GITAR BOBROK

251
Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – KALAU kebetulan lewat di bilangan Utan Kayu mampirlah di kios kecilku. Tepatnya di sebuah gang kecil, gang pertama depan Rumah Sakit Umum, nama gangnya Gang Salam 12. Padahal gang salam itu hanya ada tiga, mengapa malah dinamai gang salam 10, gang salam 11, dan gang salam 12.

Aku mewarisi kios kecil ini dari Mama. Dulu Mama punya lima kios di Kawasan Matraman. Entah mengapa satu per satu dijual. Hasil penjualan juga tak berwujud. Syukur aku mendapat warisan kios kecil ini meski sebenarnya dulu sebuah toko kelontong yang langkap. Inilah satu-satunya yang tersisa dari Mama. Ini merupakan monumen masa kejayaan Mama.

Sejak pandemi kiosku makin sepi apalagi sudah ada minimarket di jalan besar yang menyediakan barang lengkap dan nyaman. Terkadang aku menutuki pemiliknya, mengapa tega membunuh kami-kios-kios kecil. Lama-lama bosan mengutuki toh Tuhan tak berpihak kepada kami. Satu per satu kios kecil tutup karena kalah bersaing.

Yang semakin terasa menjengkelkan adalah pengamen dan pengemis. Sejak dahulu aku termasuk dari salah satu orang yang tidak senang dengan pengamen dan pengemis. Apa sih yang mereka  buat. Memanfaatkan rasa iba orang. Lama-lama menjadi teror. Kalau tidak dikasih tidak pergi-pergi. Apalagi kalau baca di WA, mereka-mereka itu punya rumah mewah bahkan ada yang bermobil kalau berangkat mengemis.

Dalam hitunganku berapa sih keuntungan dari sebuah kios kecil. Satu barang hanya bisa mengambil untung 200-1.000. kalau datang lima pengamen saja sudah menghabiskan 5.000 kalau masing-masing 1.000. Kios bisa cepat bangkrut kalau yang datang belanja hanya satu-dua sementara yang ngamen berjibun. Menang banyak mereka. Aku sebagai auner kios bisa mati kering. Untung 5.000 habis untuk pengamen. Terpaksa makan modal

Sementara para pasukan pangamen nggak kehabisan akal untuk dapat duit. Dan kalau di kiosku aku beri 1.000 tak lama muncul pengamen lain begitu seterusnya. Sepertinya mereka saling memberi tahu kios mana yang ngasih mana yang tidak. Maka wajar kalau di kios-kios tertulis, “ngamen gratis.” Aku meniru dengan menbuat tulisan juga, “ngamen Senin.” Jadi aku hanya memberi pada hari Senin saat kiosku buka. Kalau mereka masih ngeyel aku hanya tunjuk itu tulisan dan mereka ngeloyor pergi. Aku tambah trik dengan menutup kios pada hari Senin.

Hari-hariku kujalani dengan ritual yang nyaris sama sejak dahulu ketika mama masih ada. Bangun pagi, membereskan rumah sembari masak untuk sarapan. Setelah masakan selesai baru mandi. Usai mandi makan seadanya. Lalu buka kios sekitar jam 6. Biasanya kios ramai sampai jam 8. Setelah itu sepi. Baru ramai lagi menjelang sore. Makin ke sini makin terasa kalau tidak ada jam-jam ramai, semua sepi. Sepi pembeli berarti tidak ada pemasukan.

Kini yang rajin datang bukan pembeli tetapi barisan pengamen. Lama-lama aku menjadi jengkel dengan mereka ini. Datang, permisi, jreng-jreng-genjeng-genjreng lalu permisa-permisi. Suara permisinya makin keras dan genjrengan gitar berhenti. Kusorongkan resecahan 500-an dengan muka masam semasam-masamnya. Tak lama ngamen pakai badut dengan musik ndangdut dari tape recorder yang suaranya tidak jelas. 500 lagi, selang sepuluh menit dua orang datang ngamen lagi. Membawa kaleng bekas cat dan memegang hiasan ondel-ondel.

