Eustasia Ellen Setyawati dan Y.B. Priyanto Budi Margono : Bukan Kesuksesan tapi Perjuangan

562
Elen, Antok, dan Bagas.
[NN/Dok.Pribadi]
4/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Memiliki anak berkebutuhan khusus butuh perjuangan ekstra. Ada makna dari segala peristiwa.

Kebahagiaan menyelubungi Eustasia Ellen Setyawati dan Y.B. Priyanto Budi Margono. Lima bulan setelah mereka menikah, Ellen mengandung. Ellen dan Antok, sapaan sang suami, tetap menjalani aktivitas seperti biasa. Ellen menjadi sekretaris direksi di sebuah hotel di Bali. Sementara Antok sebagai manajer divisi informasi dan teknologi di sebuah hotel di pulau yang sama dengan sang istri.

Suatu hari, Ellen mendapat laporan, 66 staf di hotel tempatnya bekerja keracunan makanan. Mereka pun dilarikan ke rumah sakit. Berdasarkan hasil penyelidikan, penyebab kejadian tersebut adalah ikan kembung. Ikan yang dibeli pihak hotel ditangkap dengan menggunakan racun potas.

Ellen terkejut. Dia tersadar bahwa dirinya juga ikut mengonsumsi ikan tersebut. Nasi telah menjadi bubur. Tak berselang lama, Ellen merasa mual dan pusing. Menurut teman temannya, dia kemudian pingsan dan dilarikan ke rumah sakit. Di sana, dia dan jabang bayinya diobeservasi. Nahas, detak jantung buah hatinya melemah.

Ini Anugerah
Ellen dan Antok bersyukur nyawa buah hati mereka tertolong. Pihak medis pun mengizinkan Ellen kembali ke rumah. Begitu tiba di rumah, saat duduk di teras, Ellen tiba-tiba ingin pipis. Ia bergegas ke kamar mandi. Ternyata bukan air seni yang keluar melainkan ketubannya pecah. Usia kehamilan Ellen saat itu delapan bulan.

Ellen kembali dilarikan ke rumah sakit. Dia mengalami kontraksi hebat selama 12 jam. “Lemas kayak mau mati,” keluh Ellen, mengenang kejadian kala itu.

Ellen dan Antok kembali bersyukur, persalinan berlangsung secara normal, meski Andreas Bagas Eko Setyaputra, nama lengkap buah hati mereka, keluar dini dari rahim. Tubuh Bagas menguning. Dokter mendeteksi, anak tersebut menyandang down syndrome. Sebagai orangtua baru, Antok panik. Beruntung, orangtua banyak membantu dia dalam merawat sang buah hati.

Kondisi Bagas masih terlihat layu kendati sudah beberapa hari keluar dari rumah sakit. “Lemas kaya tanaman ngga pernah disiram, padahal makanan dikasih terus,” tutur Ellen menggambarkan kondisi putranya waktu itu.

Ternyata, Bagas mengalami kebocoran jantung. Dokter bilang, status jantung Bagas adalah Atrial Septal Defect (ASD), yakni ada lubang di sekat serambi jantung sehingga darah kotor dan bersih yang kaya akan oksigen tercampur.

Antok teringat kembali saat pemulihan putranya setelah melahirkan. Dokter mengindikasikan terdapat masalah dengan jantung Bagas. Praktis rutinitas sehari-hari tidak jauh dari rumah sakit. Hampir tiap minggu, Bagas masuk ke Unit Gawat Darurat (UGD). “Pertama, kami harus fokus menutupi (kebocoran) jantung dia,” ujar Antok.

Biaya rumah sakit tak murah. Sementara mereka juga dalam perjuangan menata ekonomi keluarga. Namun bagaimana pun, keselamatan anak adalah yang utama.

Dokter juga menyarankan untuk membawa tali pusar untuk dites di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Setelah penantian dua pekan, Antok mempertanyakan penyebab putranya menyandang down syndrome. “Kalau dites genetic sih orangtuanya ga ada masalah. Jadi kesimpulannya (anak) ini adalah anugerah,” kata Antok. “Kita terima aja. Kita ga mau narik-narik masalah ini ke keluarga, tak ingin mencari “kambing hitam”. Diterima saja,” ucapnya.

Ledakan Bom
Dua bom meledak di Paddy’s Pub dan Sari Club di Jalan Legian, Kuta, malam 12 Oktober 2002. Ledakan itu hanya berjarak lima kilometer dari hotel tempat Ellen bekerja. Peristiwa yang dikenal dengan nama Bom Bali I menyebabkan para turis dieksodus dari pulau. Bisnis pariwisata sontak sepi. “Kami sebagai orangtua baru, punya anak pertama, merasa putus asa dan waswas. Campur aduk. Stres banget,” kenang Ellen.

Di tengah kekalutan luar biasa, Ellen merasakan pertolongan Tuhan. Suami-istri teman orangtua Ellen menelepon. “Len, saya dengan Tante Cecil. Saya denger dari mama, katanya anakmu sakit ya? Saya mau Sincia (Imlek). Saya mau donasi buat Bagas. Bisa gak bawa Bagas ke Jakarta?” ucap Ellen menirukan Cecil Darmoko.

