Mendengarkan Suara Kenabian

699
3.7/5 - (3 votes)

 Minggu, 04 Juli 2021 Hari Minggu Biasa XIV Yeh. 2:2-5; Mzm.123:1-2a,2bcd,3-4; 2Kor.12:7-10; Mrk.6:1-6

“SEORANG nabi sejati seperti orangtua yang baik. Ia lebih melihat diri orang lain, bukan dirinya sendiri. Ia membatu mereka untuk mewujudkan mimpi mereka dan melayani mereka. Ia memberikan semangat di satu pihak dan kemurahan hati di pihak lain.” Itulah perkataan Mary Doria Russell seorang novelis dalam Dreamers of the Day. Seorang nabi hadir untuk orang lain di setiap zaman dengan cara dan bentuknya sendiri demi sebuah misi dari TUHAN. Yehezkiel dan Yesus adalah dua dari sekian banyak nabi yang memperoleh mandat dari Allah untuk memperbaiki kehidupan manusia.

Yehezkiel adalah seorang nabi bagi kaum buangan Yehuda di Babel. TUHAN memintanya untuk menumbuhkan harapan bagi mereka yang putus asa karena merasa dihukum oleh Tuhan. Namun, tugas ini tidaklah semudah membalik telapak tangan. Keputusasaan karena pengalaman hidup yang pahit terkadang membuat orang menjadi keras kepala dan tidak mau mendengar perkataan orang lain. Inilah yang terjadi dengan kaum buangan tersebut.

Mereka tidak mau mendengarkan firman Tuhan yang disampaikan Yehezkiel. Sampai-sampai Tuhan sendiri mencap mereka sebagai kaum pemberontak. Meskipun demikian, Tuhan tetap memaksa nabinya untuk terus bersuara entah didengarkan atau tidak. Tujuannya, supaya mereka sadar bahwa ada nabi di tengah mereka. Kehadiran nabi sebagai penyambung lidah Tuhan itu penting untuk meyakinkan bahwa Tuhan tidak meninggalkan umat-Nya dan selalu mendampingi serta mendidik, entah dengan penghiburan atau kritikan.

Pengalaman Yesus sebagai nabi mirip dengan pengalaman Yehezkiel. Penginjil Markus menceritakan, ketika Yesus kembali ke Nazaret dan mengajar di sinagoga sebagai seorang rabi, sebagian takjub mendengar pengajarannya, tetapi sebagian lagi menolak kehadiran-Nya. Mereka yang menolak rupanya dahulu mengenal Yesus sebagai tukang kayu tetapi sekarang tidak siap menerima Yesus yang telah bertranformasi sebagai rabi, penyembuh, dan eksorsis. Mereka tidak siap melihat Yesus yang telah menjelma sebagai nabi yang ‘diurapi’ oleh Allah sendiri. Ketidaksiapan ini membuat mereka menolak, tidak hanya ajaran Yesus, tetapi juga kehadiran-Nya sebagai nabi. Menanggapi penolakan mereka, Yesus hanya mengatakan, “Seorang nabi dihormati di mana-mana, kecuali di tempat asalnya sendiri, di antara kaum keluarganya, dan di rumahnya.”

Sepanjang zaman, nabi akan selalu dirindukan dan dibutuhkan tetapi sekaligus juga ditolak dan dibenci. Inilah ironi seorang nabi. Di tengah keputusasaan dan penderitaan, nabi dibutuhkan untuk memberikan semangat hidup dan penghiburan untuk bertahan. Di tengah ketidakadilan, nabi dirindukan untuk menyuarakan dan menegakkan keadilan sehingga tercipta harmoni dan kedamaian. Namun, sebagian orang tidak akan senang dengan kehadiran seorang nabi. Sebab, nabi yang menyuarakan suara Tuhan pasti akan menggoyang status quo mereka yang hidup nyaman dengan adanya penderitaan dan ketidakadilan sesamanya. Seorang nabi akan mengusik dan mengancam kenyamanan mereka.

Sebagai orang Kristiani, kita berada di dua posisi. Di posisi yang satu, kita dipanggil untuk beperan sebagai nabi. Tentu ini tidak harus seperti para nabi agung di masa lampau. Paling tidak, di hadapan ketidakadilan, kita seharusnya tidak diam dan perlu menyuarakan keadilan demi kebahagiaan sesama kita. Atau, kita harus memberi semangat hidup atau menjadi motivator sesuai kemampuan kita kepada mereka yang putus asa.

Di posisi yang lain, kita juga harus sadar bahwa pada momen tertentu kita juga membutuhkan seorang nabi. Roda kehidupan selalu berputar. Ada saat di mana kita membutuhkan pendampingan, tuntunan dan ajaran seorang nabi ketika sedang berada di titik nadir kehidupan. Ada saat di mana kita tersesat atau melenceng dari jalan Tuhan dan membutuhkan teguran dan kritikan seorang nabi yang siap meluruskan kembali jalan hidup kita. Dalam kondisi ini, kita diharapkan untuk tidak bersikap seperti bangsa Israel yang memberontak terhadap nabi Yehezkiel atau penduduk Nazaret yang menolak nabi Yesus. Demi kebaikan hidup kita, kita ditantang untuk terbuka mendengarkan suara kenabian.

“Seorang nabi hadir untuk orang lain di setiap zaman dengan cara dan bentuknya sendiri demi sebuah misi dari Tuhan.”

Romo Albertus Purnomo OFM, Pengajar Kitab Suci STF Driyarkara

HIDUP, No. 27, Tahun ke-75, Minggu, 4 Juni 2021

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here