Dari Politik Identitas Menuju Politik Bermartabat

623
Salam Pancasila dalam Seminar Kebangsaan di Paroki Cempaka Putih/Komsos Paskalis & koben photography
5/5 - (1 vote)

Pendidikan politik identitas menjadi penting agar menguatkan kesadaran masyarakat akan peran mereka dalam membangun persatuan antar umat beragama.

HIDUPKATOLIK.COM-JIKA jadi Islam, janganlah menjadi orang Arab. Jika menjadi Hindu, janganlah menjadi orang India. Jika menjadi Kristen janganlah menjadi orang Yahudi. Pernyataan ini disampaikan Isidorus Riza Primahendra Ketua Perkumpulan Amerta dalam Seminar Kebangsaan yang berlangsung di Aula Fransiskus, Gedung Karya Pastoral, Gereja Santo Paskalis, Sabtu, 3/8.

Yunarto Wijaya, Direktur Charta Politik membawakan materi/Komsos Paskalis & koben photography

Riza menampilkan dalam seminar ini perubahan pola pikir masyarakat Indonesia. Dibanyak tempat yang keras terhadap agama tertentu perilaku dunia luar negeri menjadi semacam budaya dan gaya hidup. Orang Muslim yang dahulu tidak terlalu kaku terhadap agama dan terbuka pada toleransi, kini menjadi semakin konservatif dengan ajarannya. “Tetapi bukan cuma orang Muslim, ada juga orang Kristen, Hindu, dan Budha. Dahulu tradisi-tradisi tertentu terjadi di India, tetapi kini itu menjadi gaya hidup beragama di Indonesia. Hal ini membawa orang jatuh pada kultusisme akan suatu budaya,”  ungkapnya.

Buka “Topeng”

Seminar bertema “Seratus Persen Katolik Pancasilais, Kita Berhikmat, Bangsa Bermartabat”, dihadiri sedikitnya 140 peserta dari berbagai kalangan prodesi yang menaruh perhatian serius pada isu-isu kebangsaan. Selain Riza, hadir juga beberapa pembicara lain seperti Yunarto Wijaya selaku Direktur Eksekutif Charta Politik Indonesia, Beka Ulung Hapsara Komisioner Komnas HAM, Savic Ali Direktru Islami, CO dan NU online, Muhammad Abdullah Darraz Pengurus Majelis Pustaka dan Informasi Pimpinan Pusat Muhammadiyah serta Pastor Hieronimus Yoseph Dei Rupa Dosen STF Driyakara.

dorus Riza Primahendra Ketua Perkumpulan Amerta membawakan materinya/Komsos Paskalis & koben photography

Mengupas substansi kebangsaan, Winarto mengatakan saat ini Indonesia mengalami polarisasi dalam kehidupan sosial. Polarisasi disebabkan oleh banyak faktor khususnya politik indentitas. “Politik ini marak terjadi di wilaya perkotaan dan kelas menengah atas. Sementara masyarakat pedesaan, tidak tertarik dengan isu ini apalagi dipertentangkan. Maka perlu politik identitas sebagai langkah awal kembali ke ideologi Pancasila.

Winarto menunjukkan efek dari adanya polarisasi ini. Salah satu yang paling terasa adalah martabat manusia bisa diperjualbelikan demi kedudukan, harta, dan gensi politik. Bahaya ini, kata Hapsara, membuat manusia hidup dalam “topeng” politik yang dirasa mampu menyelamatkan posisi manusia tetapi nyatanya tidak. “Maka hal utama selain politik identitas, bangsa kita perlu menyadari martabat sebagai pemberian dari Tuhan, bukan perjuangan manusia.”

Rm. Jemianus H.R. Tnomat, OFM (tiga dari kiri) bersama para pembicara dan panitia/ omsos Paskalis & koben photography

Seminar ini dilaksanakan oleh Seksi Hubungan Antar Agama dan Kepercayaan (HAAK) Paroki St Paskalis Cempaka Putih, Jakarta Pusat bekerjasama dengan Seki Kerasulan dak Kitab Suci dan Tim Penggerak Tahun Berhikmat 2019. Menurut Pastor Rekan Pastor Jemianus H.R. Tnomat, OFM, seminar kebangsaan ini juga mengungkit soal Ajaran Sosial Gereja dalam kerangka Arah Dasar Pastoral Keuskupan Agung Jakarta.

Pastor Jemianus mengatakan kesadaran akan pentingnya peran umat Katolik sebagai warga negara. Partisipasi dalam gereja tidak menjadi patokan seseorang disebut sebagai warga negara yang baik. Melihat begitu banyak situasi intoleransi, radikalisme, dan tindakan-tindakan polarisasi membuat masyarakat mulai hidup dalam kewaspadaan. “Karena itu pentingnya kesadaran akan jatih diri kita sebagai warga negara yang ada di bangsa ini. Pendidikan politik identitas menjadi hal yang perlu dikembangkan,” pesannya.

Berkaca dari Sejarah

Pancasila lahir ‘l Juni 1945, ketika Soekarno berpidato di depan Panitia
Persiapan Kemerdekaan lndonesia mengenai lima sila sebagai falsafah dan
dasar negara. Menurut peneliti Daniel Dhakidae, Bung Karno menggali dan
merenungkan kelima dasar negara tersebut dalam pembuangannya di Ende,
1934-1938 (HIDUP 32,’11 Agustus 2013).

