Anakku Penyuka Sesama Jenis

1032
[americamagazine.org]
3/5 - (4 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Pengasuh, belum lama ini anak kami membuat pengakuan kepada saya dan suami. Anak kami mengakui, dirinya memiliki ketertarikan kepada sesama jenis. Kami kaget sekaligus merasa bersalah bahwa saya dan suami baru mengetahui hal itu saat dia sudah dewasa. Kami ternyata kurang memperhatikan kondisi anak kami.

Menurut pengakuan anak kami, dirinya sudah memiliki ketertarikan kepada sesama jenis sejak SMP, namun masih dalam batas wajar. Sejak SMA hingga kuliah, perasaan tersebut sering ia redam dan muncul sesekali dengan pelampiasan menonton video kemudian masturbasi. Semenjak kuliah sudah mencoba berbagai media sosial untuk mendapatkan teman gay untuk ngobrol dan pacaran.

Namun, di tengah jalan, muncul rasa bersalah dan takut dalam dirinya. Semua media sosial dihentikan, pacar diputuskan sepihak dan berusaha menjauhi dunia tersebut. Namun selang beberapa bulan perasaan tersebut kembali muncul. Ia membuka lagi komunikasi dan sosmed dengan komunitas sesama jenis, berpacaran kembali hingga melakukan aktivitas seks.

Ia mengaku, setelah itu muncul lagi rasa takut, salah, hina, dan depresi. Bahkan, ia mengaku ingin mengakhiri hidupnya karena telah mengecewakan dan membuat kami malu. Kami tak ingin hal buruk menimpa anak kami. Kami juga berharap bisa mengarahkan orientasi seksual anak kami sesuai norma yang berlaku di masyarakat dan ajaran agama. Mohon saran pengasuh. Terima kasih.

Yohana Mediatrix, Jakarta

Ibu Yohana terkasih, saya dapat merasakan kekagetan dan kesedihan Ibu dan suami ketika anak laki-laki Ibu yang telah dewasa mengakui bahwa dirinya tertarik, berpacaran, hingga melakukan hubungan seksual dengan sesama jenis (gay). Sebagai orang tua, tentulah hati Ibu pedih ketika mendengar putra Ibu bercerita tentang perasaan bersalah, hina, depresi bahkan sampai berpikiran untuk mengakhiri hidupnya karena telah mengecewakan dan membuat orangtuanya malu.

Dari tulisan Ibu, jelas bahwa Ibu sangat menyayangi putra Ibu dan ingin membantunya. Sebelum menjawab pertanyaan Ibu, saya ingin memberikan penjelasan singkat tentang lesbian/gay karena pemahaman masyarakat umum tentang hal ini masih sangat terbatas. Seringkali kurangnya pengetahuan tentang hal ini menyebabkan banyak orang secara tak sengaja terlalu cepat menjatuhkan penilaian sepihak dan bersikap diskriminatif terhadap para gay.

Mengapa seseorang mengalami orientasi seksual LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender) belum terjawab secara tuntas sampai saat ini. Ada penelitian yang mengatakan, orientasi seksual dipengaruhi oleh kondisi endokrin pada saat bayi masih dalam kandungan. Namun ada pula yang mengatakan, hal ini dipengaruhi oleh persahabatan dengan pria gay dewasa ketika seorang remaja sedang bingung mencari identitas jendernya.

Sampai saat ini dapat dikatakan bahwa orientasi seksual LGBT ini kompleks dan masih belum dapat dipastikan penyebabnya. Namun dalam kenyataannya, para LGBT ini sering mengalami penolakan, pengucilan, ejekan, dan berbagai perlakuan diskriminatif lain dari lingkungan masyarakat, keluarga, maupun pergaulan di mana ia berada karena mereka memiliki orientasi seksual yang bertentangan dengan budaya, adat kebiasaan, norma, dan agama. Perlakuan tersebut sering menyebabkan seorang anak atau remaja yang merasa bahwa ia “berbeda” dari teman-temannya menjadi minder dan menarik diri.

Peneliti Ryan dan kawan-kawan (2009) menemukan, dibandingkan teman sebaya yang tak mengalami penolakan dari keluarga, LGBT dewasa muda yang mengalami penolakan kuat dari orangtua mereka selama masa remaja, melaporkan 8,4 kali lebih sering mengalami keinginan bunuh diri, 5,9 kali mengalami depresi berat, 3,4 kali lebih sering menggunakan obat terlarang, dan 3,4 kali lebih sering melakukan hubungan sex tak aman.

