SIAPA SIH WR SUPRATMAN? NAMANYA KOK RADA ANEH: INI PENELUSURAN DARI SOMONGARI, DESA KELAHIRANNYA

626
St. Sularto, Wartawan Senior, Kontributor
5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.COMTIAP menjelang peringatan Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober, saya teringat beberapa kontroversi yang belum ada kata putus mengenai tokoh Wage Rudolf Supratman. Kontroversi-kontroversi itu bisa dianggap taken for granted, terima saja, sudah tidak ada persoalan. Bisa juga sebaliknya. Ketika masalahnya sudah lewat lama dan relatif tidak menyangkut kepentingan politik, demi kepentingan mendasar berpijak ke depan, sebaiknya kebenaran dibuka. Bukankah kebenaran sejarah gugur ketika ditemukan data baru? Dan, itu otoritas dan wilayah sejarawan.

Satu di antaranya tentang tempat kelahiran Wage Rudolf Supratman (1903-1938). Di buku-buku sekolah dan pemahaman umum, tempat kelahirannya di Meester Cornerlis, Jatinegara sekarang. Padahal sejatinya di Dukuh Trembelang, Desa Somongari, Kaligesing, Purworejo, Jawa Tengah. Penduduk Somongari dan anak-anak sekolah di sana bangga menyatakan desanya tempat kelahiran Pahlawan Nasional dan pencipta lagu “Indonesia Raya”. Desa Somongari terletak 12 kilometer tenggara kota Purworejo.

Pada tahun 1983 saya melakukan penelitian investigatif di lapangan maupun pustaka tentang WR Supratman, pencipta sekaligus menyanyikan “Indonesia Raya” dengan gesekan biola. Kongres Pemuda Indonesia II tanggal 27 dan 28 Oktober 1928 (kongres pertama 30 April-2 Mei 1926) kemudian ditabalkan sebagai salah satu tonggak menuju kemerdekaan Indonesia.

Saya datangi Desa Somongari. Melakukan serangkaian pendalaman di sana, bertemu   narasumber. Mewawancarai sejarawan di Jakarta. Membaca buku-buku tentang WR Supratman. Hasil penelitian ini dimuat dalam Jurnal PRISMA, 5 Mei 1983 dalam rubrik Tokoh. Sebagai salah satu artikel dalam rangka perayaan 50 tahun Indonesia Merdeka, dimuat di Harian Kompas, 14 Juni 1995.

Wage —dari namanya menandakan dia “bocah ndeso”– diberikan oleh ibunya, Senen. Seperti kebiasaan orang dusun, nama dikaitkan dengan hari pasaran (Legi, Paing, Pon, Wage, Kliwon) yang berputar tiap lima hari. Supratman lahir hari keempat. Begitu juga nama ibunya, Senen, sesuai dengan hari kelahirannya hari Senen. Ayah dan ibunya sudah meninggal. Tetapi di tahun 1983 itu, menurut Sastrosupardjo —lurah desa sejak 1937— Supratman lahir di Dukuh Trembelang. Ny. Salamah (1904-1992), istri Supratman yang saya temui di Kelapa Gading, menambahkan “Bapak berkali-kali mengatakan tempat kelahirannya di Somongari.”

Kisahnya. Beberapa bulan menjelang kelahiran Wage, Sersan KNIL Djoemeno, ayahnya mengirim kembali Senen ke Somongari. Tanggal 9 Maret 1903 anak mereka lahir dan diberi nama Wage. Beberapa bulan kemudian Sersan Djoemeno memberi nama Supratman. Jadilah nama Wage Supratman yang lahir di tangsi Meester Cornelis. Ketika Wage Supratman ikut kakaknya, Ny. Rukiyem Supratiyah van Eldik di Makassar, ditambahkan nama Rudolf. Tujuannya agar Wage Rudolf Supratman bisa masuk ke sekolah Europese Lagere School dan statusnya disamakan dengan orang Belanda. Belakangan dia dikeluarkan dari sekolah karena terbukti bukan orang Belanda.

Seperti kakak iparnya, Supratman pegang biola ketika menjadi anggota grup band Black and White di Makassar. Selain bermain musik dia guru sambil bersekolah dan tertarik pada lagu-lagu perjuangan. Tahun 1922 mulai berkenalan dengan lagu “La Marseille”, lagu kebangsaan Perancis ciptaan Rouget de L’isle yang berirama mars membangkitkan semangat. Kembali ke Jawa, terutama tinggal di Bandung dan Jakarta, Supratman berkenalan dengan tokoh-tokoh bangsa Indonesia.

Menjadi wartawan harian Sin Po, main biola dan mencipta lagu-lagu perjuangan menjadi kegiatan sehari-hari. Ia meliput Kongres Pemuda Indonesia yang pertama. Dan ketika meliput kongres yang kedua, Sugondo Djojopuspito sebagai ketua panitia, meminta WR Supratman menyanyikan lagu “Indonesia Raya” dengan gesekan biola.

Penampilan yang sama dilakukan pada sebuah pertunjukan kesenian. Baru pada saat pembubaran panitia kongres, Desember 1928, untuk pertama kali lagu “Indonesia Raya” dinyanyikan. Penampilan yang sama dilakukan saat pembukaan Kongres PNI 18-20 Desember 1928 yang diikuti semua hadirin serentak berdiri memberi penghormatan.

Sebagai komponis WR Supratman adalah komponis pertama Indonesia yang menciptakan lagu-lagu perjuangan. Selain “Indonesia Raya”, ia antara lain menciptakan lagu “Dari Barat sampai ke Timur” (1925), “Bendera Kita” (1927), “Ibu Kita Kartini” (1931), “Bangunlah Hai Kawan” (1931). Karena menciptakan lagu “Matahari Terbit” (1938) yang dianggap memuja-muja Jepang, ia pernah ditahan Belanda.

Berhenti sebagai wartawan Sin Po, November 1933 karena sakit-sakitan, mula-mula WR Supratman tinggal di Cimahi, pindah ke Palembang, terakhir di Surabaya —meninggal pada tanggal 17 Agustus 1938 dan dimakamkan di kota itu. Tahun 1971, Pemerintah RI menganugerahkan Gelar Pahlawan Nasional dan Bintang Maha Putra Utama Kelas III.

St. Sularto, Wartawan Senior, Kontributor

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here