Tekanan kepada Gereja Berlanjut di Tiongkok

215
Umat Gereja Asosiasi Patriotik Katolik Tiongkok mengadakan perarakan gambar Bunda Maria.
[Dok.fsspx.news]
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Sebagian umat Katolik Tiongkok mengatakan bahwa Perjanjian Sino-Vatikan menjadi senjata makan tuan bagi Gereja.

Ratusan umat paroki bersama para pastor berbaris rapi mengepung halaman depan sebuah Gereja Katolik di Provinsi Hebei, Tiongkok. Barikade manusia ini dibentuk untuk mencegah pemerintah setempaat menghancurkan gereja tersebut. Protes dimulai pada hari Kamis pukul 06.00 pagi di Gereja Wu Gao Zhang, di pantai Tiongkok utara.

Pejabat setempat telah memerintahkan agar gereja dihancurkan meskipun gereja itu sepenuhnya diakui dan disetujui oleh pemerintah Tiongkok. Klaim pemerintah setempat mengatakan, bangunan gereja itu tidak memiliki izin yang sesuai.

Atas kejadian ini, sebagian umat Katolik Tiongkok beranggapan, bahwa Perjanjian Sino-Vatikan September lalu telah beralih fungsi untuk menguatkan pemerintah untuk mengambil tindakan hukuman terhadap umat Katolik. Otoritas pemerintah setempat dilaporkan telah mengklaim bahwa Vatikan mendukung mereka dan telah memerintahkan sebanyak 40 gereja dihancurkan.

Selama beberapa dekade, Gereja di Tiongkok terpecah menjadi dua kubu antara Asosiasi Patriotik Katolik Tiongkok, sebuah Gereja yang dikelola negara di bawah kendali Partai Komunis Tiongkok, dan Gereja bawah tanah yang bersekutu penuh dengan Takhta Suci. Perjanjian Sino-Vatikan tahun 2018 dengan rincian yang belum dirilis dimaksudkan untuk menyatukan dua komunitas Gerejawi ini. Mirisnya, beberapa laporan dari Tiongkok menunjukkan, bahwa para imam dan umat awam yang menolak untuk beribadah di gereja yang dikelola pemerintah menghadapi peningkatan penganiayaan.

Kondisi demikian terlihat di Provinsi Jiangxi dan Fujian di Tiongkok Timur. Para imam yang menolak menandatangani perjanjian yang mengikat mereka dengan peraturan pemerintah telah dipaksa keluar dari rumah mereka dan gereja mereka ditutup. Pemerintah Tiongkok melarang imam yang tidak patuh untuk berpergian, dan banyak dari para imam harus melayani secara sembunyisembunyi.

Laporan lain menyebutkan pada bulan Juli dan Agustus, setidaknya lima gereja Katolik di Keuskupan Yujiang ditutup secara paksa oleh pemerintah. Hal ini sebagai imbas penolakan mereka untuk bergabung dengan Asosiasi Patriotik Katolik Tiongkok (CPCA). Pada pertengahan Agustus, pejabat pemerintah mengancam semua umat Katolik di Kota Yingtan setelah paroki mereka menolak untuk bergabung dengan Gereja yang disponsori negara. “Pemerintah menempatkan mata-mata di gereja-gereja CPCA untuk secara khusus memantau apa yang dikatakan para imam dalam homili mereka dan kegiatan apa yang mereka pegang,” ujar seorang imam dari Yujiang yang melaporkan ke Majalah Bitter Winter dan dilansir oleh CNA, 1/11.

Penganiayaan Tiongkok terhadap minoritas agama telah menjadi fokus pengawasan internasional yang berkelanjutan. Negara ini diperkirakan telah memenjarakan jutaan umat Muslim Uighur. Penggerak kelompok-kelompok hak asasi manusia juga telah melaporkan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bahwa para pembangkang politik dan minoritas agama yang dipenjara telah mengalami pengambilan organ untuk digunakan dalam perdagangan organ negara tersebut. Selain itu juga tercatat umat Protestan diperintahkan mengganti pajangan yang berisi “Sepuluh Perintah Allah” dengan kata-kata bijak Presiden Tiongkok, Xi Jinping. Laporan menunjukkan, bahwa mereka yang menolak untuk menghapus salah satu atau semua “Sepuluh Perintah Allah” telah dipenjara. Beberapa pemimpin dan umatnya dilecehkan bahkan di gereja-gereja yang mematuhi instruksi.

Felicia Permata Hanggu

HIDUP NO.46 2019, 17 November 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here