web page hit counter
Jumat, 5 Desember 2025
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Hari Studi Struktural 2025: Penguatan Supervisi Formal dan Informal untuk Meningkatkan Pelayanan Pendidikan

Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – Yayasan Tarakanita Wilayah Surabaya mengadakan Hari Studi Struktural (HSS) dengan tema Strengthening Academic & Clinical Supervision di Aula Lantai 3 Tarakanita Development Center Surabaya, 24/11/2025. 

Kegiatan ini dihadiri oleh seluruh struktural unit sekolah dan dibuka oleh Margaretha Ilin Ubayanti, Kepala Bagian Personalia Yayasan Tarakanita Wilayah Surabaya. 

Ia menegaskan pentingnya peran struktural dalam menciptakan suasana belajar yang efektif, humanis, dan mendukung tumbuh kembang peserta didik. 

Pada kesempatan ini, Suster Imelda Nadeak CB, Kepala Yayasan Tarakanita Wilayah Surabaya, mengajak seluruh struktural memberi pendampingan yang maksimal melalui kegiatan supervisi pada guru-guru agar pelayanan yang diberikan semakin optimal. 

“Karena dengan memberikan pendampingan yang maksimal, dapat membantu guru untuk melaksanakan tugas perutusannya dengan baik,” tegasnya.

Pada sesi pertama, Beatrice menekankan bahwa supervisi harus dipahami sebagai bagian dari proses pengembangan profesional guru, di mana struktural memainkan peran penting untuk memastikan bahwa sekolah menjadi tempat yang aman, nyaman, dan kondusif bagi pembelajaran. 

Baca Juga:  Dalam Misa di Beirut, Paus Leo: Bebaskan Hati Kita untuk Membawa Perdamaian dan Keadilan ke Lebanon

Supervisi, menurutnya, merupakan kegiatan untuk mengkoordinasikan dan membimbing guru sehingga proses belajar mengajar berjalan lebih efektif dan efisien, serta setiap keputusan perbaikan pembelajaran dilakukan berdasarkan data yang diperoleh dari proses pengamatan.

Shita Shopianingreki (berdiri) menjelaskan pra-observasi, observasi, dan pasca-observasi.

Ia menguraikan bahwa supervisi pembelajaran memiliki dua bentuk utama, yaitu supervisi formal atau supervisi klinis, serta supervisi informal. Supervisi formal dilakukan melalui tahapan pra-observasi, observasi, dan pasca-observasi, di mana setiap tahap saling melengkapi. 

Pada tahap pra-observasi, supervisor dan guru membangun suasana terbuka sekaligus mengkaji rencana pembelajaran, tujuan, metode, media, serta kondisi kelas. Pada saat observasi, supervisor mengumpulkan data mengenai pelaksanaan pembelajaran menggunakan instrumen delapan lensa yang mencakup aspek seperti iklim pembelajaran, pengelolaan kelas, metode pengajaran, hingga kemampuan berpikir tingkat tinggi. 

Setelah itu, tahap pasca-observasi digunakan sebagai ruang dialog untuk membahas temuan secara objektif, menganalisis perkembangan, serta menyepakati tindak lanjut perbaikan pembelajaran.

Dalam sesi berikutnya, Shita menjelaskan bahwa supervisi bukan sekadar kegiatan penilaian, melainkan proses pendampingan yang bertujuan untuk membuat guru lebih berkembang dan percaya diri dalam mengajar. 

Baca Juga:  Pesan Paus di Rumah Sakit di Lebanon: Kita Tidak Boleh Melupakan Mereka yang Paling Rapuh

Ia menampilkan data persepsi guru terkait pengalaman supervisi yang menunjukkan bahwa hampir seluruh guru sudah pernah disupervisi, meskipun frekuensi pelaksanaannya masih bervariasi. Sebagian besar guru merasa nyaman hingga senang ketika kepala sekolah masuk kelas, meski terdapat pula yang masih merasa grogi. 

Data tersebut juga menunjukkan bahwa para kepala sekolah telah melakukan kunjungan ke kelas di luar jadwal supervisi formal, meskipun intensitasnya belum seragam.

Berdasarkan hasil temuan tersebut, Shita menekankan bahwa supervisi yang baik harus dilaksanakan melalui tiga tahapan, yaitu pra-observasi, observasi, dan pasca-observasi, yang semuanya harus disampaikan secara tertulis agar tidak ada tahapan yang terlewat. 

Ia menambahkan bahwa supervisor perlu memastikan suasana tetap nyaman bagi guru selama proses supervisi berlangsung, sehingga dialog dan refleksi dapat terbangun secara terbuka. Selain itu, instrumen supervisi perlu disosialisasikan kepada seluruh guru agar semua memiliki persepsi yang sama tentang proses supervisi. 

Umpan balik hendaknya diberikan maksimal dalam waktu 1×24 jam, sehingga guru mendapatkan informasi perbaikan yang cepat, konkret, dan relevan. Ibu Shita menegaskan bahwa supervisi adalah kebutuhan yang wajib dilaksanakan karena berdampak langsung pada kualitas pembelajaran dan perkembangan peserta didik.

Baca Juga:  Kongregasi FCh Rayakan 34 Tahun Kemandirian dan Hidup Membiara di Palembang

Sementara itu, supervisi informal dilakukan secara singkat, spontan, dan dapat terjadi kapan saja sepanjang hari sekolah. Supervisi ini tidak menggantikan supervisi formal, tetapi menjadi sarana penguatan positif bagi guru. Melalui supervisi informal, struktural dapat memberikan apresiasi, mendengar kebutuhan guru, serta mencatat satu atau dua hal penting yang dapat langsung ditindaklanjuti.

Kegiatan Hari Studi Struktural ini mempertegas bahwa supervisi akademik dan klinis bukan sekadar formalitas administratif, melainkan proses pendampingan profesional yang harus dilakukan secara konsisten, humanis, dan berbasis data. 

Dengan penguatan supervisi melalui tiga narasumber, Yayasan Tarakanita Wilayah Surabaya berharap mutu pembelajaran di seluruh unit sekolah semakin meningkat dan mampu menghasilkan peserta didik yang unggul, berkarakter, dan siap menghadapi masa depan.

Laporan Nathan Tidiend Haripraditya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles