WILLIE KOEN BERPULANG, LEBIH YESUIT DARI YANG LAINNYA

823
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COM – K. Hardjasudarmo atau dikenal sebagai Willy Koen, linguis dan penerjemah ratusan judul buku sebagian besar tentang Ignatius Loyola, Kamis 14 Juli pukul 21.10 meninggal dengan tenang dalam usia 85 tahun. Jenasahnya setelah dimakamkan di Rumah Duka Adian Nasonang Raya, Bekasi, Jumat siang dikremasi di Cilincing, Jakarta Utara. Ketika sedang disemayamkan, di Kapel Ignatius Jakarta diselenggarakan Misa arwah konselebrasi secara online yang dipimpin Romo Andang L. Binawan, SJ; Romo Heru Hendarto, SJ; dan Romo Koko Siswijayanto, SJ.

Tekun bekerja sampai akhir, demikian warisan almarhum yang mengesankan seperti disampaikan wakil keluarga Julius Wiwied, sebelum Misa dimulai, Romo Andang dalam khotbahnya dan Romo Heru dalam testimoni setelah Misa dan pemberkatan jenasah.

Sebagai orang beriman, kematian bukan akhir segala-galanya, tetapi awal dari kehidupan. Hidup bukan dilenyapkan. Karena itu kosa kata berpulang jauh lebih bermakna dari yang lain. Sebagai pribadi yang pernah menapaki panggilan hidup sebagai pastor, Willie Koen menghayati dan menghidupi semangat Yesuit. “Almarhum walaupun bukan seorang Yesuit tetapi lebih Yesuit dari yang lainnya,” kata Romo Andang. “Puluhan buku dia baca tentang Ignatius Loyola dan spiritualitas Yesuit dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.”

Berpulang menurut Romo Andang adalah kosa kata yang memuat makna yang lebih kaya. Dengan kaca mata iman, dengan meninggal kehidupan manusia diselamatkan, dan masuk dalam kehidupan baru. Oleh karena itu, ketika sepanjang hidupnya almarhum bertekun dalam ranah buku, membaca dan menerjemahkan buku-buku kehidupan rohani utamanya tentang Ignatius Loyola, meninggal baginya adalah kepulangan kepada Sang Pencipta.

Memang sudah setahun terakhir, demikian V. Koenmaryonohadi, adik almarhum, “Pakde sudah tidak menerjemahkan lagi. Dia duduk membaca-baca, hampir sebagian besar buku yang dibaca tentang Santo Ignatius Loyola. Setelah empat tahun tidak menerjemahkan, empat hari sebelum meninggal, Pakde duduk di depan laptop, mau meneruskan menerjemahkan buku Francis Xavier yang sudah dimulai sejak beberapa tahun lalu.”

Kesaksian tentang tekun bekerja dan metekut dengan yang dikerjakan dan ditekuni, berhenti ketika Tuhan memanggilnya pulang, digambarkan seperti nasihat Rasul Paulus pada Timotius, murid kesayangannya yang dipercaya dan dikasihi. “Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan telah memelihara iman”. ( 2 Timoteus 4:7).

Willie Koen, demikian Romo Hendarto dan Julius, spontan mengingat kutipan itu. Beberapa waktu sebelumnya, ketika mengantar Komuni untuk almarhum, sehabis acara selesai Romo Heru  masih diajak bercakap-cakap panjang lebar tentang buku-buku yang dibaca dan diterjemahkan. “Pak Willie memang tak kenal berhenti kerja, dan lebih Yesuit dari yang lainnya,” ujarnya.

Minat dalam Bahasa-bahasa

Dalam kesaksian yang disampaikan secara online dari Wisma Emaus, Girisonta, Julius Kardinal Darmaatmadja, SJ, teman seangkatan, mengungkapkan almarhum sebagai teman dekatnya. Ketika Willie Koen sudah mundur dari SJ, komunikasi di antara mereka terus berjalan teratur.

Menurut Kardinal, Willie Koen seorang pribadi tidak bekerja setengah-setengah, berminat besar dalam bahasa-bahasa, karena itu menjadi salah satu anggota tim penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia resmi terbitan Depdikbud.

Keseriusan almarhum dalam menekuni bahasa-bahasa, juga diungkapkan Winoto Doeriat, rekan yang bersama-sama masuk seminari menengah di pinggir Kali Code tahun 1950 dan masuk Novisiat SJ tahun 1957 di Girisonta. Sama-sama belajar di IKIP Sanata Dharma, Willie di Jurusan Bahasa Indonesia, Winoto di Pendidikan. “Mas Willie berkemauan keras dan kuat. Dengan anugerah itu ia menulis dan menerjemahkan banyak buku. Di Mertoyudan dulu, ia siswa paling suka belajar, maka nendang bola selalu melenceng terus. Kalau diskusi dan debat, sering dia yang benar dan menang, tetapi solusinya sering kaku. Setelah keluar, cintanya pada Yesuit semakin besar.”