Terdapat dua jejak yang bisa ditelusuri dalam kaitannya dengan rumusan
Pancasila. Pertama, Bung Karno mengenal sosialisme Katolik sebagai
‘manifesto ekonomi politik” yang dideklarasikan Paus Leo Xlll pada 1891 dalam
Ensiklik Rerum Novarum (RN). Dari RN Bung Karno mendapat inspirasi
merumuskan “keadilan sosial”. Ketika mengumumkan sila-sila Pancasila –
semua dalam bahasa lndonesia – kecuali sila keempat dalam bahasa Belanda:
“marilah kita terima prinsip sociale rechtuaardighed ini… ” yang mirip
dengan “iustitia socialis” dalam RN.

Rm. Jemianus H.R. Tnomat, OFM (kedua dari kiri) bersama para narasumber/Komsos Paskalis & koben photography

Jejak kedua, dalam suatu diskusi dengan para pastor, ia mendapat pertanyaan:
“Di negara yang Tuan rancang, di mana tempat mamamu yang beragama Hindu,
dan Flores yang beragama Katolik?” Dalam sila kelima, Bung Karno
mengatakan: “prinsip kelima ialah Ketuhanan yang bekebudayaan, Ketuhanan
yang berbudi pekerti luhur, Ketuhanan yang hormat menghormati satu sama
iain’;. Rumusan ini kemudian diubah meniadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, dan
menjadi sila pertama. Dalam rumusan asli, Bung Karno mengedepankan
toleransi beragama yang luar biasa.

Berdasarkan catatan sejarah tersebut, dapat dikatakan bahwa Ajaran Sosial
Gereja (ASG) menginspirasi rumusan Pancasila. Apabila kita sekarang
mengamalkan Pancasila dalam kehidupan menggereja, bermasyarakat dan
bernegara, sebenarnya kita juga melaksanakan ASG di bumi lndonesia. Namun
beberapa tahun belakangan, Pancasila sebagai dasar negara lndonesia
mendapat perlawanan dari kelompok yang menginginkan ideologi lain.

Panitia dan para peserta dalam Seminar Kebangsaan di Paroki St Paskalis Cempaka Putih/ Komsos Paskalis & koben photography

Secara tidak langsung kelompok-kelompok yang muncul ini mempertanyakan kembali
hakikat Konsensus Dasar Nasionalyakni Pancasila. NKRI, Bhinneka Tunggal lka
dan UUD Rl 1945. Jika keempat konsensus dasar ini diabaikan, itu berarti
lndonesia berjalan menuju kehancuran. Saatnya kita kembali akan landasan
konsensus kita sebagai bangsa.

Harus diakui, pertentangan kuat dan keras antaragama dan golongan, maraknya
intoleransi, radikalisme, pendukung Pancasila dan penolak Pancasila, tidak
hanya memunculkan keprihatinan dan kekhawatiran, tetapi .iuga merupakan
berkah (a blessing in drisgr,:se) bagi bangsa, negara dan tanah air lndonesia.
Bangsa lndonesia seakan diingatkan kembali atas Perjanjian Luhur yang harus
selalu dipelihara dan dijaga.

Seorang peserta bertanya dalam Seminar Kebangsaan di Paroki St Paskalis Cempaka Putih Jakarta/Komsos Paskalis & koben photography

Semua saja, yang tinggal di provinsi, kabupaten, kecamatan, kelurahan, desa,
dusun di lndonesia adalah pewaris dan penerus dari apa yang telah dibangun
oleh para pendiri bangsa (founding fathers). Ketika muncul gerakan yang ingin
merobohkan negara lndonesia dengan cara menghancurkan Pancasila, perlu
dilawan dengan upaya merawat nilai-nilai kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara.

Penetapan Hari Lahirnya Pancasila, Pemberlakukan PERPPU No. 2 fahun 2017
tentang Perubahan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Organisasi Kemasyarakatan
dan pembentukan Unit Kerja Presiden Pembinaan ldeologi Pancasila (UKP-PIP)
harus menjadi momentum kebangkitan jati diri bangsa yang dijiwai nilai-nilai
Pancasila. lnilah langkah awal membangun kembali kewaspadaan nasional atas
banyaknya ancaman yang dihadapi bangsa dan negara lndonesia. Perilaku para
pimpinan masyarakavnegara haruslah merujuk kepada nilai-nilai kebangsaan
seperti musyawarah mufakat, gotong-royong, persaudaraan dan bukan
mengutamakan kepentingan pribadi dan golongannya sendiri.

Seorang peserta bertanya dalam Seminar Kebangsaan di Paroki St Paskalis Cempaka Putih Jakarta/Komsos Paskalis & koben photography

Konferensi Nasional Umat Katolik lndonesia, yang diselenggarakan Konferensi
Waligereja lndonesia (KWl) dan didukung semua elemen Katolik se-lndonesia
menghasilkan keputusan strategis Gereja Katolik lndonesia dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kepulusan strategis ini juga sesuai
dengan motto yang diucapkan oleh Uskup Agung Keuskupan Agung Semarang,
Mgr Albertus Sogiiapranata SJ yang mengatakan, 100% Umat Katolik – 100%
Warga Negara lndonesia. Pancasila adalah anugerah semata dari Tuhan Yang
Maha Esa, yang senantiasa harus dipelihara, dijaga dan diimplementasikan.

Yusti H. Wuarmanuk                                               

 Laporan: Komsos Paroki St Paskalis Cempaka Putih

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here