Salib di Gua Tengkorak

763
Para peziarah berdoa di Gua Hati Kudus Yesus.
[HIDUP/Yusti H. Wuarmanuk]
3.7/5 - (3 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Tempatnya berdekatan dengan tengkorak-tengkorak yang dianggap keramat. Gua Hati Kudus Yesus menjadi ikon masyarakat Fordata dalam menghayati iman dan misteri Allah.

Tengkorak manusia berserakan di mana-mana. Masyarakat Sofyanin, Kepulauan Tanimbar, Maluku Tenggara Barat (MTB) menyebut tempat itu dengan sebutan vidu yang berarti ‘tempat keramat’. Sampai kini, tidak sembarang orang bisa masuk di tempat itu. Hanya nuhu duan yang berarti ‘orang kampung’ tertentu yang bisa ke situ. Tempat ini selain dianggap keramat juga menjadi tempat berlindung ular-ular besar yang dianggap “penjaga” tengkorak-tengkorak. Konon, tengkorak-tengkorak itu adalah nenek moyang masyarakat Fordata yang meninggal karena wabah penyakit atau dibunuh dalam perang antarkampung di Kepulauan Fordata, MTB.

Melewati tempat itu diharapkan tidak sembarangan berbicara kasar, tidak berbohong, tidak mencabut rumput, dan banyak pantangan lainnya. Beberapa kali ada orang yang didapati meninggal di tempat tersebut atau hilang berhari-hari karena dianggap melanggar pantangan-pantangan yang ada.

Thobias Wattu, seorang tua adat Sofyanin mengatakan, hanya orang yang hatinya bersih, jujur, rajin berdoa, dan tidak pernah berzina yang bisa ke tempat itu. “Bagi masyarakat Sofyanin, vidu adalah jalan untuk menguji seseorang itu benar atau tidak. Bila dirinya benar, maka dia akan selamat, tetapi bila terkena musibah, maka perlu memikirkan lagi perbuatan masa lalu yang belum selesai,” ungkap Thobias.

Ziarah Iman
Vidu berdiri di atas sebuah tanjung Lauritun, sebagai pintu masuk melalui laut ke Desa Sofyanin. Di Lauritun, ada sebidang tanah milik rarun atau ‘mata rumah’ Walerang. Sampai saat ini masih ada seekor ular mas (nif masa) yang dianggap milik rarun Walerang. Setiap dua atau tiga tahun sekali keluarga ini akan memberi makan ular tersebut. Makanannya bisa berupa warworat atau ‘bubur biji sukun’ dan telur ayam kampung. Pada malam hari, sesajen tersebut diantar dan keesokan harinya mereka pergi dan mengambil piring-piring kosong. Dan ketika seseorang bertemu dengan ular mas tersebut diharapkan tidak melukai dan membiarkan saja karena dianggap jelmaan nenek moyang keluarga Walerang.

Suasana angker ini mulai sedikit hilang sekitar tahun 1986. Frater Jhon Bosco CMM merasakan bahwa vidu sebagai tempat nenek moyang seakan menjadi tempat keramat. Karena itu, Frater Bosco menyumbang sebuah salib Yesus yang dipesan dari Dharma Karya Sangkal Putung, Klaten, Jawa Tengah. Salib yang berukuran tujuh meter tersebut ditempatkan dekat tempat tengkorak-tengkorak tersebut menghadap Laut Arafura. “Saya menyaksikan bahwa vidu itu adalah bekas kampung lama. Dalam perkembangan, banyak orang Sofyanin takut ‘bertemu’ nenek moyang mereka. Padahal dalam iman Katolik, mereka telah meninggal tetapi kebaikan hati mereka perlu diingat. Karena itu saya memberikan salib sebagai sarana doa bagi arwah nenek moyang Sofyanin,” ungkap Frater Bosco.

Dionisius Fangori mengingat saat ia memasang salib Yesus itu. Ia menambahkan, tujuan utama dibangunnya salib di tempat itu agar masyarakat tidak mengkultuskan tempat tersebut. Fangori menjelaskan, masyarakat Fordata menyebut Yang Ilahi sebagai Ubula’a yang berasal dari kata Ubu; yang berarti ‘leluhur’, dan kata Ila’a; yang berarti ‘agung’ atau ‘besar’. Dengan ini dapat disimpulkan, Yang Ilahi oleh masyarakat Fordata. Tidak saja Tuhan tetapi juga para leluhur yang mendiami Lanit Vavan yang berarti ‘dunia’ dan Lere-Vulan atau ‘Matahari’-‘Bulan’. “Jadi perpaduan Ubula’a adalah refleksi masyarakat Fordata tentang Ubu Nusin atau leluhur yang sama perannya sebagai penguasa seluruh aspek kehidupan manusia baik bercocok tanam, sakit penyakit, kehidupan di darat, laut, kehidupan bawah tanah maupun kesejateraan manusia,” jelasnya.

