HOMO FABER

358
St. Sularto, Kontributor/Wartawan Senior
5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – DARI satu sisi, unjuk rasa menolak pengesahan UU Cipta Kerja membenarkan turunan ungkapan homo faber (manusia  pekerja). Ungkapan yang berasal dari zaman Romawi itu menjadi populer berkat roman Homo Faber yang terbit tahun 1957, karangan penulis Swiss, Max Frisch. Pesan yang disampaikan, kritik terhadap watak rasional masyarakat industri Barat. Kurang lebihnya, watak masyarakat industri Barat kurang menghargai makna pekerjaan manusia.

Bekerja itu hak manusiawi yang dijamin undang-undang. Dengan bekerja orang memperoleh upah/penghasilan sebagai balas jasa atas pekerjaannya. Dengan upah yang diterima, orang bisa memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya. Di tingkat ini, bekerja adalah urusan hidup atau mati. Dengan tidak ada penghasilan, kendil jomplang (kendil terguling), kebutuhan dasar hidup manusia, makan selain papan (tempat tinggal) dan pakaian, tidak terpenuhi. Ketika kebutuhan dasarnya terancam, orang marah dan spontan protes.

Di jenjang berikutnya, bekerja bukan hanya agar dapat upah, tetapi ekspresi diri. Bekerja itu integral dengan statusnya sebagai manusia, apa pun jenis pekerjaan yang dilakukan. Dengan bekerja orang diakui keberadaannya dan diperhitungkan lingkungannya. Bekerja adalah eksistensial bagi manusia, sesuai jati diri kebersamaan masyarakat manusia (koeksistensial). Bekerja tidak lagi semata-mata demi upah, tetapi lebih dari itu. Bahkan bekerja hanya dianggap kegiatan iseng-iseng, just for fun. Dalam tingkat ini, orang setuju dengan seruan pemazmur: “hidup tidak cukup dengan roti”.

Bekerja demi upah dan ekspresi diri sebagai eksistensi manusia, secara etis harus dilakukan sebaik-baiknya. Bekerja tuntas termasuk salah satu nilai yang ditekankan, tidak karena demi upah atau demi pengakuan lingkungan, tetapi tanggung jawab etis seorang manusia. Bekerja tuntas mengandaikan  pekerjaan dilakukan secara bertanggung jawab, selain faktor hasil juga proses. Dalam proses itulah diuji kejujuran, dalam kepenuhan tanggung jawabnya sebagai manusia yang harus bekerja (homo faber). Ungkapan ora et labora (berdoalah dan bekerjalah) sebagai cara mempersuasi budaya kerja, perlu terus diusahakan selagi kebutuhan-kebutuhan lainnya sesuai urutan kepuasan menurut Abraham Maslow terpenuhi.

Karl Marx membenarkan bahkan menganjurkan perebutan paksa sarana produksi untuk mengatasi tidak terpenuhinya kebutuhan dasar. Kekerasan diperbolehkan. Cara kekerasan perlu dikritik sebab melawan naluri manusia untuk hidup damai. Teologi-teologi pembebasan yang muncul dan berkembang di Amerika Latin, menolak penggunaan kekerasan sebagai antitese penistaan harkat manusia dengan tidak adanya lapangan kerja yang berarti pembiaran perut kosong. Di sini titik balik cara-cara kekerasan harus dihindari, kalau sangat terpaksa kekerasan baru bisa dilakukan ketika segala pintu dan celah tertutup.

Unjuk rasa pekerja dan karyawan menolak pengesahan UU Cipta Kerja beberapa hari yang lalu, diikuti ekses. Massa yang anonim potensial disusupi dan mudah terprovokasi melakukan pengrusakan, demi kepuasan diri, kepentingan politik, uang di luar kepentingan awal terkait perasaan terancam kendil jomplang. Ratusan pengunjuk rasa yang ditangkap polisi, menunjukkan adanya penyusupan yang diatur oleh auctor intellectualis dengan kepentingan lain. Itulah kenyataan yang umum terjadi, dalam setiap keributan massal ada pihak yang menunggu bola muntah  di luar lapangan. Sudah seharusnya demi menjamin rasa aman, latar belakang kejadian dan tindak lanjutnya diusut tuntas serta dijelaskan sebenar-benarnya ke publik.

Ajakan Presiden Jokowi mempersilakan masyarakat yang keberatan mengajukan Mahkamah Konstitusi merupakan tanggapan simpatik dan demokratis. Hak untuk itu legal dan disediakan sebagai bagian dari perangkat hukum kehidupan demokratis. Kasus serupa pernah terjadi dengan hasil revisi UU KPK yang menurut DPR menguatkan KPK, sementara menurut masyarakat sebaliknya. Di tingkat putusan MK, revisi KPK ditolak.

Keterangan Presiden Jokowi bahwa UU Cipta Kerja bertujuan melakukan reformasi struktural dan mempercepat transformasi ekonomi (Jumat, 9/10) siang, memberi penegasan niat  baik termasuk pembukaan lapangan kerja yang mendesak di masa pandemi. Sebagai gambaran, setiap tahun sekitar 2,9 juta penduduk usia kerja masuk ke pasar kerja, dan di masa pandemi ini sekitar 6,9 juta penganggur baru serta 3,5 juta pekerja terdampak pandemi Covid-19. Dalam pada itu 87 persen dari total penduduk usia kerja, memiliki tingkat pendidikan SMA ke bawah, 39 persen di antaranya SD yang menunjukkan perlunya ketersediaan lapangan kerja terutama sektor padat karya.

Tawaran jalan keluar yang demokratis (mengajukan uji materi) berikut argumentasi yang dilandasi menunjukkan niat baik. Kekerasan bukan cara demokratis menyelesaikan masalah, sebab akan berakhir dengan kekerasan. Pengajuan uji materi butuh ketelitian menelisik pasal demi pasal, dilakukan sebelum RUU Cipta Kerja diserahkan dan  ditanda tangani Presiden. Netralitas dan keberanian MK diuji, terpenuhinya janji-janji eksekutif dan legislatif sangat berperan mencegah timbulnya kegaduhan lebih besar. Bekerja itu masalah hidup atau mati. Manusia mudah mata gelap dalam kondisi terancam kendilnya njomplang.

St. Sularto, Kontributor/Wartawan Senior

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here