Cecil dan Paul, suaminya, menjamin segala kebutuhan pengobatan Bagas asal bersedia ke Jakarta. Ellen pun berdiskusi dengan Antok dan akhirnya sepakat untuk ke Jakarta. Mereka menempuh jalur darat dengan bus waktu itu.

Tiba di Jakarta, Bagas didaftarkan dalam sebuah kegiatan donasi sehingga bisa dioperasi di Singapura. Setelah mendapat sponsor, Bagas pun dijadwalkan untuk operasi di sana. Ellen dan Antok pun kebingungan soal ongkos berangkat ke Negeri Singa. Berkat bantuan orangtua, mereka bisa ke Singapura. Di tengah penerbangan, Bagas muntah. Dia demam tinggi selama di Singapura.

Sejumlah rumah sakit mereka sambangi. Dokter tak bisa mengambil tindakan selama Bagas masih demam. Perawatan pun akhirnya difokuskan untuk menyembuhkan demam. Uang di dompet menipis. Antok dan Ellen menyiasati hidup di Singapura dengan makan dan minum seirit mungkin. “Makan bacang aja,” ucapnya sambil terkekeh

Ellen merasa sudah lelah berdoa saat itu. Di tengah putus harapan, sekelompok mahasiswa kedokteran menghampiri dan meminta izin untuk mengobservasi Bagas. Ia mengaku kala itu sudah tidak berpikir jernih karena kurang makan dan minum. “Ga lama kita dikasih semacam makanan siap saji plus amplop berisi duit,” ungkap Ellen.

Dia tertegun, hanya mampu bersyukur kepada Tuhan. Ellen mengaku, ada saat dia tertekan berat hingga hanya mampu berdoa di gereja dan menangis di altar. “Tuhan, saya cape banget. Ambil Bagas deh, saya udah berusaha (tapi) ga dapet jalan,” keluhnya, lirih.

Belum selesai sampai di situ, SARS atau sindorm pernapasan akut mewabah di Singapura. Karena inilah Bagas tidak jadi operasi jantung. Keluarga pun kembali ke Jakarta. Bagas dibawa ke rumah sakit di Tanah Air untuk perawatan demamnya. Baru beberapa hari kembali ke rumah, Bagas masuk lagi ke rumah sakit untuk operasi jantung.

Bagas mampu bertahan di ruang Intensive Care Unit (ICU). Proses operasi hingga pemulihan memakan waktu sepuluh hari, dia sama sekali tak mengalami komplikasi. “Di ruang tunggu ICU saya bilang, inilah rencana Tuhan, kita harus pelihara anak ini,” ungkap Antok.

Permasalahan yang datang bertubi-tubi sempat membawa Ellen dan Antok ke dalam persimpangan jalan antara melanjutkan pernikahan atau menyudahi. “Lalu kami merenungkan sendiri masing-masing. Ada (ketemu) Romo Chris Purba SJ. Kami ikut retret pasutri, ME (Marriage Encounter) akhirnya mulai mencair semua. Lebih baiklah skala relasinya,” aku Antok.

Dia merasa bahwa Tuhan meminta untuk menjalani hidupnya dengan baik. “Kalau kita sampai melakukan sesuatu yang tidak baik, bukan (saja) merusak kita sebagai relasi suami-istri, tapi juga merusak masa depan anak, jiwa anak juga,” terangnya.

Antok senantiasa berusaha tersenyum dalam segala situasi. “Dengan senyum ada acceptance, kepasrahan, (dan) keyakinan. Sementara itu, bersyukur dengan apapun yang diterima, percaya terhadap pasangan, serta menjalin komunikasi adalah kunci mempertahankan pernikahan,” pesannya.

Dua Rupa
Memakai kemeja beserta celana warna putih, dasi kupu-kupu warna hitam, Bagas maju ke depan altar Gereja Santa Perawan Maria Ratu Blok Q, Keuskupan Agung Jakarta. Dia menerima Komuni untuk pertama kali. Antok dan Ellen berdiri di samping Bagas saat mencelupkan hosti ke dalam cawan berisi anggur. Dia kemudian memasukkan hosti tersebut ke dalam mulutnya. “Waktu (hosti) itu dimakan, (rasanya) luar biasa. Dia ganteng banget. Dan bisa menerima dua rupa itu amazing buat kami,” seru Ellen sembari tersenyum.

Ellen dan Antok merasa bahwa momen tersebut paling membanggakan selama 17 tahun mengasuh buah hati. Ellen tak menampik bahwa anak-anak dengan kebutuhan khusus (ABK) kurang mendapat perhatian Gereja. Dia bersyukur bahwa Paroki Blok Q menginisiasi kelas Komuni Pertama bagi anak ABK. Bagas angkatan pertama.

Saat ini Ellen dan Antok turut aktif dalam Seksi Kerasulan Keluarga, memberi pembekalan kepada calon pasutri yang kelak akan membangun rumah tangga. “Saya ingin hidup saya juga bisa berbagi buat Gereja dengan apapun yang bisa saya lakukan,” tutur Ellen, ketika ditemui di kediamannya di Jakarta Selatan, Selasa, 6/11.

Elisabeth Chrisandra J.T.D.

HIDUP NO.46 2018, 18 November 2018

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here