Body Dysmorphic

104
Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – AKU terpaku di depan cermin.  Dengan segenap perasaan, kucermati pantulan wajahku. Baru saja aku bersolek rada menor, tak sekadar menggunakan bedak tabur sebagaimana kebiasaanku. Upayaku mempercantik diri kali ini terbilang ekstra.

Kupulasi kedua tulang pipiku dengan perona wajah supaya tampak segar. Lantas kuoleskan eye shadow di kelopak mata agar mataku tampak besar dan indah. Tak lupa kukenakan maskara yang membuat bulu mataku terlihat lebat dan lentik. Lalu, kugoreskan sipat mata di alis hingga hitam mempesona. Terakhir, kukenakan lipstick merah menyala agar bibirku terkesan ranum dan merekah.

Sesabit senyum mengembang.  Betapa aku puas dengan riasan ini. Tak perlu pergi ke salon. Aku malah leluasa berdandan karena sejatinya akulah yang paling mengenal detil parasku.

Kini, giliranku  mengenakan gaun. Inilah gaun terbaik yang pernah kumiliki. Warnanya merah muda dipadu kerah abu-abu. Namun, keraguan segera memelintir semangatku. “Aduuuhhh… mudah-mudahan cocok ya,” harapku. Tak henti-hanti aku mematut-matut diri hingga menghamburkan waktu.

“Hmmm… tampak langsing,” pujiku menghibur diri.

Tapi uppps… begitu mataku melihat kaki, serta-merta semangatku terkulai.

Hadeeeuuuh... kaki ini,” sesalku berpadu kesal.

Kudis menyisakan jejak; banyak bercak dan goresan di kakiku. Belum lagi bentuk betisku bak talas Bogor. Aduuuh, minta ampun!  Alhasil, tiada hari terlintasi tanpa kukenakan celana panjang entah jeans atau pantalon. Tak jarang, sesal yang tak berujung merundungku menghadapi realitas ini.

Dulu, kakiku berkudis hingga parah karena orang tuaku tak berpunya. Tiang nafkah mereka kerap doyong. Mereka tak sanggup membawaku berobat ke dokter. Kudisku hanya diolesi salep anti gatal yang dibeli di warung dekat rumah kami.

Jika mendapatiku sedang menggaruk-garuk kudis, mereka selalu mengingatkan aku, ”Jangan digaruk-garuk, Maria. Nanti berdarah dan berbekas.” Nyatanya, tak hanya berdarah, luka-luka di kakiku kerap bernanah sehingga meninggalkan bekas.

Penyakit kulit yang menjijikkan itu datang dan pergi semena-mena. Penyakit durjana itu kerap dibiarkan sembuh dengan sendirinya.  Jangan ditanya sakit dan perihnya. Seiring bergulirnya waktu, rasa sakit dan perih itu tak hanya bersarang di kaki tapi juga di hatiku.

Betapa pedih! Aku tumbuh dengan bekas-bekas kudis. Penderitaanku seakan purna tatkala banyak kawan yang melontarkan cemooh seenaknya. Tak sekadar olok-olok, bahkan julukan “Si Buduk” pernah disandangkan padaku. Begitulah, kudis telah menyisihkan aku, terkucil dari keramaian dunia kanak-kanak.

Luka hati itu bertimbun hingga pada akhirnya aku menderita body dysmorphic. Kondisi psikologis ini membuatku disesah gelisah setiap kali melihat kaki sendiri. Lalu, aku berupaya menutupinya sedemikian rupa.

Kemarin, Rudy mengajakku bersantap malam di sebuah restoran.  “Aku ingin melihatmu memakai gaun, Maria. Pasti mempesona,” ujarnya menyemangati. Aku tak kuasa menampiknya. Yang pasti, aku perlu menghalau galau demi meluluskan permintaan itu.

Kubayangkan, temaram lampu bakal menyuguhkan aura romantis bagi kami. Sembari menggoyang lidah menyantap hidangan lezat, kami berbagi kisah untuk saling mengenal lebih dalam.  Semua terasa indah. Tetapi, begitu aku melihat kedua kaki ini, keindahan yang kubayangkan itu merepih.

Biasanya jika bergaun, aku memakai stocking. Kali ini, aku sengaja tidak mengenakannya. “Barangkali ini waktunya untuk menunjukkan diriku seutuhnya.  Apakah Rudy sanggup menerima aku apa adanya,” ucapku kepada diri sendiri.

***

Aku mengenal Rudy dalam perjalanan dari Manado ke Jakarta. Aku sudah duduk di dalam pesawat ketika tiba-tiba ada seorang lelaki meletakkan ranselnya di kabin persis di atas kepalaku.