Riwayat Hidup Ignatius Loyola, “Master Piece”-nya

Lahir, 23 November 1935,  sebagai anak kedua dari tujuh bersaudara di Desa Warak, ayahnya Hardjosudarmo, selain F. Padmowasito (ayah Sr. Franceline CB, alm), dikenal sebagai dua perintis kehadiran umat Katolik di Desa Warak, Sumberadi, Mlati, Sleman, kurang lebih 12 kilometer Utara Kota Yogyakarta atau satu kilometer Utara Cebongan. Sehari-hari profesi mereka guru, tetapi senyampang itu aktif sebagai katekis. Tentang Desa Warak, selain tentang Ignatius Loyola, hingga meninggalnya menjadi perhatian Willie Koen. Saat ini hampir seluruh warganya Katolik, memiliki sekolah menengah yayasan Katolik dan sudah berdiri sebagai paroki sediri, Paroki Warak dengan Gereja St. Petrus, sudah sejak beberapa tahun lalu lepas dari Paroki Mlati, Gereja St. Aloysius.

Beberapa tahun lalu, saya pernah diajak menulis buku tentang ketokohan F. Padmowarsito. Saya setuju, tetapi sebaiknya juga Hardjosudarmo, bapaknya. Mengapa? “Sebab Pak Padmowarsito yang  lebih aktif merintis di Desa Warak juga Desa Cebongan, Pak Hardjosudarmo selain Cebongan juga Warak. Mereka saling memperkaya dan mendukung.” Sering bertemu dengan almarhum Willie Koen dalam berbagai urusan, terutama dalam soal rencana pencarian sponsor penerbit untuk bukunya tentang Papua,  rencana menulis kedua tokoh itu terlupakan. Dalam setiap bertemu, percakapan kami diisi dengan topik tentang Ignatius Loyola. Sampai suatu saat, ketika terbit buku perayaan syukur peresmian Paroki Warak, almarhum menyatakan kekecewaannya.

Tahun 2018 ketika E.S. Kristie, anak satu-satunya meninggal—menyusul Ibu Agata Sri Elani, istrinya, almarhum menunjukkan kopian buku berjudul Francis Xavier pada saya. Dia bilang menargetkan tiga tahun selesai menerjemahkan buku tebal berbahasa Prancis itu. Dia memberikan buku terjemahan bahasa berjudul Ignatius Loyola. Pendiri Serikat Jesus. Riwayat Hidup dan Karyanya karya Candido de Dalmases SJ. Buku yang sangat tebal, padat dan ketat dalam penerjemahan.

Menurut Kunmaryonohadi, buku sampul merah itulah yang selalu dikempit, dibawa-bawa ketika keluar dari kamar kerjanya. Kepada banyak orang buku itu dibagikan dengan pesan agar dibaca, agar dipahami siapa Ignatius Loyola, bangsawan Spanyol, pendiri Serikat Yesus (SJ) abad ke-16, pemimpin transformatif yang mengubah dunia, yang tidak berasal dari politisi atau pebisnis, tetapi dari seorang agamawan. Buku ini memang salah satu dari buku-buku tentang ketokohan Ignatius Loyola termasuk Latihan Rohani, salah satu warisannya sebagai rumus perubahan pribadi yang hebat dan dengan itu membentuk karakter seorang pemimpin.

Almarhum Willie Koen (lengkapnya Willibrordus Koenarto) sangat menyayangi buku terjemahan biografi Ignatius Loyola, boleh dikatakan master piece karyanya. Oleh karena itu menurut Kunmaryonohadi, buku itu diikusertakan masuk dalam peti jenasah. Selain dua buku Ignatius Loyola dan Francis Xavier (1506-1552), dua judul buku lain, buku peringatan 50 Tahun Romo P. Wiryono SJ dalam Serikat Yesus (asal Warak) dan Christianity and the Religions karangan Jacques Dupuis SJ. Buku, membaca dan menerjemahkan adalah dunia dan habitat kehidupan almarhum. Sebelum menekuni kegiatan menerjemahkan, beberapa buku tebal sudah pula dia lakukan,  di antaranya buku tentang Asmat dan tentang Papua. Dan, ketika aktif menangani penerbitan buku-buku rohani Katolik untuk anak di Tira Pustaka tahun 1977-1991, almarhum memulai era beredarnya buku-buku terjemahan dan saduran buku-buku rohani untuk anak yang dicetak dalam format mewah, sebelum banyak beredar buku-buku serupa.

Sugeng tindak sowan Gusti, Pak Willie Koen!

St. Sularto, Wartrawan Senior, Kontributor

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here