Alois Agus Nugroho : Sekeping Rahasia Hidup Sang Guru Besar

864
Alois Agus Nugroho.
[HIDUP/Yusti H. Wuarmanuk]
3.7/5 - (3 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Ada tiga periode kehidupan yang sudah dilalui Alois, yaitu : estetis, etika, dan religius. Dalam menjalani hidup, Alois punya rahasia. Sulit dipahami orang lain.

Kita belum merdeka! Seorang mahasiswa, dengan berang, meneriakkan kalimat itu dalam sebuah diskusi panel yang diikuti Alois Agus Nugroho. “Kita masih diajajah”, sambung pemuda lain. Alois semakin bingung. Tubuhnya kaku seketika. Perasaannya benar-benar tak karuan saat itu.

Alois tak nyaman dengan situasi tersebut. Ia berpikir, mahasiswa telah “meludahi” kemerdekaan yang sudah diperjuangkan para pahlawan. Darah dan nyawa mereka seakan tak bernilai bagi mahasiswa zaman ini.

Apa yang belum merdeka? Tanya Alois dalam hati. Tiba-tiba, Alois mendengar pernyataan seorang mahasiswa. Ungkapan itu, seperti menjawab pertanyaan yang berkecamuk dalam dirinya. “Di banyak kampus, mahasiswa masih dijajah oleh diktator kampus bernama dosen. Banyak orang menjadi skripshit (sebutan untuk mahasiswa yang tidak selesai skripsi).”

Menjadi Inspirator
Alois sadar, banyak mahasiswa percaya kebebasan akademik terenggut oleh beberapa sistem birokrasi dosen yang kerap mempersulit. Ini sebuah tantangan bagi Alois untuk mengembalikan marwah dosen. Selama lebih dari 20 tahun, Alois berjuang mengembalikan citra pendidikan : mencerdaskan anak bangsa.

Guru Besar Filsafat Fakultas Ilmu Administrasi Bisnis dan Komunikasi, Unika Atma Jaya Jakarta ini mengakui, tak mudah menceburkan diri sebagai pendidik zaman now. Banyak orang muda sekarang memuja kemudahan. Segala sesuatu dianggap enteng. Proses dan perjuangan terkesan tak lagi menjadi yang utama.

Sebagai dosen, Alois kadang malu dan sedih bila tak mampu untuk memahami perkembangan anak-anak milenial. Ia berusaha mengajar sesuai kompetensi tapi dengan gaya orang muda saat ini. “Ini sulit bagi usia saya. Tidak semua profesor hebat bisa memahami kehidupan mahasiswa sekarang,” terangnya.

Alois punya cara lain bila metode pengajaran ini gagal. Komunikasi dari hati ke hati. Ini cara ampuh untuk menyelesaikan ragam persoalan. Ia menyesali bahwa pada zaman ini masih ada persoalan antara mahasiswa dan dosen. Sebagai makhluk sosial, Alois berharap agar setiap persoalan diselesaikan lewat komunikasi.

Atas ragam pengalaman ini, Alois percaya dosen tidak sekadar transfer knowledge atau mengisi kekosongan. Pendidikan sejatinya sebuah usaha membebaskan paradigma, sikap, dan perilaku umat manusia menjadi tercerahkan. Bila itu terjadi, Alois berhasil menanamkan landasan utama yaitu mewujudkan sebuah perubahan. Di dalamnya termasuk perubahan profesionalitas dosen.

Alois mengakui dirinya tak ingin menjadi dosen yang biasa-biasa saja. Bila ada kata yang lebih dari luar biasa, itulah profesionalitas pendidik yang menjadi targetnya. Maka setiap hari Alois berjuang menjadi inspirator bukan karena jabatannya apalagi predikatnya sebagai Guru Besar. Ia ingin menjadi inspirator tanpa memandang tingkat kemampuan intelektual seseorang. “Semua orang berharga di mata Tuhan. Kecerdasan itu adalah proses,” ungkap Ketua Dewan Profesor Unika Atma Jaya ini.

Selama terjun di bidang pendidikan, Alois percaya banyak orang telah berhasil lewat didikannya. Tapi proses itu tak mudah. Ia harus berperan sebagai penjaga disiplin. “Segala suasana, proses, dan keberhasilan di dunia pendidikan dapat terjadi karena konsentrasi subyek bina dan pendidik berorientasi pada disiplin,” jelasnya.

