Kendati Terbentur, SMA Regina Pacis Surakarta Hadapi Segala Dinamika dengan Beradaptasi dan Berinovasi Tiada Henti

601
Dari kiri ke kanan: Th. Lestari Handayani, Suster Veronica Sri Andayani, OSU, Maria Budi Priyarti dan Steven Nugroho (Foto: HIDUP/Karina Chrisyantika)
Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – TAHUN demi tahun dijalani oleh SMA Regina Pacis Surakarta hingga mencapai usia ke-70 tahun. Dari tahun ke tahun, sekolah yang kerap dikenal sebagai SMA Ursulin oleh masyarakat Kota Solo ini menyelarasakan sesuai perkembangan atau perubahan yang terjadi secara nasional (lingkup kota) bahkan menyesuaikan kebutuhan pelanggan (orangtua).  Hal ini disampaikan oleh Th. Lestari Handayani, kerap disapa Tari, yang tahun ini genap 29 tahun berkarya di SMA Ursulin.

Menurut Tari, sejak 1992 sampai sekarang, SMA Ursulin sudah mengalami lima kali perubahaan kurikulum. Sehingga berdampak dari segi administrasi, metode mengajar, pendampingan dan sebagainya.

Titik Balik

Pada Bulan Juli 2007, SMA Regina Pacis Surakarta mendapat SK Direktur Pembinaan SMA Dirjen Manajemen Dikdasmen Departemen Pendidikan Nasional No. 697/C4/MN/2007 tanggal 18 Juli 2007 tentang penetapan SMA Regina Pacis Surakarta sebagai Sekolah Penyelenggara Program Rintisan SMA Bertaraf Internasional (RSMA SBI).

Sejak itu, menurut Tari, banyak perubahan yang terjadi karena tuntutan dari pamerintah.  Pertama, segi kualitas tenaga didik. “Semua tenaga pendidik diharuskan bisa berbahasa Inggris dan wajib mengikuti beberapa pelatihan. Perubahan ini sangat nyata dan positif, membuat kami, para guru semakin berkembang dan berwawasan luas. Tidak hanya dalam mengajar tapi kemampuan mengoperasikan teknologi semakin bertambah. Sehingga, pembelajaran di kelas semakin lebih menarik,” jelas Tari. Kedua, sarana dan prasarana  sebagai fasilitas pendukung pun turut disesuaikan. “Tahun 1994, saya mengajar 46 murid dengan 10 komputer. Sekarang sudah jauh lebih mumpuni. Perkembangan yang sangat luar biasa,” ujar guru mata pelajaran Fisika ini.

Perubahan dari sisi manajemen juga dituturkan oleh Maria Budi Priyarti. Guru mata pelajaran Biologi ini menjelaskan ketika sekolah ditunjuk sebagai penyelenggara RSMA SBI, banyak persyaratan yang harus dipenuhi. “Ketika itu, pemerintah menuntut agar 30% para tenaga didik wajib mengambil studi lanjut (S2). Maka, beberapa di antara kami mulai mengenyam pendidikan S2 sehingga sampai sekarang hampir mendekati 30%,” ujar Maria menyambung dari Tari mengenai kualitas tenaga pendidik.

Memasuki Tahun Pelajaran 2008/2009 sekolah mempersiapkan sosialisasi ISO 9001:2000. Launching dokumen ISO 9001:2000 pada tanggal 8 Agustus 2008, sedangkan pelaksanaan audit external pada tanggal 30-31 Oktober 2008. Pada tanggal 19 November 2008 menerima Sertifikat ISO 9001:2000 No. 33046/A/0001/UK/En dari PT. URS Service Indonesia dan UKAS yang berpusat di Inggris

Di samping itu, SMA Ursulin mulai mencoba membuat Learning Management System (LMS) dengan di tahun 2012. Kemudian, mulai merintis Sytem Infomasi Management (SIM) dengan menggunakan konsultan untuk membuat semua manajemen yang ada di sekolah melalui daring. “Salah satunya dulu kami mencoba sistem e-rapot,” terang Maria.

Program RSMA SBI memang banyak mengubah SMA Ursulin.  Walaupun dengan keterbatasan namun membuka wawasan. “SMA ini seakan menjadi Mercusuar. Banyak dilirik orang. Sehingga jumlah murid ketika itu lebih dari 1000. Kalau sekarang memang dibatasi karena mengikuti pemerintah,” ungkap umat Paroki Santo Paulus Kleca, Surakarta.

Bagi guru yang pernah menjadi pimpinan di SMA Regina Pacis Surakarta pada periode 2015 – 2019 ini, Program RSMA SBI menjadi titik balik Regina Pacis untuk semakin modern. Lebih modern dalam hal fasilitas dan sarana pendidikannya.

Keluar dari Zona Nyaman

Menurut catatan Steven Nugroho, selalu terjadi perubahan pada sekolah yang kerap disebut oleh murid-muridnya sebagai kampus hijau ini dan selalu diawali dengan “kekacauan” karena keluar dari zona nyaman. “Khususnya dalam masa pandemi, membuat kami di tim sungguh pusing, 180 derajat berubah. Yang tadinya offline, semua jadi online. Pendidikan yang tadinya berpusat pada guru, bergeser ke murid, ini tantangan bagi kami bagaimana membimbing murid untuk menjadi kreatif,” ungkap Steven.

