Vincensius Dwimawan Chriswanto : Jejak Karya Kala Sepi

373
Vincensius Dwimawan Chriswanto.
[HIDUP/H. Bambang S.]
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Pada usianya yang tak lagi muda, ia terus berkarya. Sapuan kuasnya terpampang di beberapa gereja. Inspirasi datang saat sepi.

Meski bukan pelukis profesional, karya lukisanya bertema religi banyak menghiasi Gereja Keluarga Kudus Cibinong, Keuskupan Bogor. Bahkan, karyanya baru saja dipamerkan di Tembi Rumah Budaya, Yogyakarta. “Saya bukan pelukis, tapi punya latar belakang pendidikan seni rupa,” aku perupa Vincensius Dwimawan Chriswanto.

Sius, demikian panggilannya di kalangan seniman Yogyakarta, mengenal seni rupa sejak memperoleh pendidikan formal di bangku Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Yogyakarta pada 1978 hingga Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (STSRI/ASRI) pada 1982.

“Dulu, orangtua tidak membolehkan saya sekolah di seni rupa. Saya sempat masuk SMA, cuma beberapa bulan saja, dan sering bolos,” kenangnya. Ia mengaku kurang sreg sekolah di SMA karena harus pakai seragam. Karena itu, Sius lantas pindah dan masuk SMSR yang dirasakan bebas. Tidak harus terikat mengenakan seragam. Selain mendapat pendidikan formal di sekolah, sejak kecil dirinya juga aktif di Teater Dipo, di kampung kelahirannya, Dipowinatan Yogyakarta.

Membangun Gereja
Pada 1977 komunitas teaternya menjuarai festival teater se-DIY. “Saya, waktu itu masih kecil, seumuran SMP. Teater Dipo kemudian melebur ke Teater Dinasti dan sempat booming (kondang-Red),” tutur pria gembul itu.

Sewaktu masih tinggal di Yogya, Sius juga bergabung dengan Musik Puisi Emha Ainun Najib (Cak Nun) pada 1980an. Ini merupakan cikal bakal Kelompok Musik Kiai Kanjeng, pimpinan Cak Nun. “Saya bergaul dengan para seniman. Tahun l988 pernah bikin naskah dan menyutradarai Teater MW (Muda Wijaya) SMAN 6 Yogyakarta, untuk pementasan di Gedung Senisono,” kenang Sius, yang pernah mengajar kesenian di SMP Bopkri.

Sebelum hijrah ke Jakarta, ia menggarap desain grafis Majalah Tancep Padepokan Bagong Kussudihardjo, Buletin Arena IAIN Sunan Kalijaga, Buletin Kebudayan Refleksi, dan Majalah Pelajar Indera. Juga, mengisi ilustrasi dan vignet di HAI. Berbekal pengalaman itulah, ia pindah ke Jakarta dan selama lebih 25 tahun menjadi Koordinator Artistik dan Produksi Majalah Dewi di Femina Group. “Pada 1989 saya minggat ke Jakarta. Ini adalah pilihan hidup karena Femina Group akan buat majalah baru, namanya Dewi,” katanya.

Di sela menangani artistik dan produksi majalah gaya kosmopolitan itu, Sius yang tinggal di Cimanggis, Depok, masih menyempatkan diri membagi waktu untuk pelayanan. Di Paroki Keluarga Kudus Cibinong, ia menjadi pengurus dewan pastoral paroki, kemudian bergabung dalam seksi komunikasi sosial.

Pastor Paroki Cibinong kala itu, Romo Michael Suharsono berkeinginan memperbesar bangunan gereja. “Karena gerejanya masih dirasa kayak gudang saja,” sebutnya.

Paroki membentuk kepanitian, namanya Tim 12. Saat itu, Sius belum masuk di tim ini. Baru ketika pelaksanaan pembangunan fisik, dirinya ditunjuk menjadi sekretaris. Pembangunan berjalan, namun sempat stagnan akibat kekurangan dana. Sebagai panitia pembangunan yang merasa bisa melukis, Sius berupaya menggalang dana dari umat yang tertarik dengan karya lukisannya. “Waktu pembangunan gereja, aku lukis kisah Jalan Salib. Hasil penjualan disumbangkan untuk pembangunan gereja. Karya lukisan yang dibeli tidak dibawa pulang, tapi dipajang di ruang devosi gereja,” tuturnya.