Pandemi mencekik kami kios-kios kecil. Nyaris tak ada pembeli yang datang belanja. Mereka lebih memilih belanja online dan di mini market yang hanya beberapa langkah dari rumah.  Suatu sore hujan semalaman masih menyisakan gerimis hingga senja hari. Aku bengong saja sudah capai scroll hp. Bukan pembeli yang datang tapi para pengamen. Aku mengangkat tangan sembari menunjuk ke atas yang aku tulis dan kucantelkan di gagang pintu.

Aku tak terlalu menyadari hadirnya pembeli ini. Memakai pashmina yang menutupi sebagian muka dan rambut putihnya dari gerimis. Beliau yang sudah setua Mama kira-kira, membeli barang yang menurutku aneh. Barang-barang itu barang yang tidak laku-laku bahkan kalau kulihat dari tulisanku juga barang ini sudah berulang tahun di kiosku. Aku sangat senang karena akhirnya ada yang beli dan barang keluar dari rak.

Di tengah beliau belanja tangannya membalik tulisan yang kugantungkan. Tulisan pengusir para pengamen. Tak lama ada seorang pengamen perempuan dengan menyanyikan lagu lama diiringi genjrengan gitar. Tetapi antara suara dengan genjrengan gitar tidak sinkron. Buru-buru kukibaskan tangan untuk mengusir pengamen dengan gitar bobrok itu. Si ibu ini malah memanggilnya dan mengangsurkan 2.000. Sambil membayar belanjaannya sebesar 75.000 beliau berkata kepadaku pelan jelas sembari nenatapku, “Rezekimu itu ada pada mereka, mereka mengetuk pintumu tapi kamu tidak membukanya.”

Aku sudah sering mendengar petatah-petitih semacam ini, aku dengarkan sambil lalu saja sembari mengembalikan 25.000. Si ibu itu tersenyum saja sembari mengangguk. Semestinya dari arah jalannya ibu itu harunya masih nampak di gang ini tapi aku tak melihatnya begitu juga pengamen bergitar bobrok itu. Aku sampai berlari ke luar ke arah mereka jalan tapi tak kutemukan. Kutampar mukaku  aku tak bermimpi. Ke mana mereka?

Aku kok merasa pernah mengenal ibu ini tapi di mana? Pashmina itu seperti pashmina yang kuhadiahkan pada seseorang, lupa aku. Gaun yang dikenakan ibu itu juga familier, ah mungkin hanya serupa, toh  gaun semacam itu dijual di mana-mana. Rosario yang tak sengaja kulihat juga pernah aku akrabi, manik-maniknya kecil-kecil warna warni dan salibnya itu dari kayu. Yang tidak aku lupakan itu senyum ibu itu. Senyum itu sepertinya dekat denganku.

Pengamen itu tak kalah misteriusnya. Apa hubungannya dengan si ibu tadi. Gitar bobrok itu mirip gitar yang kujual kepada tukang rongsokan dengan tawar menawar yang sangat alot. Dari postur tubuhnya meski sekilas itu seperti Kak Septi. Kak Septi memang pemain gitar yang handal. Rasanya aku baru saja dikunjungi Mama dan Kak Septi.

Sejak itu setiap pengamen yang datang tidak pernah balik kanan dengan tangan kosong. Aku telah menyediakan uang pecahan 2.000-an. Mereka aku anggap sebagai Mama dan Kak Septi yang datang.

Sejak itu pula tetangga kanan kiri belanja di kiosku. Aku tidak hitung-hitungan lagi dengan pengamen-pengemis, bahkan yang berhutang sekalipun. Aku juga tidak menolak mereka yang titip dagangan. Termasuk mereka yang belakangan ketahuan menipuku.

Trima kasih Ma, trima kasih Kak Septi … aku kangen ….

Oleh Nicolas Widi Wahyono

HIDUP, Edisi No. 40, Tahun ke-75, Minggu, 3 Oktober 2021

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here