Para murid kelas XII SMA Regina Pacis Surakarta meraih Juara I dalam Accounting Smart Competition di Universitas Duta Wacana Yogyakarta, Jumat, 25 Oktober 2019. (Foto: Yayayasan Pendidikan Ursulin)

Di awal masa pandemi Maret 2020, para tenaga didik mulai berlatih menggunakan Google Classroom, Office 365 dan lainnya. Ia sangat bersyukur bahwa pihak yayasan pun sangat mendukung dan memfasilitasi. Perubahan juga terjadi dalam media pembelajaran. “Dulu sebelum pandemi, paling maksimal pembelajaran di kelas memakai power point. Animasi saja jarang. Tetapi sekarang dipaksa untuk berubah. Guru-guru di sini saya akui tahan banting sehingga dengan kondisi terbatas ini mereka beradaptasi, mulai mengeksplor cara pembuatan video pembelajaran, penggunaan kuis, TTS dan sebagainya,” jelas guru mata pelajaran Kimia ini.

Di samping itu, Steven juga menyampaikan bahwa mereka harus memutar otak karena peniadaan Ujian Nasional (UN). UN tadinya supermasi tertinggi. Hal ini sangat mempengaruhi metode mengajar. Maka, pihak yayasan dan sekolah merasa bahwa Integrated Learning ini membuat murid berpikir kritsi dan cara mengajar yang cocok untuk ujian Asesmen Kompetensi Minimum (AKM). Mereka berkesempatan pelatihan dengan Richardus Eko Indrajit mengenai penerapan Integrated learning (IL) ini.

“Dalam IL, kami mencoba menggabungkan minimal lima mata pelajaran dengan tugas akhirnya membuat suatu project. Peserta didik diharapkan menjadi lebih kreatif dan mencari bahan belajar yang lain. Guru bertugas memberi stimulus dari surat kabar, jurnal dan berbagai macam literasi yang bisa dipertanggungjawabkan. Kemudian, siswa dipandu dengan pertanyaan agar berpikir kritis. Akhirnya, meraka diajak untuk membuat suatu produk yang mengintergasikan semua mata pelajaran ini menanggapi isu isu yang kami lontarkan melalui IL,” terang Steven.

Bagi umat Paroki St. Aloysius Mojosongo, Jebres, Surakarta ini, perubahan tidak bisa dihindari oleh para tenaga didik di SMA Ursulin. Perubahaan sifatnya konstan. Mengutip Tan Malaka, selama proses perubahan itu, akan selalu terbentur, terbentur, dan pada akhirnya terbentuk.

Selalu Ngopeni

Satu hal yang disukai oleh para orangtua murid adalah bagaimana para tenaga didik merawat putra- putrinya. Bahasa Jawanya, diopeni (dirawat). Menurut Tari, sekolah ini dikenal sebagai institusi pendidikan yang dengan sungguh merawat peserta didiknya. “Ada orangtua yang cukup terharu ketika para guru memperhatikan anak mereka degan langkah kecil seperti chat ke orangtua, menginformasikan persipan ujian dan lainnya. Ya, itu sudah termasuk tugas kami,” tambah kelahiran Yogyakarta, 9 Oktober 1967 ini.

Pada kesempatan yang sama, Ketua Yayasan Winayabhakti Solo, Sr. Veronica Sri Andayani, OSU, kerap disapa Sr. Vero, sangat bersyukur ketika para guru dihadapkan dengan persoalan yang berat namun tidak kenal lelah untuk berusaha. Ia membenarkan bahwa SMA yang sudah berstatus Terakreditasi A ini meminta kerelaan hati para gurunya untuk membimbing setiap pribadi.

Sosialisasi model pembelajaran Integrated Learning (IL) untuk peserta didik SMA Regina Pacis Surakarta, Juli 2020 (Foto: Dok SMA Regina Pacis Surakarta).

“Dalam IL, bagi saya, yang  menarik adalah walaupun murid-murid tidak bertemu, mereka tetap berkolaborasi. Selanjutnya, pendampingan anak menjadi lebih intens dan itu adalah kekuatan sekolah ini. Guru-guru di sini kalau ngopeni anak sangat luar biasa. Dari hampir ribuan siswa, hanya berapa persen yang bermasalah, karena semua didekati satu per satu. Kami bisa menolong dengan lebih intens dan membangun dialog dengan mereka,” terang Sr. Vero.

Semua ini merupakan tanggung jawab meneruskan apa yang telah dilakukan pendahulu sekolah ini, khususnya tidak takut akan tantangan. Situasi pandemi juga membuat para suster dan tenaga didik  tidak lelah mengolah diri, salah satunya mengadakan retret secara daring.

Bagi Sr. Vero, spiritualitas itu bukan sesuatu yang dihafal tapi harus dimiliki dulu, kemudian diberikan kepada murid. “Spiritualitas Ursulin yang terasa sekali bahwa Serviam (Saya Mengabdi). Pemberian diri untuk kemuliaan Tuhan. Kami selalu ingat pesan Santa Angela, setiap anak itu adalah berharga dan kebutuhannya berbeda beda. Itu kami dihidupi oleh bapak ibu guru di sini,” tutupnya.

Karina Chrisyantia (Surakarta)

HIDUP, Edisi No.28, Tahun ke-75, Minggu, 11 Juli 2021

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here