Selimut yang Tak Terganti

252
[ilustrasi: W.S Leo]
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – “SUDAH berapa kali aku bilang kalau aku tidak mau!” Bentaknya sebagai ucapan terakhir kalinya kepadaku. 

Marco adalah adik kecilku. Kepergian ayahnya sejak ia TK membuatnya selalu mengurung diri di rumah. Semenjak itulah ia mulai suka sekali menggambar.  Ratusan gambar telah diciptakannya tanpa kenal lelah. 

Tidak setiap gambar berhasil dilukisnya tetapi ia selalu mencoba sampai berhasil. Ayahnya dulu adalah seorang pelukis, mungkin itu yang membuatnya ingin seperti ayahnya.

Marco tidak pernah diajari melukis oleh ayahnya sekalipun. Memegang krayon saja ia tidak mau. Pernah suatu kali ayah ingin mengajarinya menggambar tetapi ia menolak dan mengatakan bahwa ia mau jadi pilot. 

Ia ingin membawa ayah dan kakaknya keliling dunia. Ayah hanya bisa menghela nafas mendukung cita-cita yang diharapkannya.
“Kak, peralatan melukis Ayah di mana?” Pintanya setelah seminggu kepergian ayah.
“Untuk apa dengan barang-barang itu?”
“Aku mau menggambar.”

Kuambilkan barang-barang Ayah semuanya dan kubantu ia untuk membawanya ke kamarnya. Aku tak pernah mengunjungi kamarnya semenjak kepergian ayah karena setiap kali aku ke kamarnya, pintu selalu dikuncinya.

Kulihat kamarnya berantakan penuh dengan gambar-gambar yang masih kacau balau. Ada beberapa gambar yang dapat ditebak oleh mataku. Gambar seseorang dipeluk seorang lelaki dan wanita itu juga memeluknya.
“Ini gambar siapa Marco?”
“Itu gambar Ayah dan Ibu sedang memeluk aku Kak.”

Tak pernah kusangka bahwa ia masih mengingat ibunya, padahal sejak lahir ia tidak pernah mendapat kasih sayang seorang ibu.
“Oh iya, besok Kakak mau ke pasar, kamu ada pesan sesuatu?”
“Tolong belikan aku peralatan menggambar ya Kak. Sayang kalau memakai krayon Ayah sebagai pemula.”

Aku sungguh bangga memiliki adik sepertinya. Aku tidak setuju kalau ia harus menjadi pelukis seperti ayahnya. Tidak semua pelukis berhasil dengan karya-karyanya. Setiap hari Ayah menghabiskan waktunya hanya untuk melukis tetapi bakatnya tidak tersalur.

Kami tinggal di pedesaan yang membutuhkan beberapa jam untuk ke perkotaan. Suatu ketika Ayah pernah menjual hasil lukisannya namun karya karyanya ditolak karena kalah saing dengan pelukis-pelukis lainnya.

Kali kedua, lukisan-lukisan Ayah diminta seorang pelukis terkenal. Lukisan-lukisan Ayah diminta dengan harga yang sangat murah. Tentu Ayah menolak permintaannya. Penolakan yang dilakukan ayah membuat dapat cacian dari pelukis itu. “Lukisanmu itu tidak indah.”

Alhasil jerih payah Ayah hanya terjual di pedesaan saja. Aku tidak berani menyampaikan perasaanku kepada Marco. Aku takut ia akan marah kepadaku. Suatu saat nanti aku harus menyampaikan hal itu kepadanya. Aku tidak mau hal yang sama dialami ayah dialami Marco juga. Aku ingin ia menjadi anak yang sukses.

“Marco, kamu tidak mau jadi pilot?” Tanyaku untuk mendapat tanggapannya, tetapi Marco hanya diam dan terus melanjutkan melukis. “Kakak mau memberi kamu tantangan, kalau kamu berhasil melakukannya Kakak akan beri kamu hadiah.”
“Apa itu Kak?”
“Kamu gambar pesawat dan di bawah pesawat itu ada gambar kamu, Ayah, Ibu, dan Kakak. Kita turun dari pesawat selepas liburan dari luar negeri. Bagaimana?”

Marco tidak memberi tanggapan sama sekali dengan tantangan yang kuberikan. Aku kecewa terhadapnya. Lukisan-lukisannya semakin berkembang bagusnya. Kuperhatikan satu per satu lukisan yang telah dibuatnya tapi tak ada satu gambar pun yang dibuatnya atas tantanganku.

Aku tak mau menanyakan hal itu, toh aku yakin ia tak akan melakukan tantanganku. Aku keluar rumah dan menatap suasana luar yang begitu indah. Para petani menuntun kerbau-kerbau miliknya untuk dibawa ke sawah.
“Gak kerja Mbak Dita?” Tanya Pak Anton dengan suara keras dari seberang jalan.
“Saya lagi libur Pak.”

