Happy Hypoxia

183
1.5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – Tanggal 01 Oktober 2020, kita mengadakan pembukaan doa rosario, waktu jam 20.00 bertempat di aula kompleks.

Pesan di WAG dari bapak ketua lingkungan untuk semua penghuni warga St. Angela. Arini terlihat memelototi gawainya berkali-kali dan mendesah. Ia melempar gawai ke sofa dan wajahnya semakin kusut.

“Huffft … ! Mereka tetap berkumpul di masa pandemi,” gumamnya.

Arini memukul-mukul bantal sofa, wajahnya tampak geram. Ia memang setiap hari pergi bekerja. Namun, protokol kesehatan selalu dipegang teguh, para kolega pun sangat memahami sikapnya selama ini.

Warga di lingkungannya bila berkumpul selalu diikuti dengan makan bersama. Bagaimana keadaannya nanti? Arini berulang-ulang menghembuskan nafas dan meremas-remas tangannya sendiri.

Sebagai karyawan yang masih lajang, ia mengerjakan pekerjaan rumah sendiri. Ia juga selalu berpartisipasi aktif dalam semua kegiatan gereja. Menjadi lektor, anggota kor, bahkan pendampingan BIA/PIR pun dijalaninya.

Dalam menghadiri pembukaan doa rosario, mereka diminta regristrasi untuk mempersiapkan akomodasi dan menjaga protokol kesehatan. Arini belum melakukannya, padahal batas waktu tinggal beberapa jam lagi. Arini masih bingung, tangannya sudah berulang-ulang membuka handphone. Akhirnya hanya menutup kembali layar tanpa melakukan apa pun.

Arini pergi ke halaman belakang rumah untuk mengalihkan pikiran yang suntuk. Tanaman yang menyemak ia siangi. Tanpa terasa sudah dua jam, ia berkutat dengan bunga-bunga di pot. Batas waktu regristrasi sudah berlalu. Hati Arini diliputi rasa gundah. Tetapi tidak akan mengubah situasi dan keadaan.

Tanggal 01 Oktober 2020, jam 19.30 WAG lingkungan sudah gencar.  Arini enggan untuk membuka, ia justru membuka WAG dari kelompok lain. Berhubung beberapa WAG sangat aktif, tanpa sengaja ia memencet WAG lingkungan. Ajakan untuk doa bersama datang bertubi-tubi. Ia tetap bertahan tinggal di rumah. Bapak ketua lingkungan izin tidak ikut datang, karena giginya sakit. Hal ini yang menguatkan Arini tidak ikut hadir ke aula.

Foto-foto yang sudah datang di aula dikirim ke WAG, dari berbagai usia berpose dengan ceria, memamerkan aneka masker dan face shield yang dikenakan.

Tepat jam 20.00 Arini mengambil rosario untuk memulai berdoa, meskipun ia berada di rumah, tetapi karena waktunya bersamaan, ia merasa bersatu dengan seluruh warga lingkungan.

“Oh, my God!” Arini tersentak melihat foto anak-anak makan camilan tanpa menjaga jarak dan bermasker. Tidak ketinggalan pula para ibu riang saling bertukar makanan, memperlihatkan gigi-gigi putihnya. Semua melebur bahagia tanpa melakukan protokol kesehatan.

***

“Arini, kenapa kemarin tidak muncul?” sapa Bu Danu yang tinggal di depan rumahnya.

“M-mmm ….” Arini kesulitan mencari alasan untuk menjawab pertanyaan tetangganya.

“Takut mati, ya?”

“Bukan begitu, Bu.”

“Penakut amat, sih!”

Arini hanya mampu menunduk, tidak berani menatap Bu Danu.

“Permisi, Bu. Saya mau berangkat bekerja.” Arini berusaha menghindar.

“Bukannya menjawab pertanyaan, malah pergi begitu saja!”

Arini semakin menekuk wajahnya. Pelan-pelan diayunkan langkahnya. Terdengar lamat-lamat para tetangga yang lain saling berkomentar, membuat telinganya semakin panas. Segera ia melangkah cepat agar tidak terdengar lagi gunjingannya.

Di kantor Arini hanya terbengong saja. Teman-teman sampai menegurnya. Ia hanya membalas dengan senyum kecut. Percakapan dengan bu Danu sangat mempengaruhi suasana hatinya.

Sore hari Arini segera memberesi peralatan kantornya. Tidak seperti biasanya ia sering pulang paling belakangan.

Ting …! gawainya berbunyi. Cepat ia buka pesan yang masuk.

“Pesan dari bapak ketua lingkungan ….” gumamnya. Wulan teman sebelah meja mendengar dan menjadi tertarik lalu bertanya.

“Ada berita apa, Ar? Seharian kamu tidak konsentrasi kerja.” kata Wulan.

