web page hit counter
Jumat, 5 Desember 2025
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Pertemuan Katolischer Akademischer Ausländer-Dienst (KAAD): Jembatan Ilmu, Iman, dan Solidaritas Pangan

5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COM – UDARA Semarang yang sejuk dengan gerimis tipis menyambut kedatangan para peserta Pertemuan Katolischer Akademischer Ausländer-Dienst (KAAD), Jumat sore, 24 Oktober 2025. Dari berbagai penjuru mereka datang—ada yang dari Jakarta, Yogyakarta, Magelang, Jombang, Klaten, hingga Solo. Peserta dari daerah sekitar Semarang tiba lebih awal, sementara rombongan dari ibu kota baru tiba menjelang malam akibat hujan lebat di sepanjang perjalanan.

Satu per satu peserta melakukan registrasi dan check-in di WUJIL Resort & Convention Centre, tempat berlangsungnya pertemuan selama tiga hari dua malam. Suasana hangat segera terasa. Triyanti, selaku Ketua Panitia, bersama Celine Widjojo, Ketua KONTAK Alumni KMKI (Keluarga Mahasiswa Katolik Indonesia), menyambut setiap tamu dengan senyum bersahabat.

Ketua Panitia Pertemuan KAAD, Triyanti

Kehangatan yang Menyatukan

Pertemuan KAAD kali ini diikuti oleh 75 peserta, tidak hanya dari Indonesia, tetapi juga dari Jerman, Filipina, dan Vietnam. Acara pembuka dimulai dengan makan malam bersama, yang menjadi momen perkenalan dan pelepas lelah setelah perjalanan panjang. Menu yang disajikan khas Nusantara: dari nasi gurih hingga lauk pedas manis yang menggugah selera. Namun yang paling menarik perhatian adalah kudapan tradisional Semarang — lumpia, mochi, dan wingko babat — yang membuat peserta dari luar negeri terpana oleh kelezatannya.

Dalam suasana hangat penuh tawa, Celine Widjojo membuka acara dengan sambutan penuh rasa syukur. Ia menegaskan tujuan utama pertemuan ini: mempererat tali alumni KAAD dan KMKI, membangun jaringan, serta membantu adaptasi bagi mereka yang baru kembali dari studi di Jerman. “Sejak berdiri tahun 1983, kegiatan alumni selalu fleksibel, tanpa target muluk. Yang penting, kita tetap terhubung dan saling menguatkan,” ujarnya.

Sambutan berikutnya datang dari Pastor Simon Petrus Lili Tjahjadi, yang mewakili peserta. Ia menyampaikan harapan agar seminar esok hari menjadi wadah berbagi ilmu dan inspirasi lintas negara. Lalu Triyanti, Ketua Panitia, mengajak seluruh peserta memperkenalkan diri satu per satu—momen yang sederhana namun hangat, mempertemukan wajah-wajah baru dan lama dalam satu semangat. Suara angklung kemudian mengiringi pembukaan resmi, menandai dimulainya pertemuan KAAD 2025 dengan harmoni khas Indonesia.

Baca Juga:  Hari Studi Struktural 2025: Penguatan Supervisi Formal dan Informal untuk Meningkatkan Pelayanan Pendidikan

Ketahanan Pangan

Sabtu pagi, 25 Oktober 2025, menjadi inti kegiatan: Seminar bertema “Food Security for Southeast Asia Despite Climate Change and Conflict.” Tema ini mencerminkan keprihatinan dan komitmen global terhadap isu ketahanan pangan di tengah perubahan iklim dan dinamika geopolitik yang kian kompleks.

Acara dibuka secara resmi oleh Pastor Hans Langendorfer, SJ selaku Presiden KAAD. Dalam sambutannya, ia menekankan bahwa KAAD bukan sekadar program beasiswa, melainkan “jembatan antara kearifan lokal dan wawasan global.” Pendidikan, katanya, bukan hanya soal ilmu, tetapi juga soal solidaritas dan tanggung jawab sosial. Pandangan ini disambung oleh Nora Kalbarczyk selaku Sekretaris Jenderal KAAD, yang mengingatkan bahwa ilmu pengetahuan sejati harus melahirkan kepercayaan dan kolaborasi antara Sains, Gereja, dan Masyarakat.

