Karena Makin Banyak Umat Terpuruk, Uskup Malang, Mgr. Pidyarto Tak Mikir Perayaan Lima Tahun Tahbisan Episkopatnya

833
Mgr. Henricus Pidyarto Gunawan, OCarm
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COM – MERAYAKAN lima tahun episkopal, bagi Uskup Malang, Mgr. Henricus Pidyarto Gunawan, OCarm bukan sesuatu yang hal luar biasa. Selain itu, merayakan lima tahun episkopal di tengah pandemi Covid-19 tidak muncul dalam pikiran Mgr. Pidyarto untuk membuat suatu acara, apalagi suatu acara yang agak meriah. Ia ingin lebih fokus pada pendampingan pastoral umat di tengah pandemi. Untuk itu, ia terus mendorong umatnya untuk tolong-menolong, berbela rasa,  khususnya terhadap mereka yang terdampak langsung pandemi ini.

Kendati Mgr. Pidyarto, sapaan akrabnya, tidak secara khusus memikirkannya, HIDUP mengajaknya berbincang-bincang, selain mengenai penanganan korban Covid-19, juga tentang aneka pastoral lain dalam kurun lima tahun terakhir Keuskupan Malang dibawah penggembalaannya. Berikut petikan wawancara melalui zoom.

Seberapa kenal Monsinyur dengan Keuskupan Malang?

            Keuskupan Malang bukan medan misi baru bagi saya karena saya berasal dari Paroki St. Perawan Maria Gunung Karmel Katedral Malang. Sepanjang hidup, kecuali studi di Roma (1082-1986 dan 1989-1990), saya tinggal dan berkarya di Malang dan lebih banyak berkecimpung di pembinaan calon imam. Artinya keterlibatan lebih jauh sangat terbatas. Setelah saya diangkat menggantikan Mgr. H.J.S. Pandojoputro, OCarm saya banyak belajar tentang keuskupan ini. Walaupun saya tidak sempat berkonsultasi dengan Mgr. Pandojoputro karena meninggal dunia tiga minggu setelah saya ditunjuk sebagai uskup, tapi ada banyak informasi dan pelajaran yang saya dapat.

Mgr. Henricus Pidyarto Gunawan, OCarm (memegang tongkat) bersama frater diakon tahun 2019. (Foto: Dok. Keuskupan Malang)

Bagaimana tantangan dan peluang medan pastoral?

Menurut saya, tantangan besar adalah keterbatasan jumlah imam yang bekerja di paroki; usaha memanfaatkan aset-aset Keuskupan secara lebih efisien; pencarian dana untuk subsidi 61 sekolah milik Keuskupan; dan pengembangan umat baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif. Di Pulau Madura misal, perkembangan umat amat sulit. Bahkan karena pernikahan atau alasan lain, ada saja umat Katolik yang meninggalkan Gereja.

Sementara peluang besar yang saya lihat adalah adanya banyak kelompok/perkumpulan rohani kaum awam yang berkembang cukup subur; adanya banyak rumah retret; kehadiran Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana; Sekolah Tinggi Ilmu Pastoral; dan kehadiran banyak tarekat religius. Para dosen dan biarawan-biarawati dapat memberikan sumbangan besar bagi pembinaan iman umat Keuskupan. Berkali-kali saya menghimbau kaum religius untuk terlibat secara lebih langsung dalam pastoral Keuskupan, entah sebagai pembina iman, sebagai katekis, sebagai ketua atau anggota komisi-komisi yang ada.

Selama lima tahun episkopal, apa saja program-program unggulan

Saya sungguh mendukung semua kegiatan yang dapat membantu penghayatan iman umat. Tanpa mengurangi jasa komisi-komisi lain, perkenankan saya secara khusus menyebut Komisi Kerasulan Kitab Suci, Komisi Komunikasi Sosial dan Komisi Liturgi. Komisi Kerasulan Kitab Suci secara rutin mengadakan kursus dan seminar Kitab Suci. Komisi Liturgi mengadakan pelatihan-pelatihan petugas liturgi, memberikan seminar dan rekoleksi tentang liturgi dan sejak Juni 2021 mengadakan Konggres Ekaristi yang puncaknya akan diadakan pada bulan Oktober nanti. Komsos Malang berusaha memanfaatkan media sosial untuk pewartaan dengan menyiarkan perayaan Ekaristi di Katedral dan acara-acara rohani lainnya. Selain itu, Komsos cukup sering membantu penayangan kegiatan liturgis yang diadakan oleh kelompok-kelompok lain, seperti misalnya Misa yang diadakan BPN Pembaruan Karismatik Katolik Indonesia dan Ikatan Dosen Katolik Indonesia.

Sejauh mana peran Keuskupan soal pluralitas dan toleransi antarumat beragama?

