Ajaran tentang Transplantasi

1053
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COM – Romo, saya sempat membaca di salah satu media tentang seorang wanita di Tiongkok yang menerima transplantasi kornea babi pertama di dunia. Iapun bisa melihat kembali secara normal. Bagaimana pandangan Gereja soal ini? Apakah boleh melakukan berbagai cara untuk mendapatkan apa yang terbaik untuk diri kita?

Renata, Bandung, Jawa Barat

Perkembangan dunia medis merupakan suatu anugerah Tuhan yang perlu disyukuri oleh siapa pun. Manusia dapat mewujudkan kebaikan-kebaikan dengan karya-karya kreatif yang dihasilkan dari keikutsertaan dalam karya penciptaan Allah (Participatio Cumo Perecreationis Dei).

Namun, keistimewaan yang diberikan oleh Allah kepada manusia itu tidak selalu digunakan untuk kebaikan bagi kehidupan manusia. Sering kali manusia melakukan tindakan bertentangan dengan Allah (Contra Deum). Sehingga, banyak hal yang dihasilkan seolah-olah bagus tetapi sesungguhnya hanya sekadar perwujudan keinginan semata. Inilah yang juga terjadi di dunia medis.

Gereja sangat mendukung perkembangan teknologi di dunia medis. Akan tetapi, pelbagai upaya dalam dunia medis terkadang dilakukan tanpa sebuah pertimbangan masak. Upaya-upaya penyembuhan tidak mempertimbangkan dignitas personae (martabat manusia), sebagai “Citra Allah” (Bdk. Kej. 1:26), yang semestinya menjadi prinsip utama dan harus dihargai sejak dari “konsepsi hingga kematian” (Instruction Dignitatis Personae, 1). Inilah yang ditolak oleh Gereja.

Persoalan berkaitan dengan keberhasilan penggunaan kornea babi untuk penyembuhan pada mata manusia merupakan sesuatu yang baik, karena buah dari kepandaian manusia untuk mengupayakan hal itu. Manusia sebagai Citra Allah mendapatkan mandat dari Allah, “penuhilah bumi dan taklukkanlah itu” (Kej 1:28). Mandat ini memberikan penegasan supaya manusia dapat menggunakan apa yang baik bagi kesejahteraan hidupnya.

Namun, pencangkokan dengan menggunakan organ kornea babi, atau dalam bahasa medis disebut sebagai xenotransplantation ini, tidak serta merta dapat dilakukan tanpa pertimbangan yang tepat. Pertimbangan itu bukan berkaitan dengan kesembuhan mata pasien saja, tetapi lebih pada integritas manusia. Kepada Asosiasi Pendonor Kornea dan Dokter Ahli Klinis dan Praktisi Medis Hukum Italia pada tahun 1956, Paus Pius XII, ketika mengetahui ada upaya tindakan medis pencangkokkan kornea dengan organ babi, menyampaikan bahwa transplantasi itu dapat dilakukan jika memenuhi prinsip-prinsip dasar.

Menurut Paus, semangat dasar utama dalam pelaksanaannya adalah pertama, organ yang ditransplatasikan tidak boleh merusak integritas identitas psikologis atau genetik orang yang menerimanya. Kedua, harus ada kemungkinan biologis yang terbukti, bahwa transplantasi akan berhasil, dan tidak akan membuat penerima risiko berisiko lebih tinggi.

Prinsip-prinsip dasar ini sebenarnya mau menegaskan bahwa manusia itu bukan mesin yang bisa digota-ganti “spare part” dengan mudah. Manusia memiliki martabat yang perlu dan harus dijunjung tinggi dan tidak pernah bisa direduksi sekadar sebagai makhluk hidup seperti binatang atau tetumbuhan yang lain. Penggunaan organ binatang untuk penyembuhan pada manusia tidak diperkenankan sejauh itu mengaburkan identitas manusia. Misalnya, pencangkokan organ seksual binatang pada manusia tidak pernah dibenarkan karena itu bertentangan dengan “kemanusiaan”.

Oleh sebab itu, penggunaan kornea babi bisa dilakukan sejauh juga pasien mendapatkan penjelasan yang tepat. Tidak pernah bisa dibiarkan seorang dokter melakukan cangkok tanpa menginformasikan efek-efek yang akan diterima oleh pasien, serta mendapatkan persetujuan dari pasien.

Selain prinsip itu, “xenotransplantation” perlu sungguh dilakukan oleh dokter tanpa motif-motif yang berhubungan dengan sekadar mencari keuntungan. Artinya, Gereja tidak menyetujui jikalau transplantasi ini punya motif untuk mencari keuntungan saja, bukan bertujuan untuk melakukan penyembuhan pada pasien. Maka, hal yang paling utama dalam pemahaman transplantasi organ, termasuk penggunaan organ binatang, xenotransplantation ini adalah sikap dunia medis untuk menghargai manusia sebagai makhluk ciptaan yang bermartabat.

Pastor Yohanes Benny Suwito

HIDUP NO.42 2019, 20 Oktober 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here