Empat Sesi, Satu Semangat

Seminar berlangsung penuh dari pukul 09.00 hingga 18.00 WIB, dengan empat sesi diskusi mendalam.

Sesi Pertama: Agropolitik dan Kebijakan Global. Moderator Osa Hartoyo memimpin sesi pertama dengan pembicara Marcus Schoter dari Kedutaan Besar Jerman di Jakarta. Ia membahas topik “Global Food Security and the Role of Veterinary Public Health System” yang menyoroti pentingnya sistem kesehatan hewan dalam menjaga rantai pangan global. Sedangkan Djeimy Kusnaman dari Universitas Jenderal Soedirman, yang berhalangan hadir, diwakilkan untuk menyampaikan paparannya tentang kebijakan pertanian dan agropolitik.

Sesi Kedua: Kebijakan Sosial dan Tata Guna Lahan. Moderator Juliana Murniati memimpin sesi yang menggali hubungan antara kebijakan sosial, kedaulatan pangan, dan stabilitas ekologi. Wisnu Pradoto dari Universitas Diponegoro memaparkan tentang “Kedungsepur 2045 – Lumbung Pangan Jawa Tengah”, gagasan pembangunan food hub terintegrasi. Sementara Budi Widianarko dari Universitas Katolik Soegijapranata menyampaikan strategi transformasi sistem pangan perkotaan untuk mitigasi iklim dan pertumbuhan inklusif. Ia menegaskan, “Kunci ketahanan pangan adalah partisipasi: literasi, potensi lokal, kolaborasi, dan regulasi.”

Sesi Ketiga: Peternakan dan Urban Farming. Moderator Fifi Sutanto-Darmadi membuka sesi dengan tema “Poultry Industry and Urban Farming – Two Ways to Solve One Problem.” Achmad Damadi dari Japfa Group berbicara tentang tanggung jawab ekologis dalam industri unggas, sementara Pius Sugen Prasetyo dari Universitas Katolik Parahyangan Bandung menyoroti pertanian perkotaan di Bandung sebagai contoh penerapan ekonomi sirkular dan ketahanan pangan dari kota untuk kota.

Baca Juga:  Pesan Paus di Rumah Sakit di Lebanon: Kita Tidak Boleh Melupakan Mereka yang Paling Rapuh

Sesi Keempat: Laut, Ikan, dan Tantangan Kebijakan. Moderator Anna Jessica memimpin sesi terakhir yang berfokus pada perikanan dan sumber daya laut. Regina Bacalso dari Universitas Rhode Island, Filipina membawakan materi “Navigating the Tides: Philippine Fisheries, Biodiversity, and the Struggle for Food Security”, menyoroti kolaborasi antara LSM dan komunitas nelayan dalam menjaga keanekaragaman hayati laut. Penutup disampaikan oleh Antonius J. Supit dari PT Sreeya Sewu Indonesiad an dari CSIS yang menguraikan tantangan kebijakan pertanian dan pentingnya sinergi antara pemerintah dan sektor swasta. “Pangan adalah isu strategis daerah, bukan hanya urusan pusat,” tegasnya. “Kepala daerah perlu menciptakan lapangan kerja sesuai potensi wilayahnya.”

Seminar ini berlangsung dengan lancar berkat kesiapan panitia yang profesional. Setiap sesi dilengkapi dengan layar digital untuk terjemahan simultan dalam tiga bahasa—Jerman, Indonesia, dan Inggris sehingga komunikasi antar peserta lintas negara berjalan mulus. Diskusi berlangsung hidup. Tidak ada peserta yang meninggalkan ruangan.  Semua larut dalam tanya jawab yang penuh semangat hingga sore hari.

Lebih dari sekadar forum akademik, seminar ini menumbuhkan kesadaran baru: ilmu pengetahuan harus berpihak pada mereka yang kecil dan lemah. Alumni KAAD, sebagai bagian dari Gereja dan masyarakat, dipanggil untuk menghidupi pengetahuan mereka dalam aksi nyata.