            Saya menjalin hubungan baik dengan semua golongan. Saya sering bertemu dan berbincang dengan banyak tokoh agama di Malang terlebih saat saya menghadiri Upacara 17 Agustus, peringatan hari ulang tahun Kota Malang, atau peringatan 10 November. Beberapa imam Keuskupan Malang aktif dalam Forum Kerukunan Umat Beragama dan forum-forum yang sejenis. Ada juga yang aktif menjalin kerja sama dengan kelompok lain, misalnya mengadakan bakti sosial. Katedral dan aula paroki di beberapa kota sering dipakai sebagai tempat berkumpulnya tokoh-tokoh agama untuk mengadakan pertemuan. Menurut hemat saya, Keuskupan (baik imam maupun umat) cukup aktif terlibat dalam usaha menumbuhkan toleransi antarumat beragama.

Beberapa kali Keuskupan menjadi tuan rumah kegiatan nasional dan internasional seperti Youth Day tahun 2017. Apa pesan Monsinyur untuk kaum muda?

            Saya berharap kaum muda Katolik baik yang aktif maupun yang belum terlibat dalam hidup menggereja untuk menyadari bahwa mereka adalah harapan Gereja di masa depan. Saat ini Gereja membutuhkan kaum muda untuk mewartakan Injil di tengah zaman yang makin maju. Ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi sarana pastoral yang memadai untuk masa sekarang. Maka kaum muda diharapkan terlibat dalam memberikan sumbangan berarti bagi Gereja.

Sejauh mana perhatian Gereja terhadap umat yang terdampak Covid-19?

            Secara umum Covid-19 membawa banyak pengaruh pada umat. Salah satunya makin banyak umat makin terpuruk dalam kemiskinan dan yang kehilangan pekerjaan. Umat kehidupan ekonominya pas-pasan makin menderita. Banyak toko, kios, UMKM masyarakat terpaksa tutup. Akibatnya banyak orang pengangguran tidak saja di kota tetapi juga di desa. Gereja lewat paroki-paroki selalu terlibat memberi bantuan sembako, obat-obatan, dan kebutuhan lainnya termasuk memberi para imam harus terlibat memberi pendampingan spiritual dalam membantu umat menjalani kehidupan mereka.

 Apakah Keuskupan sudah mandiri dalam hal tenaga pastoral dan finansial?

            Saya sebutkan Keuskupan belum bisa mandiri dalam hal tenaga imam. Masih dibutuhkan tambahan tenaga imam untuk bekerja di paroki dan di sektor-sektor nonparokial. Beberapa paroki masih dilayani oleh seorang imam, padahal menurut saya, idealnya sebuah paroki dilayani oleh paling tidak dua imam. Selain untuk pastoral paroki, dibutuhkan juga tenaga imam untuk karya-karya nonparokial. Saya beri dua contoh saja. Dibutuhkan beberapa imam untuk mengelola Yayasan Karmel. Sekitar setahun yang lalu Yayasan ini memiliki 61 sekolah, namun karena kesulitan finasial sejumlah sekolah terpaksa dilebur menjadi satu, dan beberapa sekolah terpaksa ditutup. Dibutuhkan beberapa imam untuk mengelola Unika Widya Karya yang sedang mengalami banyak kesulitan. Mengenai tenaga suster, bruder dan frater, jelas Keuskupan tidak mandiri sebab mereka adalah anggota-anggota tarekat religius yang otonom. Puji Tuhan, ada 28 tarekat religius dan 2 Asosiasi Awam (ALMA) di Keuskupan ini. Sejumlah tarekat hadir karena memiliki karya tarekat di wilayah Keuskupan; yang lain hadir karena mempunyai rumah pembinaan di wilayah Keuskupan  dan yang lain lagi hadir karena beberapa anggotanya bekerja sebagai karyawan/karyawati Keuskupan.

Apa buah renungan Monsinyur pada perayaan 5 tahun episkokal ini?

            Moto tahbisan epsikopal saya adalah Fideliter Praedicare Evangelium Christi (Dengan  Setia Mewartakan Kristus). Dengan moto ini, saya hanya ingin melanjutkan pesan St. Paulus, panutan saya, “Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya …” (2 Tim 4:2). Pewartaan sabda itu amat penting sebab sabda Allah itulah yang telah menghimpun orang menjadi Gereja dan sabda itu juga yang akan menghidupkan dan mengembangkan Gereja. Saya berharap umat Keuskupan setia mendengarkan dan menghayati sabda Allah sehingga mereka berkembang dan berbahagia (Bdk. Yak. 1:22-25).

Yusti H. Wuarmanuk

HIDUP, Edisi No.36, Tahun ke-75, Minggu, 5 September 2021

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here