Maria Bukan Dewi Kesuburan

623
Ilustrasi (Dok. wallpapersafari.com)
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COM Romo, saya sempat membaca sebuah buku, dikatakan bahwa masih banyak umat Katolik khususnya di Jawa yang memandang figur Maria sama dengan sosok Dewi Sri. Apakah keduanya bisa dianggap sama?
Maria Natia, Solo

Dewi Sri dipandang sebagai dewi kesuburan, dewi padi dan sawah. Bahkan tidak jarang dia ditempatkan sebagai pelindung kehidupan. Sosok ini menurut banyak ahli berangkat dari tradisi Jawa kuno, maka sering dikatakan berasal dari mitos lama, dengan beberapa variasi kisah yang menceriterakannya. Tentu penggambaran ini tidak bisa dilepaskan dari kultur agraris yang tumbuh dalam tradisi masyarakat, sesuatu yang tidak lagi sangat kuat di tengah dominasi budaya industri dan urban dewasa ini.

Dalam beberapa penggambaran, Dewi Sri diperlihatkan sebagai putri cantik dengan wajah anggun dan teduh. Bisa jadi penggambaran ini dekat dengan tradisi budaya, sebab memang hidup manusia ditopang oleh pangan, dan tanah yang subur, terlebih bagi pertanian, merupakan lukisan ideal akan tanah Jawa yang subur, menopang kehidupan serta kesejahteraan. Bahkan tidak jarang Dewi Sri dipandang sebagai personifikasi tanah,
karena tanah adalah yang “melahirkan” tanam-tanaman yang “melahirkan” kehidupan bagi umat manusia.

Ibu Maria digambarkan pula sebagai Hawa baru, yang menumbuhkan dan melindungi kehidupan, karena dialah yang mengandung dan melahirkan Penyelamat, yang membebaskan umat manusia dari belenggu dosa dan maut. Kitab Kejadian menuliskan saat Allah memberi nama perempuan pertama dengan nama Hawa, dikatakan bahwa dialah yang menjadi ibu semua yang hidup (Lih. Kej. 3:20). Kitab Wahyu memberi gambaran tentang seorang perempuan yang mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki yang akan menggembalakan semua bangsa. Perempuan itu diserang oleh naga besar dan mengerikan, namun bisa selamat dan bahkan dilindungi oleh Allah, hingga naga itu kalah, namun tidak mau menyerah karena masih terus dengan marah memburu perempuan itu akan tetapi tidak pernah berhasil (Lih. Why. 12:1-17). Kitab Wahyu melanjutkan penggambaran tentang seorang perempuan yang duduk di atas singgasana,
memandang langit baru dan bumi baru (Lih. Why. 21:1-27).

Upaya untuk menggambarkan secara dekat atau sejajar antar dua pribadi bisa dimaklumi, karena bagaimana pun umat manusia membutuhkan ilustrasi penjelas. Akan tetapi selalu bisa memuat bahaya kalau lalu menidentifikasikan secara sama dua pribadi yang berbeda, dengan latar belakang kisah tuturan serta tradisi yang berbeda. Oleh karena itu bisa memuat penyederhanaan atau upaya-upaya yang sekadar penyesuaian kalau Ibu Maria begitu saja disamakan dengan Dewi Sri. Akan tetapi lebih mungkin kalau penggambaran tentang Dewi Sri dipakai sebagai pengantar atau penggambaran awal untuk berbicara tentang Ibu Maria.

Memang Maria melahirkan mengandung dan melahirkan Yesus, akan tetapi Maria bukanlah dewi kesuburan dan pelindung kehidupan, sebab hanya Tuhanlah, bukan manusia, pelindung kehidupan, sebab Dia sendiri adalah kehidupan itu (Lih. Yoh. 14:6), bahkan roti hidup (Lih. Yoh. 6:25-59), dan memberikan kesuburan (Lih. Kis. 14:17). Maria mengantar umat manusia sampai kepada Sumber Hidup, bukan berhenti pada dirinya sendiri atau memuja dirinya sendiri, lepas dari Tuhan. Dia menjaga kehidupan, tidak mengutuk apalagi mengancam bila ada yang tidak berkenan baginya. Bahkan kisah mukzijat pertama di Kana menggambarkan tentang Maria yang peduli agar segalanya dapat berjalan dengan baik (Yoh. 2:1-11). Maria itu perempuan biasa, manusia yang sama dengan kita semua, bukan seorang dewi, karenanya mengajarkan tentang bagaimana kita sebagai manusia hidup di hadapan Allah, dengan segala pergulatan jerih lelah di tengah kehidupan nyata, sebab hidup kita secara utuh ini adalah persembahan (sesaji) nyata bagi Allah, pemilik kehidupan ini.

Bagi saya Maria lebih lengkap daripada Dewi Sri, sebab Maria itu hidup dan nyata serta masih menyertai kita hingga kini. Menggambarkannya seperti Dewi Sri bisa dibuat, namun
sebagai pengantar untuk menggambarkan Ibu Maria, namun menyamakannya begitu saja bisa malahan memiskinkan pengenalan kita akan sosok Bunda Maria.

HIDUP NO.21, 23 Mei 2021

 

Romo T. Krispurwana Cahyadi, SJ 
(Teolog Dogmatik)

 

Silakan kirim pertanyaan Anda ke: [email protected] atau WhatsApp 0812.9295.5952. Kami menjamin kerahasiaan identitas Anda.

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here