Kota Itu

139
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Hari itu langit terpampang membiru, sebiru laut di bawahnya. Tak sedikit pun awan bergelantung di angkasa. Sebenarnya itu sangat aman untuk mengudara dan tentu menyenangkan untuk dinikmati. Tapi aneh, detak jantungku terus saja memburu bak gendang bertalu.

Sampai-sampai seorang bapak di sebelahku sontak menoleh dan bertanya, “Kamu takut?”

Wajahku seketika memerah menahan malu dan peluh perlahan menyembul menembusi pori-poriku. AC pesawat yang sedang on seakan sudah tak berfungsi karena aku diliputi rasa takut yang luar biasa; bukan karena baru pertama kali menumpang pesawat, tapi pikiranku dibayang-bayangi peristiwa naas Malaysia Airlines MH370 tempo dulu. “Jangan-jangan aku akan mengalami nasib serupa,” pikirku.

Aku ingat dosaku yang bergelimang. Apalagi usiaku masih siang. Aku belum siap kalau maut tiba-tiba hadir menjemput. “Oh Tuhan, jangan! Jangan biarkan itu terjadi. Beri aku kesempatan untuk bertobat. Aku belum membahagiakan kedua orangtuaku!” rintihku membatin, berharap Tuhan mendengarkanku. Aku percaya pada ungkapan orang Jawa Gusti ora sare, Tuhan pasti tidak tidur saat umatnya memohon dengan sungguh.

Betul sekali. Akhirnya aku pun luput dari maut yang aku cemaskan. Pesawat berhasil landing dengan selamat di bandara kota. Hawa panas pun langsung menyambut kedatanganku. Kota itu memang terkenal dengan hawanya yang sangat panas. Sampai-sampai orang sering berguyon bahwa di situ bersinar dua matahari, maka tidak heran kalau panasnya melebihi tempat-tempat lain.

Kota itu tampak tidak begitu maju bila dibandingkan dengan kota-kota lain di negeri ini. Teman-teman kuliahku dari daerah lain memandangnya dengan sebelah mata. Bahkan tidak hanya kotanya yang mereka remehkan, orang-orangnya pun tak mereka perhitungkan. Menanggapi sikap mereka itu, kadang ingin sekali kudaratkan tinju pada wajah mereka. Aku tersinggung karena aku telah lama membanggakan kota itu dan mereka tidak melihat kelebihan lain darinya. Kota itu memiliki pantai yang indah, seafood yang lezat, toleransi yang terjaga, dan masih ada kelebihan lain yang tak terhitung banyaknya.

Namun, aku teringat kalau aku terbawa emosi, anggapan mereka terbukti benar. Aku harus mengolah amarah dan menunjukkan kepada mereka kenyataan yang lain dari tuduhan tersebut. Aku berusaha untuk bisa mendapat nilai A di kampus. Aku mendorong diri untuk menciptakan damai dengan semua orang. Aku juga melatih sikapku untuk bersopan santun dengan orang yang kutemui. Aku terpacu untuk menunjukkan bahwa tudingan mereka tak seutuhnya tepat. Dan memang, menurutku kotaku cukup mengagumkan.

Dari balik kaca taxi setelah keluar dari bandara, aku melihat sejumlah pohon tanpa daun di rantingnya, menampilkan bunga-bunga yang sangat cantik. Orang-orangnya pun manis, semanis gula merah. Sepuluh menit berselang, taxi pun berhenti persis di depan sederet rumah kos bercat kuning. Pada papan nama di samping gerbangnya tertulis ‘Kos Lananta’.

“Itu pasti namanya,” tebakku.

Belum sempat aku membuka pintu taxi, seorang pemuda sawo matang berambut ikal bergegas keluar dari salah satu bilik kos itu dan mendekati taxi yang aku tumpangi. Ternyata ia adalah Beni, teman SD-ku dulu. Syukur, ia masih mengenal wajahku, meskipun kami sudah berpisah sangat lama. Aku memang sengaja menemuinya terlebih dahulu sebelum memulai kegiatanku di kota itu.

“Sef, selamat datang di kota panas ini,” ucapnya dengan wajah tersenyum sambil merangkulku. “Aku ingin mengajakmu nanti malam untuk berjalan-jalan keliling kota. Kalau kita pergi sekarang, kita akan pulang dalam keadaan gosong,” candanya hingga kami tertawa terbahak-bahak dan membuat penghuni kos lainnya beralih pandang ke arah kami.

Sambil berjalan ke kamar kosnya, Beni kembali memberi penjelasan, “Sef, berkeliling kota pada siang hari di sini sangat tidak menyenangkan. Kita tidak hanya merasakan matahari yang amat panas, tapi hati kita juga ikut perih karena melihat dengan jelas cucuran keringat orang-orang kecil yang berjuang demi hidup. Dulu kalau hawa panas begini kita bisa pergi ke pantai lalu bercebur ke dalam laut untuk mendapat kesegaran. Namun, itu hanya memori belasan tahun silam Sef. Sekarang pantai-pantai di sini tidak ada yang gratis. Kalau orang mau menikmati udara pantai dan mandi air laut, pastikan dulu apakah dompet berisi atau tidak. Ya, kami yang miskin seperti ini sudah pasti hanya bisa mengeluh tanpa suara dan membasahi dinding penghalang pantai dengan air mata kami.”