Peneliti yang sama (2010) juga menunjukkan, penerimaan keluarga terhadap anggota keluarga yang LGBT membantu melindunginya dari depresi, percobaan bunuh diri, dan penggunaan obat terlarang. Pada saat yang bersamaan penerimaan keluarga juga meningkatkan harga diri, dukungan sosial, dan kesehatan secara umum dari LGBT.

Sebenarnya sejak tahun 1973, homoseksualitas (lesbian/gay) sudah tak lagi digolongkan sebagai gangguan jiwa dalam Manual yang dikeluarkan oleh Asosiasi Psikiatri Amerika yang dijadikan acuan di banyak negara. Pada 1993, pedoman yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan RI untuk acuan di Indonesia juga tak menggolongkan homoseksualitas sebagai gangguan jiwa. Namun dalam kenyataannya, mayoritas masyarakat kita masih sering menganggap hal ini sebagai gangguan yang perlu “disembuhkan”.

Banyak keluarga, lingkungan sosial, dan lingkungan agama yang meyakini bahwa homoseksualitas dapat disembuhkan dan karena itu menganjurkan terapi konversi. Namun hasil penelitian di Amerika Serikat menunjukkan, hasil terapi konversi ini belum menunjukkan hasil yang memadai serta membutuhkan waktu yang lama.

Pada sebagian kasus, terapi ini justru membuat klien LGBT lebih menderita. Kasus-kasus yang berhasil, menunjukkan adanya keinginan untuk berubah yang sangat kuat dari si LGBT sendiri.

Ibu Yohana terkasih, sebagai orangtua, Ibu tentu menginginkan yang terbaik bagi putra Ibu. Berikut ini saya sampaikan beberapa masukan yang mudah-mudahan dapat membantu Ibu untuk menyikapi pengakuan putra Ibu sepositif mungkin.

Pertama, kemauan putra Ibu untuk menceritakan orientasi seksualnya kepada orangtua (coming out) membutuhkan keberanian. Bagaimana dampaknya akan sangat tergantung pada reaksi Ibu, ayah, dan anggota keluarga lain dalam memberikan respon. Bila memberikan reaksi negatif dengan menolak atau memaksa dia untuk berubah, kemungkinan besar putra Ibu akan semakin menderita dan merasa sendirian.

Dalam kondisi ini, kemungkinan besar dia akan kembali ke lingkungan LGBT di mana dia merasa diterima. Sebaliknya, bila putra Ibu merasa bahwa Ibu sekeluarga tetap menerima dan mengasihinya dalam kondisi sekarang, maka ia akan dapat berkembang menjadi pribadi yang lebih percaya diri dan mampu bergaul dengan lingkungan sahabatnya, baik yang non-LGBT maupun yang LGBT.

Kedua, dalam surat, Ibu mengatakan “berharap bisa mengarahkan orientasi seksual anak kami sesuai norma yang berlaku di masyarakat dan ajaran agama”. Sebagai anggota masyarakat dan gereja, Ibu tentu memiliki harapan bahwa putra Ibu juga dapat hidup sesuai dengan harapan Ibu. Namun putra Ibu sudah dewasa. Menurut hemat saya, jauh lebih penting bagi putra Ibu untuk mengetahui bahwa Ibu sekeluarga menerima dirinya apa adanya tanpa berusaha memaksanya berubah sesuai harapan Ibu sekeluarga.

Berbagai penelitian menunjukkan, dukungan keluarga sangat penting dalam membantu seorang LGBT untuk dapat menerima dan mengembangkan dirinya. Dalam hal ini akan sangat membantu bila Ibu dan anggota keluarga lain memperluas pengetahuan tentang LBGT sehingga dapat membedakan mana informasi yang benar dan mana yang keliru.

Ketiga, dengan adanya penerimaan dari lingkungan keluarga terhadap dirinya, putra Ibu juga akan terbantu untuk dapat menerima diri apa adanya. Dukungan dari seluruh anggota keluarga, akan memungkinkan putra Ibu untuk tumbuh menjadi seorang dewasa yang percaya diri, dapat mengembangkan dirinya secara positif, hidup secara bertanggungjawab serta menghindari perilaku yang berisiko.

Ibu Yohana terkasih, sebagai seorang beriman, kita percaya bahwa Tuhan Maha Baik dan mengasihi semua orang, khususnya mereka yang sangat menderita, seperti putra Ibu. Semoga melalui kasih Ibu sekeluarga, putra Ibu dapat merasakan kasih Tuhan dan termotivasi untuk mengatasi berbagai kesulitan yang dihadapinya.

Bernadette N. Setiadi

HIDUP NO.51 2018, 23 Desember 2018

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here