Eveline Winarko: MISTERI PANGGILAN

130
(Dok. Pribadi)
Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM EVELINE Winarko (54 tahun) telah melewati 19 tahun bersama Komunitas Sant’Egidio. Namun sampai saat ini, ia masih belum menemukan alasan, mengapa ia terdorong melayani orang miskin bersama komunitas ini.

Ibu rumah tangga ini mulai bergabung sejak Februari 2001. Awalnya, Evi sapaannya, mengikuti sebuah pertemuan yang diadakan komunitas untuk para imam, bruder, suster dan frater. Seiring dengan berjalannya waktu, mantan karyawati sebuah perusahaan swasta ini makin aktif. “Mungkin misteri panggilan ya,” ujar pendamping Penanggung Jawab Komunitas Saint’Egidio ini.

Awalnya Evi membantu menerjemahkan renungan harian dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia. Ia pun mulai terlibat dalam kegiatan Sekolah Damai. Ini merupakan bentuk pelayanan mingguan bagi anak-anak usia SD dari keluarga miskin. “Ini bukan soal pengalaman mengajar tetapi bagaimana hati kita tergerak untuk bersahabat dengan anak-anak miskin dan melihat kebutuhan mereka sehingga kita bisa membantu mereka,” ujarnya.

Bagi Evi, Sant’Egidio telah mengajarkan banyak hal. Salah satunya, ia belajar bersahabat dengan orang miskin. Persahabatan ini menumbuhkan jalinan kasih yang begitu erat, antara dirinya dengan para pengemis jalanan. Ketika bepergian, ia selalu menyempatkan diri melewati jalan di mana para pengemis biasa mencari rezeki. “Saya memberi telinga kepada mereka. Ketika mereka menceritakan sesuatu, saya mendengarkan,” ujarnya.

Berbekal tiga pilar spiritualitas Komunitas Sant’Egidio yakni doa, orang miskin, dan damai, ia berharap makin banyak umat Katolik mengenal karya komunitas ini dan makin banyak orang miskin yang terlayani.

Rosalina

***

(Dok. Pribadi)

Zaina Amalia Fitrina Dewi

Terbiasa dengan Perbedaan

BAGI aktivis lintas iman, Zaini Amalia  Fitrina Dewi, keluarga merupakan fondasi terbentuknya generasi  muda berkualitas. Peran orangtua, anggota keluarga sangat penting dalam membentuk kepribadian calon generasi muda berkualitas.

Zaini, sapaannya, menuturkan, pengalaman menghargai perbedaan bermula dari rumah, kemudian diterapkan dalam kehidupan bersama, yaitu ketika berinteraksi dengan anggota masyarakat.

Aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) ini mengatakan, pengetahuan tentang perbedaan suku, agama, dan budaya perlu ditanamkan dalam keluarga. Dengan demikian, kelak seorang yang terbiasa dengan perbedaan dalam keluarga, tidak merasa heran lagi, saat berhadapan dengan kenyataan, bahwa Indonesia terdiri dari beragam budaya, termasuk suku dan agama.

Zaina mengakui, senang menjadi bagian  dari anak-anak bangsa menjaga keberagaman  dalam  mengekspresikan persahabatan dan persaudaraan. Meskipun hanya setahun memimpin PMII Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, ia memperoleh pengalaman berharga untuk saling menghormati keberagaman.

Konradus R. Mangu

HIDUP NO.20, 17 Mei 2020

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here