Agatha

119
5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Jam menunjukkan pukul 07.15 WIB. Saat semua murid telah masuk ke dalam kelas, saat kulihat seorang murid berlari menuju ruanganku dengan tergesa-gesa. Aku hapal dengan dia, ia telah berulang kali terlambat masuk sekolah. Agatha namanya. Pagi ini, Tata kembali bertemu dengaku untuk mendapatkan sanksi.

“Tata.. Tata.. mengapa kamu selalu terlambat?” Kataku kepada Agatha. “Maaf, Pak” jawabnya dengan singkat. Hari kemarin, ia juga telah terlambat masuk sekolah. Keterlambatan ini sudah untuk yang kelima kalinya. Maka sudah cukup masuk akal bagiku, untuk memberikan sanksi kepadanya. Sebagai anggota tim kedisiplinan sekolah, aku berkewajiban menindak murid-murid yang tidak disiplin. Aku ingin agar murid-murid didikku menjadi anak yang disiplin. Kedisiplinan akan membentuk karakter mereka, agar menjadi pribadi yang tangguh untuk mencapai kesuksesan.

Agatha tertunduk. Seragamnya basah oleh keringat yang keluar dari badannya. Sekilas kulihat wajahnya, dari matanya mulai keluar butiran air mata yang siap menetes di pipi. Ia tampak menyesal atas keterlambatanya. Padahal sebelumnya, ia telah berjanji untuk tidak terlambat lagi. Namun sejauh ini janji itu nampak hanya sebuah janji. Buktinya, ia masih saja terlambat datang ke sekolah.

Dengan terpaksa aku harus memberi sanksi kepadanya. Sesuai dengan kebijakan sekolah, bila jumlah keterlambatan sudah lebih dari empat kali maka murid akan diberi sanksi. Ia tidak boleh mengikuti pelajaran hingga jam istirahat pertama dan murid akan diminta bekerja sesuai arahan tim kedisiplinan.

“Tugasmu pagi ini membersihkan kamar mandi!” perintahku sambil menunjukkan kamar mandi yang harus dibersihkan. Agatha lalu bergegas mengambil sikat dan sabun yang terletak di gudang kerja. Agatha pun mulai bekerja membersihkan kamar mandi. Ia bekerja dengan cepat, tampak kalau ia terbiasa melakukannya.

Sebenarnya, aku tak tega memberikan sanksi kepada anak baik ini. Agatha adalah murid yang pandai di sekolah. Ia juga selalu bersikap sopan kepada semua orang yang ia jumpai. Karena sikapnya itu, Agatha banyak disukai teman-teman dan guru-guru. Ia termasuk murid yang aktif dan komunikatif di kelas. Ia sering kali bertanya kepada para guru yang mengajar. Pemikirannya juga mendalam. Semua guru yang pernah mengajarnya memuji kepribadiannya. Sayangnya, situasi keluarganya tak menguntungkan.

Agatha telah kehilangan ayah dan ibu di usia yang relatif muda. Ayahnya meninggal dunia tahun 2015 lalu, karena kecelakaan mobil. Dua tahun kemudian, sang ibu menyusul menghadap Bapa di surga, karena sakit jantung. Mereka meninggalkan empat anak yang semuanya masih belia : Zefanya, Agatha, Chandra, dan Yuda. Saat itu, Zefanya duduk di kelas XII. Agatha kelas IX SMP. Chandra kelas V SD. Sedangkan Yuda masih kelas III SD.

Setelah kedua orangtuanya meninggal, segala kebutuhan hidup mereka ditanggung oleh Zefanya bersama Agatha. Chandra dan Yuda belum dapat diberikan tanggungjawab, karena usia yang masih sangat muda. Setiap hari sepulang sekolah, Agatha langsung pulang ke rumah. Ia membantu kakaknya yang membuka warung makan. Hasil usaha warung makan itu dipakai untuk mencukupi kebutuhan mereka, terutama biaya sekolah.

Saat ini, Zefanya tengah melanjutkan kuliah di Malang sambil membuka usaha di sana. Sedangkan Agatha berada di kelas XI disebuah sekolah swasta di Magelang. Di situ, Agatha tinggal bersama dengan kedua adiknya yang juga masih sekolah kelas VII dan V. Kakaknya setiap bulan selalu mengirim uang kepadanya. Sedangkan ia tetap melanjutkan usaha warung makannya bersama dengan kedua adiknya.

Namun sikap kedua adiknya yang manja membuat Agatha harus bekerja keras dalam mengurus kebutuhan mereka. Semua pekerjaan rumah dibebankan kepada Agatha seperti membersihkan rumah, memasak, mencuci, mengantar Yuda ke sekolah. Ia juga mengusahakan diri terlibat dalam semua kegiatan di luar rumah, baik dalam kegiatan masyarakat seperti arisan, gotong royong dan pertemuan warga serta kegiatan
gereja seperti doa lingkungan, latihan kor dan kegiatan OMK. Setiap harinya Agatha harus menyelesaikan berbagai macam tugas. Selagi kakaknya berada di Malang, Agatha juga bertanggungjawab mengurusi pembayaran air, listrik, iuran dan kebutuhan lainnya.

Di saat usianya yang relatif sangat muda, ia telah mendapat tanggungjawab yang sangat besar. Ia berperan sebagai orang tua dalam mengurus kebutuhan rumah, sebagai kakak dalam mendampingi kedua adiknya, umat gereja dan sebagai anggota masyarakat di lingkungannya. Seharusnya, di usianya yang masih muda, ia masih memer lukan pendampingan dari orangtua, ia juga perlu merasakan kegembiraan bermain bersama teman-teman seusianya.

