SUMPAH YANG TERLAMBAT SEHARI

433
4.6/5 - (86 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – “Tapi kamu tidak pernah mengatakannya!” begitulah ketuk palu si cewek yang memutus pacarnya. Si cowok pun berusaha mati-matian meyakinkan bahwa dia mencintai si cewek habis-habisan. Dia rela kedinginan diterpa hujan hanya dibalut oblong, karena jaketnya diberikan kepada si cewek yang dibonceng dengan motornya. Dalam demam pun dia menemani si cewek belajar karena khawatir pada ujian akhir. Bahkan tabungannya pun dia berikan, demi menambal kekurangan biaya sekolah si cewek. Kurang apa lagi? Kurang satu hal, si cowok tidak pernah melisankannya, “Aku cinta padamu”. Buat si cowok, tidak perlu lagi kata-kata, perbuatan nyata sudah ada. Namun ada juga perbuatan si cowok, yaitu jalan dengan cewek lain, yang tanpa bilang-bilang, yang membuat si cewek curiga dan bahkan murka. Apa lagi ibunda si cewek tidak suka pada gaya si cowok, sementara cowok tetangga ada hati juga pada si cewek. Kompor pun meleduk.

Begitulah, yang di dalam hati mesti di wujudkan dengan kata-kata. Mesti. Kalau tidak, pihak lain tidaklah mengerti. Hanya saja, kata-kata dan kata-kata ada bedanya.

Dalam sebuah pelatihan kepribadian, agar peserta lebih pede dan punya integritas, para peserta diminta membuat pernyataan diri tentang dirinya sendiri. Siapakah atau bagaimanakah gambaran dirinya, sosok dengan kesadaran baru. “Saya adalah seorang lelaki yang dapat dipercaya. Mempunyai nilai dan prinsip dalam hidup. Dan ingin selalu bermanfaat buat orang lain.” WOW, kurang apa lagi? Lalu, satu persatu peserta harus menyuarakan pernyataannya di hadapan sang guru, pelatih kegiatan itu. Dalam suasana hening, peserta berdiri dan bertatapan mata langsung dengan dengan sang guru. Lalu sang gurulah yang memutuskan, apakah pernyataan itu berisi atau kosong, valid atau palsu. Satu dua ada yang lulus, banyak yang gagal. Bahkan ada yang gagal dan sudah mengulang beberapa kali dan masih gagal, lalu mulai panik, kebingungan karena tidak tahu salahnya dimana. Peserta yang sudah lulus pun berusaha membantu, melatih, mengajak memeragakan pernyataan diri itu berulang-ulang, persis seperti orang belajar seni akting.

Asal tahu saja, meskipun namanya akting, seorang aktor yang hebat adalah ia yang jujur kepada dirinya. Kemampuan menghubungkan pengalaman yang dibutuhkan oleh perannya dengan pengalaman subjektif dirinya. Pengalaman batin pribadi si aktorlah yang menghidupkan peran itu, sehingga penonton merasakan tokoh itu sungguh ada, sungguh hidup. Seni akting yang benar adalah ‘seni menjadi’, bukan seni berperan, bukan seni seolah-olah, bukan seni berpura-pura. Membuat film adalah make believe, dan begitulah, si aktor yang matang akan menyakinkan penontonnya, justru karena ia jujur.

Kesungguhan di balik kata-kata. Itulah yang dirasakan, dihayati, dan dicari oleh sang guru, apakah si peserta pelatihan sungguh paripurna, sungguh bersatu dengan kata-katanya.

Dalam pemberian Sakramen Pernikahan atau Sakramen Permandian, para calon harus melalui masa kursus, yang tidak sebentar. Harus beberapa kali datang, dan jika absen maka tidak lulus, tidak bisa kawin atau dipermandikan. Calon baptis harus sering ke gereja untuk menunjukan niatnya. Calon pengantin masih pula harus melalui wawancara dengan pastor untuk menguji kesungguhan ikrar para calon. Inilah hebatnya. Paling tidak menjamin bahwa sumpah yang diucapkan di depan altar adalah sungguh berasal dari batin, dari kejujuran dan kesadaran, bukan sekedar kelengkapan administrasi.

Baru saja kita merayakan hari Soempah Pemoeda. Memperingati hari di mana mereka yang seusia dengan para milenial masa kini, sungguh bersatu buat tanah air, bangsa, dan bahasa Indonesia. Ya, sebuah peringatan adalah sebuah hari yang membedakan hari itu dengan hari lainnya, agar hari itu tidak tumbang tanpa akar. Tapi, sungguhkah demikian, ataukah ia hanyalah sebuah ritual rutin, tanpa rasa?

Sudah terlalu sering kita mendengar sumpah. Sumpah para pejabat. Sumpah mereka yang menang coblosan. Sumpah mereka yang menghalalkan segala cara demi kemenangan pemilu. Sungguhkah sumpah, ataukah sampah? Sumpah menjadi sekedar kata-kata yang diucapkan dengan gagah, tanpa konsekuensi apa-apa. Secara formal pun sumpah hanya diucapkan dengan membebek kata-kata sang pembaca naskah. Pengucap sumpah memang pintar, setidaknya dalam satu hal, tetapi pintar dan punya hati pengabdi yang tulus adalah bumi dan langit. Apakah sumpah itu terlihat pada keseharian mereka, setelah sumpah usai dibunyikan? Jika pun tidak, juga tiada yang peduli. Sudah begitulah adanya. Bahkan kita pun baal. Sampai saatnya digugah oleh para pendengung yang membuat drama dalam click bait, untuk mengajak warganet mengeklik postingan mereka demi iklan, atau demi hoaks, atau demi membakar emosi. Apakah demi kebenaran? “Apa itu kebenaran?”

Kembali pada Soempah Pemoeda, ketika tulisan ini dibuat hari sudah gelap, hari Soempah Pemoeda sebentar lagi berlalu. Tapi masih beruntung, tahu-tahu saya teringat, dan masih kepingin turut merayakannya dengan menuliskan rasa ini. Sebuah rasa yang muncul begitu saja, seperti munculnya jin botol gara-gara tak sadar terusap. Sebuah rasa yang sotoy, yang ingin menghidupkan makna. Rasa yang bukan sebuah hafalan, tetapi keharuan, ketika membisikan kata “Indonesia.”

Ketika tulisan ini diterbitkan, sudah terlambat memang, seharusnya tulisan ini muncul pada harinya, agar relevan, agar memberi impak, agar lebih banyak yang ngeklik. Ya setuju, tetapi gading pun tiada yang tak retak. Kita tidak hidup dalam kesempurnaan, tapi dalam proses menjadi, sesuatu yang memakan waktu, seperti menjadikan satu kata dan hati, sebuah ikhtiar menyatukan perbuatan dan janji kepada diri.

Henry C. Widjaja, Kontributor/IG/FB @henrycwidjaja

 

2 COMMENTS

  1. Tiada hari kenangan kejadian yang terlambat…. everything jappen with a purpose … supaya kita tepat waktu saat menghadap… thank you broer… beautifully done

Leave a Reply to Henry C. Widjaja Cancel reply

Please enter your comment!
Please enter your name here