Anastasia Elisa Herman : Pendamping Pasien Menyongsong Maut

740
Tebar Kebahagiaan: Elisa bersama seorang pasien hospice yang ia rawat.
[NN/Dok.Pribadi]
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Mendampingi pasien menjelang ajal menjadi salah satu pelayanan yang setia dihidupinya. Ada kebahagiaan tersendiri kala ia bisa menemani dan mempersiapkan pasien menghadapi akhir hidup mereka.

Sedari kecil, Anastasia Elisa Herman tumbuh dan dirawat ibunya dengan bimbingan seorang bidan. Tak pernah terbersit dalam benaknya, ia akan menjadi seorang bidan dan perawat. “Saya dulu sempat ingin menjadi artis. Seiring waktu, saya bercita-cita menjadi hakim, dan kemudian berubah ingin menjadi detektif,” ungkapnya diiringi senyum.

Alhasil, bidan dan perawat menjadi profesi yang ia geluti. Elisa justru banyak menangani pasien hospice. Hospice ialah perawatan bagi pasien ‘terminal’ (stadium akhir) yang tak diperlukan lagi pengobatan pada penyakitnya. Perawatan ini bertujuan untuk meringankan derita dan rasa tak nyaman pasien. Biasanya perawatan ini diperkirakan kurang dari enam bulan.

Pengalaman merawat pasien hospice turut menguatkan pelayanannya sebagai perawat. Bahkan, hal itu menumbuhkan tunas-tunas kebahagiaan di taman hatinya. Elisa berusaha mendampingi dan mempersiapkan pasien menjelang ajal. Ia berharap, secercah kebahagiaan bisa diteguk pasien sebelum memasuki alam lain, kematian.

Selain mendampingi pasien, Elisa juga menguatkan dan mendampingi keluarga pasien. Ia berusaha agar keluarga pun ikut terlibat untuk menemani anggota keluarga mereka yang sedang menyongsong maut.

Tak Boleh Sekolah
Elisa merupakan anak kelima dari sembilan bersaudara. Sejak TK hingga SMP, ia menempuh pendidikan seperti anak-anak lainnya. Ia menghabiskan waktu studinya di Sekolah St Maria Pekanbaru, Riau. Ia menggantung cita-citanya setinggi langit, mulai dari artis, hakim, hingga detektif. Namun, mimpinya pupus. Sang ayah tak sepakat.

“Saya tidak bisa melanjutkan ke SMA. Ayah tidak mengizinkan saya. Padahal saya ingin terus sekolah,” kisahnya. Bagi sang ayah, anak perempuan tak perlu sekolah tinggi. “Kalau laki-laki baru perlu,” tegas sang ayah, seorang veteran pejuang kemerdekaan Republik Indonesia.

Dalam keluarganya, budaya patriarkal masih sangat kental. Anak laki-laki lebih diprioritaskan untuk mengeyam pendidikan. Sementara anak perempuan dianjurkan untuk belajar memasak dan menjahit saja.

Larangan sang ayah sempat menyisakan perasaan sedih. Batinnya pun tertekan. Namun, kobar semangat untuk berpendidikan tinggi lantas membara kembali. Ia seolah tak mengindahkan larangan sang ayah.

Sebelum lulus SMP, Elisa memutar otak mencari cara agar bisa mengumpulkan uang untuk melanjutkan pendidikan. Ia mulai memberi les pada orang Tionghoa yang buta aksara, anak-anak SD, dan juga SMP. Ketika mengajar orang buta huruf, ia menggunakan Bahasa Hokkian, salah satu dialek Bahasa Cina dari Provinsi Fujian di Cina daratan (RRC). Tiap kali mereka membaca atau menulis, Elisa menjelaskan artinya dalam Bahasa Cina. Setelah mereka menguasai alphabet, ia mulai mengajarkan kata-kata yang mudah.

Selain memberi les, Elisa berjualan baju yang dijahit sang kakak, maupun yang ia ambil dari orang lain. Ia berjualan dari rumah ke rumah. “Saya jual ke kenalan-kenalan orangtua, saudara. Dari mereka, saya dikenalkan ke tetangga-tetangga dan orang-orang lain,” ujarnya. Hal itu ia lakukan sejak duduk di kelas 1 SMP hingga memasuki bangku SMA tanpa sepengetahuan sang ayah.

Takut Jenazah
Lulus SMA, Elisa tak lagi berani menggenggam mimpi menjadi hakim atau detektif. Ia mencari pendidikan yang bisa ia bayar dengan uang yang ia miliki. Saat itu, ia disarankan melanjutkan ke bidang keperawatan dan kebidanan. Ternyata sang ayah mendukung keinginan putrinya itu.

