“Serendipity”

269
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Kebetulan? Sepertinya itu tidak mungkin. Walaupun kata orang semuanya terjadi karena kebetulan atau lebih tepatnya mereka katakan itu hanyalah sebuah keberuntungan. Sepertinya itu sama saja. Mereka hanya mau memperhalus cara pengucapannya. Sudah bukan sesuatu yang baru bagiku.

09 04 2019, angka-angka yang indah. Aku paling suka untuk bermain bersama angka-angka. Hampir semua angka punya makna tersendiri bagiku. Sebut saja angka 7. Bagiku, itu angka yang paling sempurna. Atau angka 8, coba lihat angka ini, ada yang istimewa. Tidak ada ujung. Garis awal dan akhirnya telah saling melengkapi.

Aku bukan muridnya Pythagoras yang mengatakan bahwa alam terbentuk dari susunan bilangan atau angka-angka yang harmonis. Ada kejadian aneh tentang angka. Aku pernah mencatat angka kelahiranku, ditambah angka kelahirannya dan akhirnya bisa cocok dengan angka anniversary kami. Walaupun tak sama persis tapi bisa dimengerti olehku. Ajaib bukan? Pasti ada yang tidak percaya akan hal ini tapi aku sendiri yakin bahwa semuanya bisa terjadi. Itu adalah masa laluku.

Sama halnya dengan pertemuanku bersama dia dan mereka. Masih dalam tanggal, bulan, dan tahun yang sama. Tanggal 09 04 2019, di ruangan pendaftaran. Sebuah ruangan di Universitas Sanata Dharma. Mereka sering menyebutnya ruangan Koendjono. Di tempat inilah pertama kalinya aku melihat dia dan mereka. Apakah masih bisa aku katakan kalau ini adalah sebuah kebetulan? Entahlah. Saat itu ia sedang berbicara tetapi tanpa suara. Hening. Tenang. Damai. Walaupun aku tak mendengar suara mereka tetapi aku dapat merasakannya.

Pukul 16.15, kegiatan dimulai. Para pembicara mulai menempati posisi terdepan dan menghadap ke arah kami. Sapaan dan candaan antara pembicara dan kami semakin membuat ruangan terasa sangat nyaman. Selain para pembicara yang menatap kami, dia yang juga mengarahkan wajahnya ke arah kami. Dia yang kupandangi ketika berada di ruangan pendaftaran. Tapi sebenarnya tujuannya bukan dengan kami tetapi berhadapan dengan mereka yang membutuhkannya. Sesekali aku mencoba memiringkan tubuhku untuk bisa melihat gerakan tangannya, senyumannya, dan ekspresi wajahnya. Kadang aku harus kembali ke posisi semula karena ia menatap kearahku dan juga aku takut kalau-kalau aku dianggap memperhatikan dia.

Aku mendengar suaranya ketika ia menyampaikan apa yang tak tersampaikan oleh mereka. Siapa mereka? Yang kumaksudkan adalah orang-orang yang mempunyai nama tapi tak pernah disapa. Nama hanya sebagai penggenapan bahwa sebagai manusia mereka harus punya nama. Bagi mereka nama bukanlah tanda seperti pepatah bahasa Latin. Nama yang sering diberikan kepada mereka adalah tentang kekurangannya, keterbatasannya, ketidaksempurnaannya.

“Panggil kami tuli karena itu adalah identitas kami dan jangan panggil kami tunarungu,” katanya sambil menerjemahkan gerakan dari salah seorang tuli sebelum mengakhiri pembicaraannya.

Inilah mereka. Aku tak dapat mengatakan dengan pasti berapa jumlah mereka yang hadir karena tak dapat melihatnya dengan jelas. Aku mencoba membayangkan betapa besar perjuangan dia dan teman-temannya untuk mengumpulkan para tuli dan menyatukannya dengan gerakan tangan sehingga dapat saling berbicara dan mengerti.

“Aku harus bertemu mereka dan mengapresiasi apa yang telah mereka lakukan,” gumanku dalam hati.

Tapi sepertinya tidak mungkin. Mereka masih mendampingi para tuli. Ternyata dugaanku salah. Aku masih diberikan kesempatan untuk bertemu mereka. Iya, kesempatan. Apakah masih bisa kukatakan ini adalah sebuah kebetulan yang awalnya sempat terlintas dalam benakku? Entahlah.

Pukul 19.00, kegiatan seminar berakhir. Seharusnya saat itu aku pulang. Tapi aku merasa bahwa “cinta” harus dikejar. Jika tidak, ia akan semakin menjauh. Bersyukurlah jika ia kembali. Itulah prinsipku. Aku hanya ingin menjelaskan bahwa cinta yang kumaksud bukan seperti yang sebelum-sebelumnya. Pikiranku terlalu sempit untuk memaknai kata itu. Dalam benakku, kata itu hanya punya satu makna dan hanya itu saja maknanya. Tapi sekarang aku sadar bahwa aku telah keliru.

“Aku sudah terlanjur membuat janji dengan diriku untuk bertemu dengan mereka yang telah mengorbankan segalanya demi sebuah pelayanan yang penuh cinta,” kataku dalam hati. Aku harus bertemu mereka.

Dia yang kumaksudkan masih berdiri di ruangan pendaftaran sambil membereskan berkas-berkas yang masih berserakan di atas meja. Aku tak mungkin berbicara dengannya disini aku harus menunggunya di lantai satu.

Waktu terus berlalu. Aku masih menunggu.

“Kebaikan harus diapresiasi, semangat ini harus melekat dalam diriku,” kata hatiku yang mencoba terus melatihku untuk bersabar menanti mereka.