Karya lukisan lainnya yang dibeli umat untuk membiayai pembangunan gereja adalah lukisan berjudul Keluarga Kudus, Maria Diangkat ke Surga, dan Perjamuan Terakhir. “Paling, modal saya melukis Rp 5 juta, setelah terjual laku antara Rp 15 juta sampai Rp 20 juta. Uangnya untuk pembangunan gereja. Lukisan-lukisan saya juga menghiasi sekitar gereja,” kata Sius, yang di kalangan gereja dikenal dengan panggilan Vincen.

Gambar Wajah
Selain melukis di atas kanvas, lukisan kaca patri yang didesainnya juga menghiasi Gereja Keluarga Kudus Cibinong. Bangunan gereja baru itu diresmikan Duta Besar Vatikan waktu itu, Mgr Antonio Guido Filipazzi, tahun 2017.

Lukisan tema religi karya Sius tak hanya menghiasi Gereja Kelaurga Kudus Cibinong, tapi juga ada di Paroki Santo Yakobus Megamendung. “Lukisan saya di sana berjudul Lima Roti dan Dua Ikan, serta Yesus Khotbah di Atas Bukit,” tambahnya.

Di Jakarta, Sius juga bergabung dengan para pelukis alumni STSRI ‘ASRI’ dan kelompok NGASR. Mereka pameran bersama di Taman Ismail Marzuki, Galeri Koi, dan galeri lain. “Dalam waktu dekat ini saya juga diajak penggalangan dana, sudah saya siapkan lukisan untuk dipemerkan,” tuturnya.

Setelah setahun pensiun, Sius kini banyak waktu untuk kembali menggambar. “Setelah hampir 28 tahun ‘membeku’ kerja di media. Sekarang saya longgar dan kembali lagi menggambar,” tutur juru gambar wajah ini.

Ia berkisah, mengawali hobi mendrawing wajah, itu dilakukan tanpa sengaja. Ketika dirinya mendapat job menggambar dua belas murid Yesus, dan giliran menggambar Santo Petrus, justru jadinya malah menyerupai wajah seorang seniman terkenal di Yogya. “Lalu (gambarnya) saya posting di facebook. Sejak itu banyak teman seniman mengusulkan untuk mendrawing seniman terkenal lainnya untuk nantinya dipamerkan,” papar Sius.

Kini, sudah lebih dari dua ratus wajah seniman yang ia lukis Dari jumlah itu, tujuh puluh di antaranya adalah wajah-wajah para wartawan sepuh, atau mereka yang pernah aktif menjadi jurnalis di Yogya. Mereka tergabung dalam Paguyuban Wartawan Sepuh (PWS) Yogyakarta.

Sius menggambar lewat media kertas. Di antaranya wajah novelis dan ahli komunikasi massa Ashadi Siregar, budayawan Emha Ainun Najib, aktor Butet Kartaredjasa, mantan wakil ketua Komisi Yudisial Imam Anshori Saleh, mantan wartawan Kompas Hariadi Saptono dan pensiuan RRI Yogya Maria Kadarsih.

Pameran drawing wajah-wajah karya Sius mengusung tema Berbagi Kegembiraan. “Ketika wajah-wajah yang saya drawing menunjukkan kegembiraan, saya pun merasa gembira,” kata Sius, yang belakangan sering menengok kampung halamannya di Yogya.

Salah seorang kartunis kenamaan di Yogya, Ashady yang wajahnya turut didrawing untuk dipamerkan mengomentari, karya Sius sudah menyerupai wajah aslinya. “Delapan puluh persen karya Sius sudah menemukan karakter wajah aslinya,” kata alumnus STSRI-ASRI ini.

Sius, juru gambar kelahiran Yogyakarta, 21 Februari 1962 ini selanjutnya merencanakan memamerkan wajah-wajah seniman di Yogya. “Ada lebih seratus seniman yang saya gambar, nanti rencana akan dipamerkan di Taman Budaya Yogyakarta,” tuturnya.

Yesus Jatuh
Sius melukis pada malam hari saat suasana sepi. Sekali waktu, ketika dirinya membuat lukisan kisah Jalan Salib perhentian ketiga, di mana Yesus jatuh untuk pertama kalinya, ia merasakan ada getaran. “Ketika melukis tembok perhentian ketiga Jalan Salib, iman saya seperti berbicara. Ada saya rasakan getaran,” tuturnya.

Dari pengalaman iman itu selanjutnya muncul keingan untuk ziarah ke Yerusalem. “Di sana saya pegang tembok Jalan Salib aslinya. Kita seperti mengalami sendiri peristiwa 2000 tahun silam ketika Yesus akan disalib di Gunung Golgota,” kenangnya.

H. Bambang S.

HIDUP NO.05 2019, 3 Februari 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here