Elisa kemudian melanjutkan studi ke Sekolah Pendidikan Perawat-Bidan RS Sint Carolus Jakarta (1977-1981). Serta merta keraguan merayapi hatinya. Ia ingin melanjutkan di Akademi Keperawatan. Namun, ia justru terdampar di Sekolah Bidan-Perawat. Meski demikian, keinginan untuk terus maju dan berpendidikan tinggi berhasil menepis keraguannya. “Kalau itu jalan bagi saya, akan saya jalani,” kata perempuan yang kemudian hari mengikuti program penyetaraan D3 Kebidanan ini.

Setelah empat tahun merampungkan pendidikan, Elisa bekerja sebagai bidan di RS Sint Carolus Jakarta selama 10 tahun (1981-1991). Ia juga melayani di beberapa rumah sakit di ibukota. Selain menjadi bidan, ia bekerja sebagai perawat di beberapa rumah sakit.

Walaupun telah menjadi bidan dan perawat, rasa takut terhadap jenazah tak mampu ia halau. Sejak kecil, Elisa takut terhadap jenazah lantaran orangtuanya selalu melarang seluruh buah hatinya untuk melihat jenazah, baik langsung maupun tak langsung. Orangtuanya beralasan agar mereka tak diganggu roh jahat di sekitar jenazah. “Maka nyali saya menciut begitu mendengar ada orang meninggal,” ujarnya.

Menemani dan Mendoakan
Pengalaman menjadi perawat hospice yang ia lakoni di Negeri Paman Sam perlahan memudarkan rasa takutnya. Doa menjadi kekuatan yang menopang untuk mengusir rasa takut yang membelenggunya. “Saya berdoa agar saya tidak menjumpai saat pasien mengalami sakratul maut,” katanya sambil tertawa. Akan tetapi, doa itu lalu tak sekadar demi mengusir rasa takut menghadapi jenazah. “Saya selalu mendoakan mereka yang saya rawat agar memperoleh keselamatan di bumi dan akhirat,” kata ibu dua anak ini.

Tiap malam Elisa berdoa untuk pasien yang dirawatnya. Salah satu doa yang ia daraskan ialah Rosario. Kala menjadi bidanpun, ia tak alpha mendaraskan doa dalam membantu proses persalinan. Ia berdoa bagi ibu dan bayinya. Kebiasaan bertelut dalam doa juga mengisi kehidupan pribadinya. Tiap pagi dan malam, ia menyediakan waktu untuk berkawan hati dengan Sang Khalik.

Ketika merawat para pasien, Elisa berusaha mendisposisikan diri sebagai pasien yang ia rawat. “Saya menempatkan diri sebagai pasien. Saya ingin diperhatikan, dibantu, dihargai, ditemani dan dibuat merasa nyaman,” tandasnya.

Pengalaman puluhan tahun menjadi perawat bagi pasien hospice, mendampingi orang menjelang ajal, membuatnya seakan mampu merasa dan peka jika pasien yang ia dampingi akan meninggal. Biasanya Elisa akan mempersiapkan agar pasien itu mendapatkan “keinginan terakhirnya”.

Tak ketinggalan, pendampingan pada keluarga pasien pun setia ia libati. Harapannya, mereka mengerti apa yang harus dilakukan ketika menghadapi anggota keluarga di akhir hidupnya. Berdoa bagi pasien itu menjadi salah satu cara yang ia pegang teguh. “Doa itu penting! Juga bagi para pasien menjelang ajal mereka. Maka doakanlah mereka agar tidak ada ganjalan. Mereka bisa meninggal dengan tenang dan bahagia,” beber perempuan yang menuangkan pengalamannya sebagai bidan, perawat, dan pendamping pasien hospice, dalam dua buku berjudul “Bersahabat dengan Ajal” (2013) dan “Love, Life, Heaven” (2014).

“Saya merasa bahagia ketika bisa merawat, dan juga mendampingi orang menjelang ajalnya. Kebahagiaan itu saya syukuri dan mesti kita sebarkan kebaikan pada semakin banyak orang,” tutur perempuan kelahiran Pekanbaru, 1 Mei 1959 ini. Ia mengaku, sederet pengalaman bersama pasien hospice membuatnya kian tabah dan menciptakan mata air kebahagiaan. “Saya percaya, mereka juga mendoakan di alam sana,” imbuhnya.

Elisa pun memeluk keyakinan untuk senantiasa mengandalkan Tuhan sebagai sandaran dan sumber kekuatannya. “Saya serahkan semua kepada-Nya. Sebagai manusia, saya tidak punya apa-apa dan bukan siapa- siapa tanpa campur tangan Tuhan.” Ia percaya, Tuhan tak henti mendampingi tiap langkahnya selama menapaki peziarahan hidup dan pelayanan tulus pada orang lain.

Maria Pertiwi

HIDUP NO.19, 11 Mei 2014

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here