Tetangga-tetangga kami begitu ramah kepada kami. Terkadang hasil panen mereka diberikan kepada kami dengan cuma-cuma. Maklumlah karena kami anak yatim piatu. Sudah tujuh tahun semenjak kepergian Ayah, aku yang menjadi kepala keluarga.

Aku tidak tahan lagi dengan sikap Marco. Ia meminta kepadaku untuk pergi menyalurkan lukisannya ke pelukis di kota. Aku menolaknya tetapi ia terus memaksaku untuk mengabulkan permintaannya. “Kalau Kakak bilang tidak bisa ya tidak bisa. Kamu ngerti!”

“Kenapa Kakak selalu melarangku untuk melukis. Kakak tidak pernah melarang ayah untuk melukis. Kalau Kakak tidak menyetujui permintaanku, aku akan tetap pergi.”

Marco tak pernah tahu bahwa aku sudah jera untuk melarang Ayah untuk berhenti melukis tapi Ayah tetap tidak mengindahkan perkataanku. Aku takut Marco akan mengalami hal yang sama dengan Ayah.

Ibu pernah mengatakan kepadaku bahwa ia menginginkan Marco untuk menjadi guru untuk meneruskan profesinya. Aku tidak menyangka bahwa ia benar-benar meninggalkanku.

Ia meninggalkan sebuah surat di pintu kamarku, “Maafkan aku Kak, aku sudah dewasa yang bisa menentukan mana yang terbaik untuk hidupku. Sudah berapa kali aku mengatakan bahwa aku tidak akan pernah berhenti melukis seperti Ayah.”

***

Sudah beberapa tahun tidak terdengar berita dari Marco. Aku sangat rindu dengannya. Rumah ini terasa sangat sepi.

Terakhir kali aku menemukan sebuah catatan kecil di buku doanya, “Bunda Maria, apa yang terjadi dengan ayahku dulu, janganlah terjadi terhadapku. Aku berjanji akan selalu berusaha tak kenal lelah dan membuktikan kepada kakakku bahwa anggapannya selama ini salah.”

Aku sungguh merasa bersalah dengan Marco. Sebagai kakak yang baik harusnya aku mendukung cita-citanya. Apakah dia akan pergi meninggalkanku selamanya? Apakah ia akan membenciku selamanya? 

Aku menginginkan keluarga kecilku. Setiap malam aku berdoa kepada Bunda Maria agar ia kembali lagi kedekapanku.

“Mbak Dita! Mbak Dita!” Teriak Bu Dinda dari jendela kamarku.
“Ada apa Bu teriak-teriak. Malu didengar tetangga toh?”
“Mbak Dita tidak membaca koran hari ini?”
“Tidak Bu. Ada apa? Bu Dinda buat penasaran saya saja.”
“Marco adik Mbak Dita masuk berita.” Bu Dinda menyodorkan korannya kapada saya.

Pameran lukisan pelukis terkenal luar negeri akan mengadakan penjualan lukisan. Pameran itu akan diadakan besok hari. Aku segera menyusun barang-barangku untuk menjumpainya. Aku sungguh bahagia telah mengetahui keberadaannya.

***

Dari tempat dudukku kuperhatikan Marco di atas pentas. Marco tampak berbeda dengan yang dulu. Rambutnya tertata lebih rapi. Para petugas satu per satu mengantar lukisan-lukisan dalam keadaan gambar tertutup ke atas pentas.

Marco naik ke podium dan memberi kata sambutan darinya.
“Ayahku adalah seorang pelukis. Pelukis kampung yang lukisannya dianggap tidak menarik. Tak ada yang ingin membeli lukisannya bahkan ia sering dihina sebagai pelukis kampung. Hal itu tidak membuatnya untuk berhenti melukis.

Kepergiannya membuatku untuk meneruskan semangatnya. Selimut yang tak akan pernah terganti. Lukisan-lukisannya tetap bersemayam dalam diriku. Kakakku tidak menginginkan hal sama yang dialami ayahku terhadapku. Itulah sebabnya ia selalu melarangku untuk menjadi pelukis.

Untuk Kakakku yang ada di sana, kupersembahkan lukisan besar ini sebagai janjiku kepadamu. Aku telah memenuhi tantanganmu.

Marco membuka lukisannya dan lukisan itu adalah tantangan yang kuberikan dulu kepadanya. Pesawat, dia, aku, Ibu dan Ayah ada di bawah pesawat tersebut. Semua lukisan-lukisan lainpun dibuka.

Aku berlari ke atas panggung dan kupeluk adikku sangat erat.
“Marco, maafkan Kakak ya. Terima kasih karena kamu telah menjadi selimut pengganti ayah.”

 

Fr. Yohanes Siringo-ringo
HIDUP NO.49 2018, 9 Desember 2018

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here