web page hit counter
Senin, 7 Oktober 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Ruang Perjumpaan Religius

4/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Manusia pada dasarnya adalah makhluk religius. Dengan cipta, rasa, dan karsa, manusia menemukan ungkapan rohani yang menjadi sumber pemersatu dengan Yang Ilahi dan sesama. Ungkapan itu bisa berarti mata air, pohon besar, dan gunung yang dihormati bersama atau ritual-ritual di sekitar kelahiran, akil balik, pernikahan, dan kematian. Indonesia sangat kaya dengan ungkapan kerohanian yang menyatukan masyarakat dalam perasaan religius yang sama.

Seiring berjalan waktu, perasaan religius itu mulai tergantikan oleh ungkapan keagamaan. Dalam konteks Indonesia, dalam periode yang cukup lama, ungkapan kebudayaan tidak selalu dianggap berlawanan dengan konsep agama-agama baru, yang datang dari luar. Bahkan simbol-simbol budaya digunakan dalam pewartaan agama.

Dalam konteks agama Katolik, salah satunya tampak dalam “Wayang Wahyu” sebagai sebuah hasil perjumpaan antara agama dan budaya. Arsitektur-arsitektur tempat ibadah juga bernuansakan budaya, sehingga seorang yang bukan Katolik tetap merasa menjadi bagian dari rumah itu mengingat ada simbol budaya mereka di sana. Selain itu, beberapa ritual budaya masih dilaksanakan bersama-sama. Warna agama tetap mengambil peran, tetapi nuansa budaya tidak dilupakan, sehingga orang yang berbeda agama tidak merasa terasing ketika terlibat di dalam ritual tersebut. Contoh lainnya adalah pakaian dalam berdoa, sapaan dalam perjumpaan, dan juga lagu-lagu dalam ritual.

Baca Juga Artikel:  Penulisan Gelar "Kardinal" di Depan atau Tengah

Seorang teoris sosial bernama Max Weber menyebut situasi ini sebagai crosscutting affiliation yang menunjuk pada keadaan di mana terjadi silang identitas antaranggota masyarakat. Orang-orang yang berbeda secara agama, belum tentu berbeda secara budaya. Orang yang berbeda secara budaya, bisa disatukan secara agama. Selain agama dan budaya, sumber pemersatu ini adalah hobi, pekerjaan, ideologi dan sebagainya.

Budaya Meredup
Dalam perjalanan waktu, agama yang sedianya menjadi satu di antara banyak sumber pemersatu, berubah menjadi agama yang hendak dijadikan satu-satunya sumber pemersatu. Itulah yang melahirkan kecenderungan menyingkirkan simbol-simbol dan ritual-ritual budaya, demi mengabdi kepada ide tentang “kemurnian agama”. Padahal konsep kemurnian agama adalah sebuah pertanyaan besar. Sebagai contoh agama kita adalah percampuran dari berbagai unsur budaya, Yahudi, Yunani, Romawi, dan dalam konteks Indonesia termasuk budaya Belanda.

Baca Juga Artikel:  "Kuasa Gelap": Demon is Real!

Dalam pengabdian kepada “kemurnian agama” itu, simbol dan ritual agama menjadi begitu kentara sehingga sumber pemersatu semakin sempit. Hal ini terlihat dari arsitektur bangunan-bangunan gereja yang semakin mengacu kepada arsitektur barat yang sangat asing bagi masyarakat sekitar. Demikian pula ritual-ritual budaya diganti dengan perayaan Ekaristi, sehingga membuat orang di luar agama kita enggan untuk datang karena merasa terasing. Simbol agamanya semakin menguat, sementara simbol budaya semakin melemah. Apakah ini berarti kemenangan agama atas budaya? Sayangnya tidak, mengingat hubungan antara agama dan budaya itu seperti tanaman yang ditanam dalam tanah. Keduanya saling mempengaruhi dan sejauh tidak saling berlawanan, saling berjalin berkelindan agar berbuah bagi kemanusiaan.

Baca Juga Artikel:  "Kuasa Gelap": Demon is Real!

Konferensi para Uskup Asia (The Federation of Asian Bishops’ Conferences/FABC) menegaskan bahwa Gereja perlu melibatkan diri dalam tiga cabang dialog, agar bisa menemukan identitas di masyarakat Asia. Ketiganya adalah dialog dengan orang miskin; dengan budaya-budaya Asia; dan dengan agama-agama di Asia. Di masyarakat yang mengarusutamakan identitas agama, Gereja bisa mengingkari semangatnya sendiri untuk berdialog.

Penting untuk menemukan ruang perjumpaan religius. Ruang perjumpaan itu berada dalam wilayah-wilayah budaya. Ruang perjumpaan ini perlu menjadi salah satu pertimbangan saat membangun gedung gereja, menentukan acara-acara di paroki, atau pun mempertimbangkan apakah kegiatan doa dalam keluarga harus melibatkan perayaan Ekaristi ataukah cukup dengan doa keluarga dilanjutkan ritual budaya. Sebagai manusia religius, perjumpaan di ruang religius ini berkontribusi besar untuk persaudaraan kita.

M. Joko Lelono

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles