YANG TERSISA DARI “ZIARAH PERDAMAIAN” PAUS FRANSISKUS KE IRAK

103
Saat tiba di Irak, Paus Fransiskus disambut secara kenegaraan oleh Pemerintah Irak.
Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – Kunjungan Paus Fransiskus ke Irak pada tanggal 5-8 Maret 2021 lalu telah menjadi fokus perhatian media di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Ada banyak hal yang membuat kunjungan Paus ke Irak ini menjadi sangat menarik perhatian.

Perjalanan ini dilakukan pada saat tokoh-tokoh dunia lain menjauh dari Irak karena ISIS sudah berhasil dilumpuhkan. Padahal, Irak sangat membutuhkan kontribusi bagi rekonstruksi negara yang selama puluhan tahun gagal dilakukan.

Karena itu, kedatangan Paus dapat dimaknai sebagai  dukungan dan dorongan bagi Irak yang mencoba untuk keluar dari kekacauan akibat invasi pimpinan AS dan kebrutalan ISIS. Kedatangan Paus juga menjadi tanda penghormatan besar dari pemimpin Gereja Katolik Roma, yang juga tokoh dunia, terhadap Irak. Ini yang kiranya penting bagi bangsa Irak dan memberikan semangat kebangkitan.

Meskipun kunjungan Paus ke Irak ini adalah kunjungan apostolik—Paus menyebutnya sebagai “Ziarah Perdamaian”—dan bukan kunjungan politik, namun, dimensi kultural dan politik sangatlah kental.

Perjalanan apotolik, menurut wakil Catholic Relief Services (CRS) di Irak  Davide Bernocchi, adalah instrumen kunci bagi Paus untuk menyatukan publik dan diplomasi klasik dengan memobilisasi umat Katolik dan menarik individu dan elite non-Katolik, dan kemudian mengubah kinetika sosial menjadi pengaruh politik, baik di dalam negeri maupun internasional (Atalayar, 8/3/2021).

Karena alasan itulah, perjalanan kepausan ke Irak berdampak besar pada dinamika politik negara-negara dan geopolitik kawasan. Dan, di luar semua itu, kunjungan ini menunjukkan posisi penting Irak dalam perkembangan trans-regional.

Meskipun, sebenarnya prioritas utama kunjungan Paus adalah memastikan bahwa kehadiran umat Kristiani di Irak bisa pulih dan tetap berlanjut. Sehingga dengan demikian, Gereja dapat diakui menjadi aktor yang berperan dalam perdamaian dan rekonstruksi Irak.

Hal tersebut diwujudkan Paus dengan bertemu dengan  pemimpin tertinggi Syiah Irak Ayatollah Sayyid Alī al-Ḥusaynī al-Sīstānī. Pertemuan dengan Ayatollah al-Sīstānī itu – yang bukan hanya tokoh agama terkemuka tetapi juga tokoh politik penting di Irak – bertujuan untuk secara strategis memosisikan Takhta Suci sebagai aktor utama dalam “great game” di Timur Tengah yang hiruk-pikuk karena benturan kepentingan antarnegara dan banyaknya tangan luar yang masuk.

Dengan demikian, kunjungan Paus ke Irak bukan hanya sebuah pesan yang dikirimkan kepada bangsa yang dikunjunginya, tetapi juga kepada seluruh umat manusia. Pesan tersebut terbaca jelas dari slogan yang dibawa Paus yakni, “Kita adalah saudara.”

“Langkah Selanjutnya”

Bisa dikatakan, kunjungan Paus ke Irak dan pertemuannya dengan Ayatollah al-Sīstānī — juga kunjungannnya ke Ur kampung halaman Abraham, juga Ninive dan Erbil — sebagai kelanjutan (mungkin malah melengkapi) pertemuannya dengan Imam Besar Al-Azhar, Kairo Ahmad Muhammad Ahmad el-Tayyed di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, 2019.

Kunjungannya ke Abu Dhabi, diawali dengan mengunjungi sejumlah negara di Timur Tengah: Turki, Yordania dan Palestina (2014), Mesir (2017), Maroko (2019), Uni Emirat Arab (2019), dan Azerbaijan (2016) di Asia Tengah.

Negara-negara tersebut, yang mayoritas penduduknya adalah Islam Sunni (kecuali Azerbaijan yang Syiah) lebih terbiasa dengan interaksi antar-agama, ketimbang Irak. Rangkaian kunjungan itu dimahkotahi dengan penandatanganan The Document on Human Fraternity for World Peace and Living Together (“Dokumen Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama”) atau yang sering disebut sebagai “Dokumen Abu Dhabi.”

Dokumen tersebut menjadi peta jalan yang sungguh-sungguh berharga untuk membangun perdamaian dan menciptakan hidup harmonis di antara umat beragama. “Dalam nama Allah dan segala sesuatu yang dinyatakan sejauh ini; Al-Azhar al-Sharif dan umat Muslim dari Timur dan Barat, bersama-sama dengan Gereja Katolik dan umat Katolik Timur dan Barat, menyatakan menerima budaya dialog sebagai jalan; kerja sama timbal balik sebagai kode etik; saling pengertian sebagai metode dan standar.”

Dalam bagian lain dinyatakan, “melalui Dokumen ini, menyerukan kepada diri kami sendiri, kepada para pemimpin dunia serta para pembuat kebijakan internasional dan ekonomi dunia, untuk bekerja keras menyebarkan budaya toleransi dan hidup bersama dalam damai; untuk ikut campur tangan pada kesempatan pertama untuk menghentikan pertumpahan darah dari orang-orang yang tidak bersalah serta mengakhiri peperangan, konflik, kerusakan lingkungan dan kemerosotan moral dan budaya yang dialami dunia saat ini.”

Kiranya, dalam konteks inilah kunjungan Paus ke Irak dan pertemuannya dengan Ayatollah al-Sīstānī, berada. Kunjungan ke Irak dan pertemuannya dengan Ayatollah al-Sīstānī merupakan “langkah selanjutnya” dari kunjungannya ke Abu Dhabi dan pertemuannya dengan Imam Besar el-Tayyed.

Koeksistensi dan Rasa Hormat

Dengan mengnjungi Irak, Paus seperti memasuki ladang ranjau dan politik. Hal itu juga dialami oleh Ayatollah al-Sīstānī yang menerima Paus di kediamannya.

Kunjungan Paus ke Najaf adalah semacam pengakuan internasional bahwa Najah adalah titik acuan bagi semua Syiah (Tentu ini sangat tidak diinginkan oleh Iran yang menyatakan bahwa titik acuan bagi semua Syiah adalah Qom).

Pertemuannya dengan Ayatollah al-Sīstānī juga bisa dibaca sebagai dukungan terhadap filosofi hidup ulama itu, yakni mendukung koeksistensi damai dengan sesama manusia, menerima dan menghormati yang lain. Ini langkah toleransi sama seperti yang diyakini dan terus diperjuangkan Paus.

Kunjungan tersebut sejalan dengan pemikiran Ayatollah al-Sīstānī yang selalu mencari kohesi sosial dan melawan sektarianisme. Irak adalah negara yang terpecah-pecah seturut garis sectarian — Sunni, Syiah, dan Kurdi. Kenyataan itu yang berulangkali memunculkan konflik.

Hampir dua dekade setelah perang tahun 2003, Irak tetap terperangkap dalam kerapuhan, menghadapi peningkatan ketidakstabilan politik, meningkatnya kerusuhan sosial, faksionalisme agama, dan kekerasan sektarian. Hal itu ditambah dengan tata kelola yang buruk dan korupsi yang meluas, diperburuk oleh pandemi Covid-19, akibatnya ekonomi Irak berada dalam kesulitan.

Situasi itu diperberat dengan terus bergolaknya wilayah  utara yakni wilayah otonom Kurdistan. Wilayah berpenduduk sekitar lima juta jiwa tersebut kaya cadangan minyak dan berusaha untuk lepas dari Baghdad.