“Tetangga depan rumahku positif kena Covid-19.” Arini terlihat semakin gelisah, ia secepatnya menelepon pimpinannya.

“Pak, tolong kami semua ditest swab. Tadi pagi saya sempat berbincang dengan tetangga yang positif kena Covid-19.” Arini segera menutup telepon dan memandang Wulan yang bersungut-sungut wajahnya.

“Duh, kamu buat repot kami semua, deh!” protes Wulan.

“Justru saya berusaha sedini mungkin untuk mencegah penyebaran virus ini!” sanggah Arini.

Mereka yang hari ini bertemu dengan Arini dikarantina di kantor. Semua menjauhi Arini dan memandang tajam kepadanya penuh permusuhan.

Masing-masing berusaha mengisolasi diri dengan tidur di sofa yang ada di setiap ruangan. Semua tampak gelisah dan kesulitan tidur. Makanan yang dikirim hanya disentuh sedikit sekedar mengisi perut agar tidak kosong. Apalagi mereka masih tetap mengenakan pakaian kerja. Sungguh sangat tidak nyaman untuk bisa terlelap tidur.

***

Pagi hari, Arini mendengar dua kabar yang berbeda. Hasil tes untuk teman-teman kantornya semua negatif. Spontan Arini memeluk Wulan yang masih berwajah kusut karena semalaman kesulitan tidur. Mereka menangis terharu.

Kabar dari bapak ketua lingkungan, seluruh warga positif terkena virus kecuali bapak ketua lingkungan. Bu Danu paling parah, ia masuk ICU. Sepuluh orang dirawat di rumah sakit yang lain karantina mandiri di rumah.

[Pak ketua, dari mana bu Danu tertular? kenapa secepat itu prosesnya?] Arini penasaran mengirim pesan.

[Beliau tertular anaknya yang baru pulang dari luar kota. Tadi dokter menerangkan Bu Danu mengalami Happy Hypoxia. Tanpa gejala apa-apa seperti, flu, batuk, demam, tetapi kadar oksigen di dalam darah menurun. Tiba-tiba pingsan. Doakan segera pulih, mbak.]

[Baik, pak. Kami iringi dengan doa. Terus langkah apa yang akan di ambil?]

[Wilayah kita lock down, mbak. Bisa membantu mengirim konsumsi?]

[Baik, pak. Saya ambil cuti empat belas hari. Kita bahu membahu mengatasi bersama. Eh … tapi maaf, pak. Sedikit penasaran, apakah bapak betul sakit gigi?]

[Sebetulnya itu hanya salah satu alasan saya tidak hadir. Berulang-ulang saya sudah mencegah warga untuk melakukan kegiatan. Beberapa warga yang keras kepala mempengaruhi yang lain. Saya berharap, peristiwa ini bisa menjadi pelajaran bagi mereka. Saya sebetulnya tidak semangat menjadi ketua Lingkungan. Namun, semua warga menunjuk saya dan direstui pejabat gereja, sekuatnya saya mengemban tugas, Mbak.]

[Saya sangat salut, memahami dan menghargai usaha bapak untuk mendampingi warga, Pak.]

[Maaf, menjadi curhat, ya, Mbak. Saya juga salut Mbak Arini mempunyai pendirian teguh memegang protokol kesehatan dan tidak datang di pembukaan doa rosario.]

[Saya sebetulnya juga galau, Pak.]

Berbalas pesan mereka diakhiri dengan saling mendoakan dan mendukung rencana yang akan diterapkan untuk membantu warga.

Arini menyampaikan masalahnya kepada pimpinan dan didukung langkahnya dengan membuka dapur umum. Kepedulian pimpinannya ini yang membuat betah Arini bekerja. Bukan semata-mata alasan ekonomi, tetapi dihargai sebagai manusia.

Tiga kali sehari, Arini bersama bapak ketua lingkungan, berkeliling menaruh makanan di depan pintu rumah warga. Ia mengenakan pakaian APD (alat pelindung diri) lengkap, sangatlah tidak nyaman. Apalagi di siang hari, peluh membanjiri tubuh dan wajahnya. Napasnya menjadi pengap. Arini sering mengalami pusing kekurangan oksigen.

Makanan sudah disiapkan, ia tinggal mengantar saja. Ini yang membulatkan tekadnya terus melakukan hingga hari ke empat belas. Semua dijalani dengan tulus. Warga juga sudah mau berdisiplin tinggal di rumah.

Hari ini seluruh warga sangat bergembira mendengar hasil tesnya negatif semua. Warga yang di rawat di rumah sakit juga sudah boleh pulang.

Arini menjauh dari kegembiraan warga, ia masuk ke kamarnya yang sunyi. Diam-diam ia berdoa untuk keselamatan jiwa Bu Danu, yang telah dimakamkan seminggu yang lalu.

Jakarta, 15 September 2020

Oleh Albertha Tirta

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here