“Kamar mandinya sudah selesai saya bersihkan, Pak. Apa lagi yang harus saya kerjakan?” tanya Agatha. Ia memecahkan lamunanku. Keringatnya bercucuran membasahi baju seragam yang ia kenakan. Namun wajahnya sama sekali tak menunjukkan rasa lelah. Kutengok kamar mandi yang ia bersihkan, dan seperti yang telah kuduga, semuanya telah bersih.

“Baik, sekarang kamu kembalikan alat-alat yang kamu gunakan tadi, lalu ikut saya ke ruangan saya.”

“Baik, Pak! “ Ia kemudian bergegas mengembalikan alat-alatnya.

***

“Baik! Agatha, sekarang tolong kamu ceritakan apa masalahmu sekarang ini, mungkin bapak dapat membantumu,” tanyaku penasaran. Aku ingin sekali mengetahui perasaannya selama ini. Bagaimana dia dapat mengambil tanggungjawab yang begitu besar.

Ia menundukkan kepalanya, tak ada suara keluar dari mulutnya. Kurasa ia sungkan bercerita denganku. “Tidak apa, ceritalah, bapak tahu kamu sedang mempunyai masalah,” tanyaku dengan nada yang lembut. Aku mencoba meyakinkannya. Mulutnya masih membisu. Suasana ruangan menjadi hening. Tak lama kemudian Agatha mulai menegakkan kepalanya, mulutnya bergetar seakan ingin mengucapkan sesuatu.

“Ternyata, tanggung jawab orangtua itu tidak mudah ya, Pak,” kata Agatha kepadaku. Aku terkejut mendengar perkataan Agatha, namun aku tetap membiarkan Agatha melanjutkan ceritanya. “Aku baru menyadarinya sekarang, setelah ayah dan ibu meninggal. Aku menyesal dulu sewaktu ayah dan ibu masih ada, aku jarang membantu mereka. Aku juga kurang berterima kasih kepada mereka.”

Ia berhenti sejenak. Matanya mulai berkaca-kaca, ia terlihat menahan diri untuk tidak menangis. Napasnya sedikit tersendat-sendat, seakan ada sesuatu yang mengganjal di dalam hati dan perasaannya. Setelah diam sejenak, ia melanjutkan ceritanya.

“Meskipun ayah dan ibu sudah meninggal, aku tidak menyesal. Malah aku bersyukur karena saya mendapatkan banyak pengalaman berharga. Tuhan memberiku kesempatan lebih cepat untuk belajar tentang hidup. Saat teman-teman seusia saya masih suka berhura-hura, saya sudah belajar untuk menata hidup. Saat teman-teman saya masih senang bermain, saya sudah belajar mandiri. Saat teman-teman saya masih suka belanja menghabiskan uangnya di mal, saya sudah belajar untuk menata ekonomi keluarga. Kami harus sering menghemat demi membeli kebutuhan sehari-hari.”

“Meskipun begitu, saya tetap berusaha menyelesaikan tugas-tugas sekolah tepat waktu. Bagi saya waktu sangat berharga, tak ada waktu untuk bermalas-malasan.“

“Tapi, apa kamu enggak capek, bosan hidup seperti itu? Apa kamu nggak mau main seperti teman-teman mu? “ Tanyaku sedikit menyela. Aku kagum dengannya yang meskipun masih belia namun pemikirannya telah melampaui usianya.

“Ya sudah pasti, Pak. Tapi menurut saya menuruti rasa capek dan bosan tak akan menyelesaikan masalah. Justru masalah semakin bertambah.” Jawab Agatha dengan penuh semangat. Raut wajah menampakkan rasa bahagia. “Lagipula Tuhan Yesus selalu ada di samping saya. Jadi setiap kali saya merasa capek atau bosan, saya berdoa kepada Tuhan Yesus supaya membantu saya.”

***

Perasaanku yang awalnya kasihan melihat Agatha berubah menjadi bangga. Sulit rasanya menemukan anak muda seperti Agatha pada zaman ini. Ia mampu memaknai seluruh pengalaman hidupnya, baik saat suka maupun duka. Ia juga tak terbuai dan hanyut oleh kenikmatan serta kemudahan dunia. Justru, ia mampu melawannya.

Terkadang aku merasa prihatin dengan anak muda zaman sekarang yang tidak peduli dengan situasi sekitar. Anak muda yang tidak pernah membantu orangtua bahkan berani melawan orangtua. “Akan menjadi apa anak-anak ini kelak,” pikirku dalam hati. Bagaimana orang-orang semacam ini bisa diserahi tugas dan tanggung jawab jika besar nanti. Apa yang akan terjadi kelak.

“Pak?” Suara lembut Agatha menyadarkanku dari lamunan. “Baik Agatha, terima kasih atas sharingmu. Bapak senang kamu sudah mampu berpikir seperti itu, tapi ingat kamu masih muda, kamu masih perlu bermain seperti teman-temanmu. Orangtuamu di Surga pasti bangga melihatmu saat ini. Yang paling penting jangan sampai kamu meninggalkan Tuhan, kamu harus selalu menyertakan Tuhan setiap waktu.“ Aku berusaha menyemangati Agatha agar ia setia dan tekun dalam menjalankan kehidupan sehari-hari.

“Baik, sekarang kamu boleh kembali ke kelas, silakan mengikuti pelajaran selanjutnya.” “Terima kasih Pak.” Agatha pun segera beranjak dari tempat duduknya, meninggalkan ruangan dan kembali ke kelas. “Ah seandainya aku mempunyai putri seperti dia” pikirku dalam hati.

Rianda Estu Nugroho

HIDUP NO.50 2019, 15 Desember 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here