Baptisan Kanak-kanak

729
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COM – SEBELUM berbicara tentang baptisan kanak-kanak, sebaiknya terlebih dahulu sekilas kita memahami dasar liturgi baptis. Sakramen Baptis, “gerbang sakramen-sakramen yang perlu untuk keselamatan, entah diterima secara nyata atau setidak-tidaknya dalam kerinduan, dengan mana manusia dibebaskan dari dosa, dilahirkan kembali sebagai anak-anak Allah serta digabungkan dengan Gereja setelah dijadikan serupa dengan Kristus oleh materai yang tak ter-hapuskan, hanya dapat diterimakan secara sah dengan pembasuhan air sungguh bersama rumus yang diwajibkan” (Lihat misalnya: KHK 849; SC, 6; KGK 1213).

Sakramen Baptis diibaratkan sebagai pintu Gereja. Melalui pintu ini orang dapat hidup dalam Roh. Dan demi pemeliharaan rohani, selanjutnya orang boleh menerima sakramen-sakramen lainnya. Perlu diingat lagi,  Kristus dan Gereja-Nya menghendaki semua orang dibaptis. Karena itu, “pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus” (Mat. 28:19). Pembaptisan dalam arti tertentu, kerap diungkapkan sebagai amanat terakhir Yesus.  Demikian juga ketika orang-orang beriman bertanya kepada Petrus pada Pentakosta pertama, apa yang harus mereka lakukan, maka Paus pertama ini menegaskan, “bertobatlah dan hendaklah kamu masing-masing dibaptis dalam nama Yesus Kristus untuk pengampunan dosamu, maka kamu akan menerima karunia, yaitu Roh Kudus” (Kis 2:38).

Pembaptisan, Penguatan dan Ekaristi merupakan sakramen inisiasi karena meletakkan dasar kehidupan Kristiani. Disebut “inisiasi” karena merupakan tahap-tahap untuk masuk ke dalam misteri iman Kristiani.  Upacara dan ritus inisiasi terdapat juga dalam banyak agama dan budaya tradisional di Indonesia. Dalam Perjanjian Lama pun dilaksanakan ritus inisiasi yang disebut “sunat”, sebagai simbol perjanjian yang diikat Allah dengan Abraham dan keturunannya. Namun demikian terdapat perbedaan mendasar antara sunat pada bangsa Israel dan inisiasi Kristiani. Bagi umat Israel, inisiasi hanya cap lahiriah, itu pun hanya pada laki-laki. Tetapi, Sakramen  Baptis diterimakan kepada semua orang, entah Yahudi, entah Yunani, baik hamba maupun orang merdeka tak terkecuali  laki-laki dan perempuan. Karena “kamu semua adalah satu dalam Kristus Yesus” (Gal. 3:38).

Apa syarat agar orang dapat dibaptis? Hukum Kanonik menyatakan: “agar seorang dewasa dapat dibaptis, ia harus telah menyatakan kehendaknya untuk menerima baptis, mendapat pengajaran yang cukup mengenai kebenaran-kebenaran iman, dan kewajiban-kewajiban kristiani dan telah teruji dalam hidup kristiani melalui katekumenat; hendaknya diperingatkan juga untuk menyesali dosa-dosanya” (KHK. 865). Persoalannya: apakah kanak-kanak memenuhi semua syarat ini? Apa kriteria seorang itu dewasa? Bagaimana kita tahu seorang kanak-kanak berkehendak untuk dibaptis? Bagaimana cara ketekumenat yang jitu untuk kanak-kanak? Apakah kanak-kanak dapat menyesali dosa-dosanya? Apa dosa kanak-kanak?

Perbedaan Pendapat

Pembaptisan kanak-kanak boleh dikatakan selalu dipersoalkan sepanjang sejarah Gereja. Namun demikian, “adalah suatu tradisi Gereja yang sangat tua membaptis anak-anak kecil. Dari abad kedua kita sudah memiliki kesaksian jelas mengenai kebiasaan ini. Barangkali sudah pada awal kegiatan khotbah para rasul, bila seluruh rumah menerima pembaptisan, anak- anak juga ikut serta” (KGK. 1252; Kis 16:15; 1 Kor 1:16).

