Yesus.

Ketiga, menurut catatan sejarah pada 336, perayaan Natal sudah dilakukan pada 25 Desember (bdk. HIDUP No. 51, 17 Desember 2006). Maka, pesta Penampakan Tuhan hanya merayakan tiga “momen penampakan”, yaitu kedatangan orang Majus, pembaptisan Yesus, dan mukjizat di Kana. Antifon Kidung Maria pada ibadat sore II yang dirujuk dalam pertanyaan merupakan peninggalan masa lalu.

Pada 1955, Paus Pius XII mengadakan reformasi liturgi. Ia mengadakan pesta Pembaptisan Tuhan secara terpisah, yaitu sesudah Minggu Epifani. Akibatnya, Pesta Penampakan Tuhan hanya fokus kepada kunjungan tiga orang Majus dengan tiga macam persembahan mereka. Mukjijat di Kana digunakan dalam Injil pada hari Minggu sesudah Pesta Pembaptisan Tuhan. Inilah keadaan liturgi kita saat ini.

Petrus Maria Handoko CM

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here