Puncak Karir
Alois memandang disiplin sebagai kunci keberhasilan. Pada perayaan ulang tahunnya yang ke-65, di Unika Atma Jaya, akhir Juni lalu, Alois mengatakan, ia telah melewati pertandingan di dunia secara baik. Salah satu taktik pamungkas adalah disiplin diri. Keutamaan itu ia peroleh dari didikan orangtua, para imam, rekan dosen, dan mahasiswa.

Usia 65 tahun bagi sebagian orang menjadi masa menakutkan. Sebab, hidup seakan sudah berada di penghujung. Bagi Alois, usia ini menjadi puncak karer. Bila sebagian lansia merasa 65 tahun adalah masa kesepian, Alois justru merasa sebaliknya. Ini masa terindah. Ia bisa mengambil peran ayah yang baik bagi dua anak, dan suami yang setia bagi istri, Irene Nugroho. “Saya terlalu lama sibuk di dunia pendidikan. Pada masa tua ini, saya merasa ini puncak karer sebagai bapak keluarga. Saya sangat mencintai karer yang satu ini,” ungkap Alois.

Ia melanjutkan, “Usia semakin bertambah, tubuh pasti lemah. Tetapi disiplin hidup hendaknya tidak kendor.” Ia sangat yakin masa tua bisa menjadi masa kekuatan bagi setiap orang. Disiplin hidup tidak saja lewat merawat kesehatan pada usia senja, tapi juga membangun disiplin diri dengan Tuhan. Uban putih hendaknya tidak mengurangi kesetiaan manusia kepada Tuhan.

Kesetiaan kepada Tuhan ditunjukkan umat Paroki St Anna Duren Sawit, Keuskupan Agung Jakarta ini, dengan selalu bersyukur. Ia meyakini pesan Tuhan ini, “Sampai masa tuamu, Aku tetap Dia dan sampai masa putih rambutmu, Aku menggendong kamu…(Yes. 54:4). Katakata tersebut menjadi penuntun langkah Alois dalam menjalani hari-hari hidupnya.

Prodiakon Unika Atma Jaya ini selalu menanamkan nilai hidup itu kepada buah hati. Dalam setiap kesempatan, ia berpesan kepada anak-anak, bahwa memiliki pekerjaan mentereng dengan pendapatan selangit bukan segala-galanya dalam hidup. Panggilan untuk mengabdi adalah spritualitas kehidupan yang takkan tergantikan oleh materi apapun. “Pengabdian dengan tulus adalah obat mujarab anak-anak bangsa agar tidak melihat hidup ini sebatas pencapaian karir, jabatan, dan materi,” harapnya.

Tiga Periode
Menurut Alois, tiga periode kehidupan telah ia lalui sebagai manusia, yakni estetis, etis, dan religius. Periode estetis ia dapatkan dalam pemahaman bahwa semua makhluk di dunia ini diciptakan sempurna. Tak ada alasan mengesampingkan mereka yang lemah dan tak berdaya. Dalam benaknya hanya ada satu hal, semua orang punya kesempatan untuk berkembang. Pendidik sejati bersedia memberi kesempatan bagi orang lain untuk terus hidup.

Sebagai pribadi yang etis, Alois tetap bertahan pada moralitas Kristiani yang berakar pada nilai cinta kasih. Keutamaan itu membuat ia mampu untuk menjalani aneka peran : dosen, ayah, dan suami. Irene, sang istri mengatakan, Alois seorang yang mau berkorban untuk keluarga, tidak ingin mendahului istri. Ia seorang pemaaf sejati. Tak pernah ingkar janji dan setia kepada janji perkawinan. “Bila ada pilihan lain untuk meninggalkannya sebagai suami, saya memilih untuk tidak meninggalkannya. Dia adalah ayah yang baik. Memiliki rahasia kehidupan yang sulit dipahami,” ungkap Irene.

Alois hingga kini ingin terus melayani. Dari cara itulah ia belajar menjadi makhluk religius. Sebab, menurutnya, di dunia ini banyak orang pintar dan guru besar, tapi sedikit yang memilih menjadi manusia religius. “Saya ingin menyempurnakan hidup lewat relasi dengan Tuhan. Bila kelak umur saya berakhir, Tuhan telah mencatat namaku,” harapnya.

Yusti H. Wuarmanuk

HIDUP NO.30 2019, 28 Juli 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here