Ia mengambil nafas kemudin melanjutkan, “Kami seakan-akan dipaksa melupakan keindahan dan kesejukan alam laut yang Tuhan ciptakan untuk semua orang. Kami berharap ada perhatian dari para kepala daerah dan wakil rakyat setelah mereka terpilih. Namun, mereka hanya mengumbar angin surga saat berkampanye. Mereka menjadikan kami tak lebih dari sekadar sarana mendulang suara demi mendapat kuasa dan harta. Silih berganti para pemimpin terpilih, tapi nasib kami tetap saja tak beralih. Kami harus tetap berpeluh dan bersimbah debu di belakang mobil-mobil mewah mereka. Ahhh, tampaknya keluhan ini tak akan berujung kalau diteruskan, Sef. Kamu datang ke sini tentu bukan hanya untuk mendengarkan litani keluhan saya. Lebih baik sekarang kamu mandi, supaya setelah itu kita makan siang. Lalu kamu bisa beristirahat sampai lelahmu hilang.”

Dengan wajah yang sedikit muram, aku mengangguk menanggapi tawaran Beni. Tapi, di kamar mandi pikiranku masih dihinggapi bayangan tentang penderitaan orang-orang tak beruang yang diceritakan Beni. Litani derita yang baru saja ia ucapkan terus menggema dalam hatiku. Gayung demi gayung air yang tersiram dari kepala hingga kakiku tak mampu membersihkan cerita itu dari pikiranku. Nuraniku berteriak, “Tuhan, apa yang bisa aku lakukan untuk menolong mereka? Aku tinggal di tempat lain dan datang ke sini hanya sementara waktu. Aku hanya mahasiswa teknik lingkungan yang masih bergulat di ruangan kelas, yang belum punya apa-apa dan siapa-siapa untuk mengingatkan orang-orang berdasi dan kaum berduit di tempat ini. Aku….”

Belum sempat aku mengakhiri keluhan itu, Beni sudah mengisyaratkan bahwa makanan telah siap. Dengan sigap aku membilas busa yang masih menempel di sekujur tubuhku. Segar akhirnya terasa. Aku dan Beni pun bersantap siang sambil berbincang tentang kisah lama yang pernah kami alami di masa SD dulu.

Beni termasuk siswa cerdas. Ia sering mendapatkan peringkat lima besar dalam kelas. Namun, karena keterbatasan biaya, orang tuanya tidak mampu menyekolahkannya hingga ke jenjang SMP dan selanjutnya. Akhirnya dia memutuskan untuk merantau. Ya, memang orang yang bernasib sama seperti Beni sangat banyak. Semoga pemerintah tak menutup mata melihat masalah seperti itu.

“Maaf Sef, air leding kami hanya mengalir satu kali dalam dua malam. Air akan mengalir lagi nanti malam. Pasti air yang tersisa tadi sangat sedikit. Aku harap kamu tetap bisa mandi,” ungkap Beni sambil menjumput sebuah lombok hijau di piring depan mukanya.

“Tidak apa-apa bro. Aku tahu di kota ini cukup sulit mendapatkan air. Lagipula, walaupun mandi dengan air seadanya, daki dan keringatku sudah lenyap,” timpalku.

Beni tinggal di kos yang letaknya persis di belakang sebuah bangunan megah. Katanya itu hotel berbintang yang baru dibangun. Hotel itu dilengkapi dengan dua kolam renang outdoor.

“Wah pasti para pengguna hotel sangat puas saat mandi di kolam-kolam tersebut,” pikirku.

Namun, ada situasi pilu di belakang kebahagiaan mereka. Menurut cerita Beni, beberapa tahun lalu di samping kosnya masih ada sumur dengan kandungan air yang melimpah, tapi lama kelamaan sumur itu kering. Para warga kos menduga kekeringan yang terjadi disebabkan oleh pembangunan hotel di belakang kos tersebut. Pihak hotel membuat sumur bor yang menyedot air dalam jumlah yang sangat banyak untuk pasokan air di kolam renang sehingga sumur-sumur di sekitarnya menjadi kering.

“Sef, begitulah nasib kami. Sudah tersisih secara sosial, jatah sumber daya alam untuk kami pun dirampas oleh orang-orang beruang,” keluh Beni sekali lagi.

***
Senja sudah pergi, membiarkan malam menguasai jagat. Beberapa gerobak para penjual gorengan di depan kos telah ramai didatangi pembeli. Tapi aku dan Beni justru meninggalkan keramaian kecil itu dan bergegas menyusuri kota untuk menikmati pesona kota di malam hari. Kota itu memang menjadi indah saat mentari telah bersembunyi. Warna-warni lampu menampilkan pemandangan yang sangat memanjakan mata. Dentuman musik dari beberapa mikrolet menjadi pengiring. Sedangkan aroma asap ikan bakar yang membubung dan terhirup menjadi penyedapnya.

Namun, kami tidak puas dengan itu. Kami coba menyusuri jalanan di pinggir pantai dengan harapan bisa menyaksikan lampu-lampu perahu yang sedang melaut. Akan tetapi, banyaknya bangunan tinggi yang berjejer di bentangan pantai menghalangi pandangan mata kami. Akhirnya, dengan sedikit kesal aku dan Beni memutuskan pulang. Begitulah kota itu.

Yopi Klau CMF

HIDUP NO.19 2019, 12 Mei 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here