Di kalangan Bapa-bapa Gereja juga terdapat perbedaan pendapat. Abad ketiga St. Cyprianus dan Origines secara jelas menyebut adanya baptisan bayi atau kanak-kanak. Tetapi St. Tertulianus berpolemik melawan hal ini. Dicatat juga bahwa membaptis bayi sudah menjadi kebiasaan di Afrika Utara sekitar tahun 250.

Bahkan Santo Agustinus berpendapat bahwa kanak-kanak mutlak perlu dibaptis agar bisa masuk surga (Bdk. Pastor Franz Magnis-Soseno. ‘Teori Limbo’ HIDUP No. 5/2022, halaman 6).

Pendirian Agustinus terus-menerus diperlunak. Malah Santa Monica, justru tidak membuat anaknya,    Agustinus, dibaptis ketika Agustinus masih kanak-kanak. Bila kita membuka Kitab Suci pun, bisa jadi terdapat perbedaan tafsiran, ada kisah yang mendukung tapi ada juga yang sebaliknya. Kisah mengenai Yesus memberkati anak-anak boleh diartikan mendukung baptisan kanak-kanak (Luk 18:15-17; Mat 19:13-15; Mrk 10:13-16). Di lain  pihak Rasul Paulus sepertinya tidak menganggap perlu baptisan kanak-kanak (Lihat 1 Kor. 7:14).

Begitulah kita boleh saja mendasarkan praktik baptisan kanak-kanak pada Kitab Suci dan pada penalaran teologis. Namun sejarah pun mencatat bahwa di kalangan Gereja Katolik  hanya sedikit teolog yang atas dasar teologis menolak baptisan kanak-kanak. Mengapa? Karena kanak-kanak “dilahirkan dengan kodrat manusia yang jatuh dan dinodai dosa asal, maka mereka membutuhkan kelahiran kembali di dalam pembaptisan, supaya dibebaskan dari kekuasaan kegelapan dan dimasukkan ke dalam kerajaan kebebasan anak-anak Allah, ke mana semua manusia dipanggil. Dalam pembaptisan anak-anak dapat dilihat dengan jelas sekali bahwa rahmat keselamatan itu diberikan tanpa jasa kita. Gereja dan orang tua akan menghalangi anak-anaknya memperoleh rahmat tak ternilai menjadi anak Allah, kalau mereka tidak dengan segera membaptisnya sesudah kelahiran” (KGK, 1250).

Kurang Tepat

Membaptis kanak-kanak memperlihatkan bahwa Allah mau menyelamatkan semua manusia baik anak-anak sebagai anak-anak maupun orang dewasa sebagai orang dewasa. Maka kurang tepatlah menolak baptisan kanak-kanak dengan alasan secara psikologis belum dewasa. Pertimbangan teologis dan iman melampaui pertimbangan psikologis semata. Karya penyelamatan Allah tidak tergantung pada kematangan psikis. Justru baptisan kanak-kanak dengan jelas menyatakan penyelamatan karya Allah  dan bukan prestasi manusia.

Pembaptisan kanak-kanak pada dasarnya berarti menerima seluruh keluarga, termasuk anak-anak ke dalam lingkungan Gereja. Dalam ritus pembaptisan kanak-kanak  jelas sekali peranan orang tua melebihi peranan wali baptis. Pada saat penolakan setan dan pengakuan iman, justru pemimpin upacara menyapa orang tua. Karena pembaptisan kanak-kanak tidak bisa dilepaskan dari iman dan tanggung jawab orang tua. Jelaslah posisi Gereja Katolik berbeda dengan beberapa jemaat reformasi yang menolak pembaptisan kanak-kanak. Jemaat itu memaknai baptisan sebagai ungkapan iman dan tobat pribadi. Sebaliknya Gereja Katolik mengimani bahwa kanak-kanak dibaptis justru dalam iman Gereja.