Seorang peserta dari Solo, Kalyana Wirjono memberikan refleksi yang menyentuh. “Ketahanan pangan yang sejati harus membawa kebaikan. Ia berpengaruh pada harga, dan pada akhirnya, kesejahteraan masyarakat. Tapi penerapannya harus sesuai dengan konteks dan lingkungan kita sendiri.”

Pernyataan itu menggambarkan roh dari seluruh pertemuan, bahwa solidaritas pangan bukan wacana global, melainkan panggilan moral dan sosial bagi setiap pribadi yang telah menerima anugerah pendidikan.f

Salah satu produk kopi dari KPTT

Menyatu dengan Iman

Pertemuan tiga hari itu ditutup dengan Perayaan Ekaristi yang dipimpin oleh Pastor Hans Langendorfer, SJ dan Pastor Simon Petrus Lili Tjahjadi. Dalam homilinya, Pastor Hans mengajak para alumni untuk merenungkan panggilan mereka sebagai ilmuwan dan warga Gereja.

Baca Juga:  Bekas Mobil Paus Fransiskus Jadi Klinik Kesehatan Keliling di Gaza

“Kita diberi berkat lebih melalui pendidikan. Maka kita pun dipanggil untuk peduli, sederhana, dan berpihak pada sesama,” ujarnya penuh makna.

Misa penutup dipimpin Pastor Simon Petrus Lili Tjahjadi (kanan) Pastor Hans Langendorfer, SJ

Misa yang penuh hikmat itu ditutup dengan permainan angklung membawakan Ave Maria Schubert dan How Great Thou Art—sebuah harmoni yang indah, mengikat iman, ilmu, dan persaudaraan.

Misa diiringi dengan Angklung yang dimainkan peserta pertemuan. (Foto: Panitia)

Belajar dari Alam

Keesokan harinya, Minggu, 26/10, rombongan peserta melanjutkan perjalanan menuju Kursus Pertanian Taman Tani (KPTT) Salatiga. Di sana mereka menyaksikan bagaimana “pendidikan dan pertanian yang dihidupkan” diterapkan secara nyata. Hamparan hijau perkebunan, kolam ikan, dan kandang ternak menunjukkan keterpaduan antara spiritualitas dan profesionalitas.

Para peserta belajar tentang produksi organik berkelanjutan, dan bahkan berkesempatan memetik langsung hasil kebun seperti jeruk, jambu, serta markisa yang sedang panen.

Bagi sebagian peserta, kunjungan ini menjadi “revelasi” nyata — segala teori tentang ketahanan pangan yang mereka diskusikan kini hadir di depan mata. KAAD tak hanya memberi ilmu, tapi juga pengalaman hidup.

Sebagai penutup seluruh rangkaian acara, panitia memberikan tanda kasih kepada beberapa tokoh KAAD: Pastor Hans Langendorfer, SJ; Anselm Feldman, dan Nora Kalbarczyk. Cinderamata berupa kain tenun dan kopi liberica hasil kebun KPTT menjadi simbol persahabatan dan penghargaan lintas budaya.

Pangan adalah anugerah Tuhan yang harus dibagikan secara adil, terutama kepada mereka yang membutuhkan.

Menjadi Jembatan

Pertemuan KAAD di Semarang ini bukan sekadar reuni akademik, tetapi perjumpaan hati dan gagasan. Di tengah dunia yang kian individualistis, para alumni KAAD menunjukkan bahwa pendidikan Katolik sejati melahirkan kepedulian—bukan hanya pada riset, tapi juga pada kemanusiaan.

Dari gerimis sore Semarang hingga ladang hijau Salatiga, pesan yang tertinggal adalah sama: bahwa ilmu tanpa solidaritas hanyalah kesia-siaan, dan pangan yang berkelanjutan lahir dari hati yang bersyukur.

Hasiholan Siagian/Laporan Marcellina Elfiana dari Semarang/Salatiga, Jawa Tengah

Sumber: Majalah HIDUP, Edisi No. 45, Tahun Ke-79, Minggu, 9 November 2025

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles