Herman Yoseph Tan : Dari Buta Nada Menjadi Konduktor

1280
Herman berjumpa dengan Paus Fransiskus bulan November 2018 di Vatikan.
[NN/Dok.Pribadi]
5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Banyak paduan suara yang kualitasnya maju pesat, namun banyak yang enggan melayani di gereja. Paduan suara Gereja, seharusnya setia menjadi pelayan Misa.

Saat duduk di bangku kelas IV SD, Herman Yoseph Tan pernah mengalami bullying. Saat salah seorang guru mengajukan sebuah pertanyaan, ia tak bisa menjawabnya. Atas perintah sang guru, seorang teman yang bisa menjawab pertanyaan itu, lalu diberi “izin” untuk memukul Herman sebagai hukuman.

Seluruh kelas pun mengoloknya. Sejak saat itu, berdiri di hadapan orang banyak, menjadi momok bagi Herman. Ia tak pernah lagi mau apabila diminta berdiri di depan kelas. Hingga SMA, ia tak pernah menyentuh dunia apapun, yang mengharuskannya berdiri di hadapan banyak orang, misalnya kalau ada tugas menyanyi di depan kelas. “Bahkan kalau menyanyi di depan kelas adalah syarat untuk lulus sekolah, saya lebih baik memilih untuk tidak lulus,” ujarnya.

Namun, pengalaman masa kecil itu seakan sudah dilupakan. Kini, Herman menjadi konduktor bagi Cappella Victoria Jakarta (CVJ). Pada setiap penampilan, ia selalu berdiri paling depan, memimpin kelompok paduan suara ini.

Bertemu Paus
Herman tak pernah menyangka, karena kiprahnya di dunia paduan suara, ia dapat berjumpa dengan Paus Fransiskus pada November 2018 lalu. Saat itu, ia menjadi peserta dalam International Meeting of Choirs di Vatikan. Kelahiran Niki-Niki, Timor, Nusa Tenggara Timur ini pun sempat bersalaman dan berbicara dengan pemimpin umat Katolik sedunia itu. Dunia paduan suara yang telah ia geluti selama sekitar 20 tahun, mengantarkannya pada momen bersejarah itu.

Saat mengingat pengalaman masa kecilnya, Herman tak menyangka akan dapat bertemu Paus. Ia juga tak pernah membayangkan ia bisa berdiri di depan ribuan pasang mata memimpin kelompok paduan suara. Hingga berusia 18 tahun, Herman masih “buta nada”. Ia lebih suka menghabiskan waktunya dengan cat air dan kanvas. Bakat seni lukis ini ia warisi dari sang ayah.

Perjumpaan pertama kali Herman dengan “dunia nada”, terjadi saat ia hijrah ke Jakarta. Saat kuliah, ia tinggal bersama beberapa kerabat yang semuanya menganut Protestan. Suatu kali, pamannya menunjukkan partitur yang sedang dinyanyikan oleh paduan suara di Gerejanya, yaitu Hallelujah karya George Frideric Handel.

Sang paman menantang Herman untuk ikut bernyanyi. Kali ini ia menolak. Namun, entah kenapa, diam-diam, ia menaruh perhatian terhadap tantangan tersebut. Ia lalu mencari beberapa literasi dan mempelajari partitur tersebut dengan caranya sendiri. “Saya mempelajari jarak, ketukan notasi, semuanya sendiri,” katanya.

Saat itu, Herman tidak berani meminta untuk belajar dari orang lain karena malu. Semua ia pelajari sendiri. Setelah merasa cukup bisa, ia mencoba melawan ketakutannya. Ia pun bergabung dengan paduan suara di sebuah lingkungan di Paroki St Theresia Menteng, Jakarta Pusat.

Keputusan bergabung dalam kor lingkungan rupanya menjadi keputusan yang tepat. Herman menemukan dunia yang baginya begitu mengasyikkan. Setelah dari lingkungan, ia lalu bergabung dengan kor wilayah, kemudian di kor paroki. Saat bertugas pada Malam Paskah, kor paroki juga menyanyikan Hallelujah karya Handel. Ia pun dengan bangga menceritakan kepada pamannya.

Sejak itu, ketika konduktor paduan suaranya berhalangan, Herman didaulat untuk memimpin. Saat-saat itulah menjadi momen di mana ia mengembalikan kepercayaan. Merasa sudah bisa bernyanyi, ia ingin naik kelas. Akhir tahun 1997, ia mendaftarkan dirinya pada kelompok Paduan Suara Sancta Caecilia yang telah berusia lebih dari satu abad. Saat audisi, ia sempat ditolak. “Katanya suara kamu jaraknya cuma segini,” ucapnya menirukan alasan ia ditolak kala itu.

Tak patah semangat, ia memohon agar diberikan satu kesempatan. Ia yakin performanya bisa lebih baik daripada saat audisi. Ia pun diterima. “Mungkin mereka melihat kemauan saya yang keras, atau kasihan, atau bosan, sehingga saya akhirnya diterima,” ujarnya.

Pernah Tuli
Pada masa ia menjadi bagian dari Sancta Caecilia, Herman mempelajari banyak hal terkait paduan suara, teknis dan teori, baik dalam kelompok paduan suara maupun secara personal. Kecintaannya terhadap musik liturgi pun kian bertumbuh. Ia mengoleksi berbagai CD dan kaset rekaman musik Gregorian, polifoni suci, serta musik liturgi lainnya. Saban hari musik-musik itulah yang terdengar di sudut rumahnya. Ia menemukan bahwa musik-musik Gereja Katolik pada masa tertentu merupakan perlawanan terhadap reformasi Protestan.

Sekitar tujuh tahun setelah bergabung dengan Sancta Caecilia, Herman mendambakan sebuah paduan suara yang berfokus pada Musik Liturgi. Bersama beberapa orang muda di Paroki St Theresia Menteng, ia lalu mendirikan paduan suara yang dinamai Cappella Victoria Jakarta.

Paduan suara ini menyanyikan polifoni suci secara rutin dalam Ekaristi di Gereja St. Theresia, juga di beberapa gereja di Keuskupan Agung Jakarta (KAJ). Perlahan, paduan suara ini mulai bertumbuh. Selain mendirikan, Herman memainkan peran sebagai pelatih sekaligus konduktor paduan suara ini. Saat Cappella Victoria Jakarta berusia tiga tahun, ia memutuskan meninggalkan Sancta Caecilia dan fokus di paduan suara yang didirikannya. Perhatiannya berbuah manis, pada tahun 2008, untuk pertama kalinya Cappella Victoria melakukan rekaman.

Beberapa saat setelah rekaman dan tiga minggu menjelang konser perdana Cappella Victoria Jakarta berjudul “Per Mariam ad Jesum”, Herman mengalami musibah. Tiba-tiba kupingnya mengalami tuli. “Waktu itu hari Sabtu. Saya bangun dari tidur siang dan tiba-tiba saya tidak bisa mendengar apapun,” kisahnya.

Herman memaknai peristiwa itu sebagai akibat dari arogansinya, ia merasa hebat karena dengan latar belakangnya, ia dapat membawa paduan suaranya ke dapur rekaman, ia juga bisa mengajar sampai enam dan delapan jenis suara. “Palestrina yang begitu sulit saja bisa saya pelajari, sepertinya tidak ada yang tak bisa saya lakukan,” demikian pikiran Herman kala itu.

Setelah melakukan pengobatan pada beberapa dokter, pendengarannya kembali hanya 25 persen pada telinga kiri. Konser perdana tetap berjalan meski sang konduktor tak dapat mendengar. “Konser itu berjalan seperti robot, saya memimpin tanpa fleksibilitas. Sangat matematis,” ujarnya.

Melayani Misa
Periode itu memberikan banyak pelajaran berharga bagi Herman. Ia semakin sadar bahwa musik liturgi yang ia geluti adalah untuk kemuliaan nama Tuhan. Hal itu membuatnya kian bersungguh-sungguh dalam menghidupkan Cappella Victoria.

Di tangannya, hingga kini Cappella Victoria terus berkembang. Beranggotakan 40 orang KAJ dan Keuskupan Bogor, paduan suara ini terpilih oleh Fondazione Domenico Bartolucci, Italia untuk menggelar konser di Roma, Palestrina, dan Asisi pada Juni 2017 lalu. Meski demikian, kepuasan terbesar Herman adalah melihat konsistensi Cappella Victoria menyanyikan genre lagu yang sama selama 14 tahun. Kini, paduan suara ini rutin berlatih setiap hari Minggu pukul 13.00. “Kontinuitas kami menjadi penting karena kami melayani Ekaristi. Ekaristi akan selalu ada,” ujarnya. Cappella Victoria setia melayani Misa di Gereja Theresia Menteng dua sampai tiga kali dalam sebulan.

Herman melihat saat ini banyak orang yang mengikuti paduan suara dengan orientasi mengikuti festival ke luar negeri. Sementara yang melayani paduan suara di gereja adalah orang-orang dengan usia lanjut. Tidak jarang ia mendengar orang-orang paduan suara memrotes penampilan koor dalam Misa. “Tapi hanya sedikit dari paduan suara yang konsisten melayani di gereja. Prestasi kelompok paduan suara makin bagus, tapi kor di gereja tidak semakin baik, padahal kelompok-kelompok paduan suara datangnya dari gereja juga,” kritiknya.

Situasi ini mendorong Herman melatih berbagai kelompok kor di berbagai Gereja. Dengan pendengaran yang telah pulih pada telinga kiri dan 50 persen pada telinga kanan, Herman mengaku justru kini ia lebih bersemangat melatih kelompok-kelompok kor kecil yang memang melayani Misa.

Perjumpaan Herman dengan Paus seakan menjadi puncak kecintaannya pada paduan suara. Kini ia ingin mempersiapkan penggantinya yang dapat menahkodai Cappella Victoria. “Paduan suara telah membawa saya kepada perjumpaan dengan Bapa Suci. Rasanya tidak ada lagi yang saya kejar,” ungkapnya.

Herman Yoseph Tan

Lahir : Niki-Niki, Timor, 31 Oktober 1977
Istri : Patricia Jacqueline Virginia Mayori Tjiptana

Pendidikan:
SMA Katolik Giovanni Kupang (1992-1995)
STIE Indonesia Jakarta (1995-1999)

Pekerjaan : Akuntan

Hermina Wulohering

HIDUP NO.03 2019, 20 Januari 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here