Kerahiman Allah

Pembaptisan kanak-kanak bukan soal boleh atau tidak boleh. Justru Gereja dan orang tua memberi sarana sejak awal hidupnya untuk keselamatan. Sakramen Baptis bukan hanya merupakan tanda iman tapi juga menyebabkan iman. Rahmat baptis dan kerahiman Allah telah menyelimuti bayi (kanak-kanak) sejak dalam kandungan. Allah Penyayang Kehidupan (Mzm. 139:13-14). Sejalan dengan ini, rasul Paulus menyatakan: “Tuhan telah memilih aku sejak dalam kandungan ibuku dan memanggil aku untuk melayani-Nya” (Gal. 1:15).

Dari sini jelaslah, orang tua dan wali baptis bertanggung jawab atas pendidikan Katolik atas bayi dan anak mereka.

Dalam karya pastoral perlu dingat untuk melibatkan keluarga-keluarga umat beriman dalam proses inisiasi. Menerima Sakramen Baptis, Sakramen Penguatan dan Sakramen Ekaristi (Komuni Pertama) adalah saat-saat penting bukan hanya bagi bayi pribadi yang menerimanya tetapi juga bagi seluruh keluarga, dalam peran edukatifnya hendaknya keluarga-keluarga mendapat dukungan lewat berbagai unsur komunitas gerejawi (Sacramentum Caritatis, no. 19).

Penerimaan Sakramen Baptis bukan sekadar upacara dan ritus, tapi sesungguhnya merupakan sebuah perayaan iman. Upacara dan ritus terikat pada protokol dan rubrik. Sakramen Baptis dilaksanakan sebagai perayaan iman. Liturgi, secara khusus liturgi baptis adalah ekspresi iman umat (Gereja) yang bersatu dalam Kristus (SC, 7).

Liturgi sejati dirayakan dengan sadar, dan menuntut partisipasi aktif umat beriman. Keterlibatan umat mutlak perlu untuk perayaan liturgi yang baik, dalam hal ini Sakramen Baptis. Kalau penerimaan Sakramen Baptis dimaknai hanya sebagai upacara formal juridis, maka orang bisa terjebak dalam sikap pragmatisme.

Berkaitan dengan kelahiran anak dan baptisan kanak-kanak, pada zaman ini makin marak terjadi “abortus provocatus” (pengguguran disengaja), bahkan di beberapa negara malahan dilegalkan. Demi hedonisme dan konsumerisme, serta banyak alasan lain, maka memiliki anak dirasakan berat dan penghalang. Paus Fransiskus dengan jelas menyatakan: “Setiap anak yang dibentuk dalam rahim ibunya adalah bagian dari rencana abadi Allah Bapa dan kasih abadi-Nya…. Setiap anak mempunyai tempat di hati Tuhan, dan pada saat ia dikandung, impian kekal Sang Pencipta menjadi kenyataan. Mari kita merenungkan betapa luhur nilai sang janin dari sejak saat pembuahannya. Kita perlu melihat dari sudut pandang Allah, yang selalu melihat dari sekadar penampilan” (Amoris Laetitia, no. 168; baca Yer 1:5).

Seruan Apostolik Paus Fransiskus ini “mutatis mutandis” dapat memberi hiburan dan meneguhkan iman orang tua yang anaknya meninggal sebelum dibaptis. Anak ini mempunyai tempat di hati Tuhan dan impian kekal Sang Pencipta: “Tuhan adalah penyayang dan pengasih, panjang sabar dan berlimpah kasih setia” (Mzm. 103:8; 145:8).

Pertimbangan teologis dan iman melampaui pertimbangan psikologis semata. Karya penyelamatan Allah tidak tergantung pada kematangan psikis.

Pastor Jacobus Tarigan
Dosen STF Driyarkara dan Unika Atma Jaya Jakarta

 HIDUP, Edisi No. 07, Tahun ke-76, Minggu, 13 Februari 2022

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here