Fangori melanjutkan, setelah salib Yesus terpasang, beberapa tahun kemudian dibangun Gua Hati Kudus sekitar lima meter dari salib tersebut. Gua ini berdiri berkat swadaya masyarakat Sofyanin dan pemerintah desa. Di atas gua tersebut tertulis sebuah kalimat, “Jadikanlah Hati Kami Seperti Hati-Mu”. Kalimat ini diambil dari spiritualitas kelompok doa Kongregasi Apostolat, yang mengembangkan devosi khusus kepada Hati Kudus Yesus.

Faustinus Raatkey, Ketua Apostolat menambahkan, Gua Hati Kudus ini dipercayakan kepada Kongregasi Apostolat karena semangat yang dihidupi Apostolat. Segala sesuatu baik kebersihan dan pengelolaan diatur oleh Apostolat. Biasanya setiap Jumat pertama diadakan Ibadah Sabda atau Misa di Gua Hati Kudus ini. Lambat laun, tempat yang dulu dianggap keramat kini berubah wajah menjadi tempat wisata rohani bagi banyak orang yang ingin dekat dengan Tuhan.

Mukjizat Kesetiaan
Saat ini, kompleks Gua Hati Kudus ini hampir tidak bisa menampung para pendoa dan peziarah yang datang dari berbagai tempat. Ada yang datang dari Jakarta, Papua, Ambon, Kalimantan, Sumatera, bahkan pernah dikunjungi para peziarah dari Australia, Timor Leste, Belanda, Papua Nugini, dan beberapa negara lain.

Kepala Paroki St Petrus Awear-Sofyanin, Pastor Paul Fangohoi MSC mengatakan, banyak orang percaya ketika berdoa di tempat tersebut akan diberikan karunia. Mereka juga akan diberi damai dalam rumah tangga, terhibur dari penderitaan, berkat dalam usaha, dan mengalami kekuatan di saat jiwanya lemah. “Meski terlihat tidak terawat dan angker tetapi Yesus dalam Gua Hati Kudus itu telah banyak memberikan mukjizat kepada para peziarah,” ujar Pastor Paul.

Pastor Paul melanjutkan, satu hal yang menarik adalah nilai kultus di Gua Hati Kudus ini. Mengingat wisata rohani ini dekat dengan wilayah keramat vidu. Selalu ada rasa penasaran bahwa ditempat ini orang bisa menyaksikan dua hal yang berbeda: dunia iman dan dunia misteri. Vidu, demikian Pastor Paul, yang dianggap sarana membantu orang menjadi benar dipuncaki dalam Ekaristi dan doa kepada Hati Kudus Yesus. Bila seseorang pernah berbohong, tidak setia pada pasangan, atau korupsi, mengunjungi vidu pasti segala perbuatan jahatnya itu diketahui banyak orang lewat tanda diri atau keluarganya sakit. Lewat nuhu duan, orang tersebut akan dianjurkan untuk mengikuti Misa di Gua Hati Kudus tersebut. “Inilah mukjizat pertobatan para peziarah yang datang ke tempat tersebut,” jelas Pastor Paul.

Karena dekat dengan vidu, banyak orang kerapkali mengenal tempat ini sebagai “gua tengkorak”. Suasana tenang dengan pemandangan lautan lepas membuat tempat ini selalu tidak sepih. Ada peziarah yang hanya sekadar ingin melihat tempat tengkorak-tengkorak tersebut, tetapi ada juga yang benar-benar ingin berdoa. Sayang, ada aturan agar tidak mengambil gambar maupun video tengkorak-tengkorak tersebut. Setiap kali para peziarah memasuki kompleks gua tersebut akan melihat sebuah tulisan, Iki mane nberubah bisa nsiik Ya’a, ‘Siapa yang mau bertobat bisa melihat Aku’.

Keunikan tempat doa ini lantas menarik minat Popy Vilopy, seorang gadis asal Bandar Lampung. Bersama pacarnya, Popy berangkat dari Bandar Lampung dan tiba di Saumlaki, MTB lalu melanjutkan perjalanan ke kepulauan Fordata. Tujuan utama Popy adalah untuk menghadiri gawai akbar 100 tahun Gereja Katolik masuk Pulau Fordata.

Tetapi, kesempatan ini lalu dimanfaatkan umat Paroki St Liduina Bandar Jaya, Keuskupan Tanjungkarang ini untuk berdoa di Gua Hati Kudus. Ia mendengar informasi tentang tempat ini dari imam MSC asal Tanimbar. Ia mendengar, bahwa tempat ini bisa digunakan untuk menguji kejujuran pasangan. “Agustus 2018, kami akan menikah. Maka tidak salah bila kami datang untuk membuktikan kesetiaan kami. Meskipun terdengar aneh tetapi saya percaya banyak pasangan merasakan hal yang sama dengan kami. Dan Puji Tuhan, kata nuhu duan hubungan kami baik-baik saja. Katanya kami sudah siap untuk menikah,” cerita perempuan kelahiran 10 November 1987 ini.

Yusti H. Wuarmanuk

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here