Saat itu aku tak sendirian. Kalau berjalan sendirian itu bukan ciri khas kami. Biasanya berdua atau bertiga. Saat itu kami berdua saja. Teman-temanku telah mendahului kami dengan bersepeda bersama. Ketika melihat kami mereka melambaikan tangan dan menyapa kami yang masih duduk di tangga sambil menyaksikan para mahasiswa yang sementara berlatih sejak sore. Bagi mereka malam hari hanya sebatas nama dan bukan pemisah yang dapat menyurutkan semangat dalam berjuang.

“Sepertinya mereka berlatih untuk persiapan INSADHA tahun 2019,” kata temanku.

“Mungkin,” jawabku singkat sambil merperhatikan salah satu dari mereka keluar dari ruangan itu.

“Ternyata kegiatan yang hanya berlangsung beberapa hari saja, butuh waktu latihan yang panjang, dan hasilnya juga sangat luar biasa,” ia melanjutkan.

Aku hendak menjawabnya tetapi mereka telah menuruni tangga. Saat itu ia tidak sendirian. Ia ditemani beberapa temannya yang mempunyai tujuan yang sama. Aku menyalami mereka dan begitupun temanku.

Aku kaget ketika temanku melihatnya dan mereka saling menyapa dengan menyebut nama dan seakan pernah bertemu. Ternyata mereka telah saling mengenal. Perkenalan mereka ternyata berawal ketika mengikuti lomba menulis tahun lalu. Mereka mempunyai bakat yang sama. Jadi, awal pembicaraan kami ketika berada di tangga adalah tentang tulisan-tulisan mereka. Aku hanya mendengar percakapan mereka. Apa masih bisa kukatakan ini adalah sebuah kebetulan yang telah mempertemukan mereka?

“Kamu hebat Nia, ternyata kamu tidak hanya bisa menulis tetapi bisa berbicara dengan mereka,” kata temanku.

Sebenarnya kata-kata itulah yang akan kukatakan sebagai bentuk apresiasiku tapi aku tak tahu harus mulai dari mana. Ya sudalah, yang terpenting tujuannya sama.

Namanya Kurnia.Temanku memanggilnya Nia. Seorang mahasiswi yang berbakat dalam menerjemahkan bahasa isyarat dan juga menulis. Tulisan-tulisan nya sudah beberapa kali mendapat pujian dan penghargaan. Aku lupa bertanya tentang jurusannya. Yang pastinya ia berkuliah di universitas ini. Ketika mendengar pujian dari temanku, ia membalasnya dengan tersenyum.

“Sebenarnya kamu juga bisa, kita semua bisa. Apa yang kamu rasakan sekarang sama seperti yag kurasakan saat pertama kali melihat mereka berbicara dengan menggunakan bahasa isyarat. Awalnya aku tidak bisa tetapi aku berusaha. Aku sangat mencintai mereka,” katanya.

“Kamu ingat kan apa yang dikatakan dalam seminar? Kalau bukan kita yang mencintai mereka, siapa lagi? Mereka tidak punya siapa-siapa,” katanya seakan mengulang apa yang pernah ia katakan kepada mereka dengan gerakan tangannya.

“Kamu tahu bagaimana kehidupan mereka? Banyak yang menganggap mereka sebagai pribadi yang mengalami keterbelakangan mental yang dipengaruhi oleh setan. Ada yang memperhitungkan tentang untung dan rugi mengenai kehadiran mereka sehingga mereka kadang dikurung dan dibuang. Orang-orang yang hidup pada tahun 1930-an mengatakan bahwa mereka adalah pelahap yang tidak berguna,” katanya sambil merasa benci dengan apa yang pernah terjadi pada waktu itu.

“Aku hanya ingin hal itu tidak terjadi lagi pada saat ini. Makanya aku berjuang agar mereka bisa merasakan apa yang kita rasakan,” katanya. Aku merasa bahwa kalian lebih mengenal betapa penting nya penghargaan terhadap martabat manusia. Bagaimana aku bisa merasa bahwa mereka mempunyai martabat yang sama denganku kalau aku hanya memandang mereka dengan sebelah mata,” ia melanjutkan.

Kami berdua hanya terdiam mendengar curahan hatinya. Aku sadar bahwa ia telah banyak mengetahui tentang hal ini. Sepertinya ia tidak hanya sebatas tahu tetapi telah merasakan. Akal dan hatinya telah menyatu. Aku bangga padanya. Walaupun dalam kesibukan kuliahnya, ia masih sempat memberikan waktunya untuk mereka yang terkadang tak dianggap oleh masyarakat. Aku tak menyangka kalau ia akan berbicara tentang hal ini. Lagi-lagi aku tak menyangka. Apakah masih dapat kukatakan kalau ini adalah sebuah kebetulan?

Aku terus merenung tentang pertemuan ini. Apakah semua kisahku hanyalah sebuah kebetulan atau ketidaksengajaan? Mulai dari angka-angka yang indah, pertemuan pertama bersama mereka dan dia, pertemuan dia dan temanku, dan hingga mendengarkan curahan hati sang pejuang. Kalau pun ini adalah sebuah kebetulan, maka aku akan menyebutnya serendipity. Dalam kamus bahasa Inggris Oxford dikatakan bahwa serendipity adalah ketidaksengajaan atau kebetulan yang menyenangkan. Kata itu melukiskan apa yang telah kurasakan.

Serendipity.

Erson Bani CMF

HIDUP NO.41 2019, 13 Oktober 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here