Sebenarnya, inti konflik di Irak adalah benturan visi di antara komunitas politik dan sosial tentang identitas dan kepemilikan negara Irak. Legitimasi negara telah menjadi masalah yang diperdebatkan sejak berdirinya negara Irak modern pada tahun 1920-an. Dan, hal itu hingga kini masih terus terjadi.

Pasca invasi AS (2003), kekuasaan politik di Baghdad dialihkan dari yang semula di zaman Saddam Hussein didominasi Sunni ke elite politik yang didominasi Syiah (yang merupakan mayoritas).  Hasilnya adalah konflik semakin menjadi.

Konflik tersebut didorong oleh persaingan kekerasan antaraktor politik lokal untuk memperebutkan kekuasaan, wilayah, dan sumber daya. Konflik sektarian tidak hanya terjadi antara Syiah dan Sunni, tetapi juga antara Arab dan Kurdi, juga bahkan intra-Syiah, intra-Sunni, dan intra-Kurdi untuk memperebutkan kekuasaan (Randa Slim; 2019).

Dalam konflik semacam itu, yang menjadi korban adalah kelompok minoritas seperti Kristen — termasuk Armenia, Assyria, Chaldea, Melkite, Syriac, dan Roma Katolik — dan  Yasidi. Situasi bertambah buruk ketika ISIS berkuasa (2014-2017), dan merebut wilayah-wilayah di bagian Utara yang kaya minyak, semisal Mosul.

Pada masa itu, kelompok minoritas semakin tersisih, bahkan semakin tergencet (menurut sensus pemerintah Irak  1987, umat Kristen  1,4 juta jiwa, tetapi kini tinggal sekitar 250.000 orang).  Inilah yang menjadi perhatian utama perjalanan apostolik Paus

Persoalan di Irak menjadi lebih rumit lagi, karena pengaruh Iran dalam agama dan politik, terasa kuat. Akibatnya, terjadi persaingan antar-ulama, antara ulama yang ingin terlepas dari pengaruh Iran dan ulama yang “menikmati” pengaruh Iran.

Dalam situasi seperti itu, Ayatollah al-Sīstānī yang meskipun kelahiran Kota Mashhad mengambil jarak dengan Teheran (Deutsche Welle, 6/3/2021). Ia bahkan menentang teori-teori teokratik yang menjadi landasan Iran. Maka itu, ia mendukung pemisahan antara agama dan negara (church and state).

Terlepas dari dimensi persaingan Syiah Iran dan Irak, kunjungan Paus sangat penting bagi umat Kristen di Timur Tengah. Kunjungan itu adalah pesan bahwa mereka adalah komponen penting dan asli dari tatanan sosial dunia Arab. Dan, bahwa agama Kristen datang dari Timur Tengah. Karena itu, Timur Tengah akan selalu menjadi rumahnya.

Keragaman — di Timur Tengah, dan di mana saja — bukan berarti perpecahan. Sebab, seperti diyakini Paus dan Ayatollah al-Sīstānī, koeksistensi dan rasa hormat pada sesama, pada akhirnya, akan menang. Karena itu, “baik Paus maupun al-Sīstānī  menganjurkan dialog antariman (dan) persatuan, dan mereka berdua mengecam kekerasan yang bermantelkan agama” (Crux, 2/3/2021).

Semoga saja, kunjungan Paus ke Irak, pertemuannya dengan Ayatollah al-Sīstānī, menjadi pembuka jalan bagi terlahirnya rekonsiliasi nasional di Irak, secara khusus, dan perdamaian di Timur Tengah, secara umum, yang terus diwarnai oleh persaingan dan perseteruan baik politik maupun agama.

Selama ini, seringkali perjalanan kepausan memicu lahirnya titik balik, seperti terjadinya rekonsiliasi di Mozambik setelah kunjungan Paus (2019). Selain itu, juga membantu restorasi hubungan diplomatik antara AS dan Kuba (2014) setelah membeku 50 tahun.

Trias Kuncahyono, Wartawan Senior dan Penulis Buku Jerusalem, Kesucian, Konflik, dan Pengadilan Akhir

(Majalah HIDUP, No.17/Tahun ke-75, 21 Maret 2021)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here