“Permisi,” ucapnya tanpa senyum.

Dengan ekor mata sempat kukuntit sosoknya. “Hmmm…,”  batinku.

Senja baru beringsut tatkala roda pesawat yang kami tumpangi mencium landasan Bandara Soetta. Kupergoki pria itu tengah tengadah ke arah ranselnya.

“Wah bisa berebut mengambil ransel nih,” pikirku.  Pasalnya, ranselnya bersebelahan dengan ranselku.

Dugaanku meleset. Lelaki itu membiarkan aku terlebih dulu mengambil ranselku.

“Silakan,” katanya.

Pada saat itu kudapati tatapan matanya begitu teduh.

“Terima kasih,” balasku dengan seulas senyum.

Sewaktu  bergegas melangkah menuju lokasi pengambilan bagasi,  aku berpapasan dengan lelaki itu.

“Tinggal di Jakarta?” tanyanya terkesan basa-basi.

“Ya,” jawabku ringkas.

Pada saat menunggu koper masing-masing, perbincangan dengan lelaki itu bergulir.

“Mengunjungi siapa di Manado?” tanyanya lagi.

“Ada keluarga Papa tinggal di Karombasan,” kataku.

Begitu koper tiba, aku langsung berpamitan.

“Yuk, saya duluan ya,” kataku.

Bae-bae di jalan. Semoga kita bertemu lagi kalau bale Manado,” ujarnya dengan logat Manado kental.

Astagaaaa… di selasar bandara, kami bertemu lagi. Saat itu, aku sedang menunggu taksi.

“Wah kita bareng lagi,” ujarnya. Kali ini suaranya terdengar ramah.

Sementara itu, hujan turun bagai tercurah dari langit. Ia mengajakku meneguk kopi dulu sembari menanti hujan reda.

“Ngopi dulu jo supaya hangat ta pe badan,” tuturnya.

Kuterima ajakan itu.

Sejak itu, seperti ada magnet yang melekatkan aku dan Rudy. Perkenalan berlanjut. Pertemuan demi pertemuan pun bersusulan. Perlukah menggugat getar-getar rasa yang kemudian menelusuk hati?

Kuserahkan liku-liku kisah ini kepada Yang Ilahi. Hidup ini tak pernah pasti. Tiada bisa kutahu apa yang bakal menelentang di depan. Hari ini, kulintasi pematang kehidupan bersamanya seraya menyemai cinta yang mulai bertunas. Kusirami dengan ketulusan. Esok biarlah milik esok.

***

Makan malam romantis itu menorehkan kesan mendalam di hatiku. Rudy memperlakukan aku bak putri dalam dongeng. Tatapan matanya yang teduh menyirnakan segala keraguanku.  Persoalan body dysmorphic yang belasan tahun membebani jiwa, malam itu kutanggalkan. Terlebih, tak sekalipun manik matanya mengarah pada kakiku.

“Kamu anggun sekali malam ini,” pujinya membuatku serasa tak menapak bumi.

“Terima kasih,” jawabku tersipu.

Kami memilih tempat di pojok di dekat jendela. Ada lampu tempel antik yang cuma sejengkal di atas kening kami. Cahayanya yang temaram tak terhitung kali berkebit oleh sapuan angin malam. Kami terbenam dalam percakapan yang hangat. Tak terhitung kali bola mata kami saling bertumbuk pandang.

“Semoga relasi ini bisa saling membahagiakan,” ucap Rudy.

“Aku bahagia kalau arah hubungan ini jelas,” sambungku.

Sekembalinya ke rumah, pergumulan di hatiku kembali berlanjut. Sebelum terlanjur kulabuhkan hati ini pada dirinya, aku perlu mengutarakan ihwal body dysmorphic yang sempat memasung jiwaku. Aku tak ingin relasi yang mulai berpilin ini sekadar menjadi memori lapuk di kemudian hari.

Aku mulai dilabrak kantuk tatkala ada teks masuk di ponselku. Segera kulirik teks itu. Wow, dari Rudy. “Belum tidur dia…” desahku.

Serta-merta kubaca teks itu.

“Maria, apakah besok sore kita bisa bertemu?”

Teks itu masih diikuti oleh teks berikutnya.

“Aku ingin mengajakmu berobat pada omku. Dia adalah dokter kulit yang pandai, ahli menghilangkan bekas luka…”

Benakku sontak melompong.

Sementara tubuhku bagai terpasak di ranjang, aku tidak tahu harus menjawab apa….

Oleh Maria Etty

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here