Dari Gereja Perjuangan Menuju Gereja Mandiri

376
Pastor Ignatius Basembun (mengenakan stola) memimpin ibadah peletakan batu pertama gereja Paroki St. Vincentius Gunung Putri, Keuskupan Bogor.
5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – Dalam semangat untuk menjadi Gereja yang mandiri, terdapat perjuangan tiada putusnya umat diaspora.

“ZONA merah”. Begitu anggapan masyarakat untuk wilayah Gunung Putri, Kabupaten Bogor, Jawa Barat di era 1970-an. Hal ini lantaran masyarakat sering mendapati potongan tubuh manusia yang tergeletak begitu saja di pinggir jalan. Ketika itu, sering terjadi keributan dan saling membunuh.

Anggapan ini berbanding terbalik dengan pandangan Uskup Bogor pertama, Mgr. Paternus Nicholas Joannes Geise, OFM. Meski Gunung Putri menjadi “zona merah”, tetapi wilayah ini menjadi jalur misi bagi para imam dari Kampung Sawah, Pondok Gede, Bekasi menuju Sukabumi, Jawa Barat. Tepatnya 3 Maret 1942, di Paroki St. Joseph Sukabumi mulai terlihat geliat umat setelah diadakan pembaptisan pertama. Sayangnya geliat umat terhenti dengan adanya pendudukan Jepang yang membuat beberapa misionaris ditahan di kamp-kamp. “Untungnya ada beberapa misionaris secara ‘bawah tanah’ seperti Pastor Bernardinus Soemarno, SJ yang melewati Gunung Putri dan Citeureup demi menghindari tentara Nipon untuk melayani umat Sukabumi,” sebut Pastor Adolf Heuken, SJ dalam wawancaranya pada 28 Februari 2019.

Di masa itu, ada beberapa orang Kristen Pasundan di Kampung Sawah yang menyampaikan informasi tentang keberadaan umat Rum ((Roma) Katolik di Gunun Putri. Mereka ini adalah para pekerja di sawah desa-desa terdekat seperti Cibubur, Klapanunggal, Citeureup, termasuk perkebunan di Kampung Sawah. Dari laporan yang disampaikan Pastor Soemarno kepada Mgr. Geise ditemukan ada lima kepala keluarga. Dalam perkembangan waktu menjadi delapan kemudian terus mengalami pertumbuhan seiring dengan pembaptisan pertama di Cibinong oleh Pastor A. Leunissen, OFM Conv pada 20 September 1958.

Para pekerja ini sebagian adalah berasal dari Wisma (Citeureup) Tjitrap milik Augustijn Michiels  atau Mayor Jantje Jantje (1769-1833). Aloisius Eko Praptanto, dalam “Sepangkeng Kisah Gereja Katolik di Kampung Sawah” melukiskan tentang Mayor Jantje ini sering tinggal di Wisma Tjitrap, seorang pemiliki sarang burung walet di Citeureup dan Klapanunggal dengan 230 pegawai.

Mayor Jantje seorang penggila pesta, sedangkan temannya Mayor Leonardus Josephus Burggraaf Du Bus (1780-1849), yang sering berkunjung ke wisma itu adalah orang Katolik saleh. Ketika tiba di wisma Jantje, Du Bus lebih sering berinteraksi dengan para pekerja sang mayor. Dalam pertemuan itu, Wakil Raja Willem I di Hindia Belanda ini memberi pengajaran iman kepada para pekerja itu. Para pekerja pun begitu tertegun dengan kesederhanaan Du Bus.

Pastor R. Kuris, SJ dalam “Satu Abadi Umat Katolik Betawi”, menulis benih-benih kekristenan di Citeureup dan Gn. Putri telah tumbuh berkat persahabatan Du Bus dan Mayor Jantje. Wujudnya adalah setelah Mayor Janjte meninggal 1828, sudah ada benih-benih Kekristenan dan mereka inilah menjadi bagian dari umat Paroki St. Servatius Kampung Sawah, Keuskupan Agung Jakarta.

Cerita lain datang dari Agustinus Suhardi, tokoh Katolik, sekaligus umat-umat perdana dari Gunung Putri. Ia menjelaskan umat Katolik Gunung Putri tidak saja dari para pekerja Mayor Jantje yang dalam perkembangan bertemu dengan para misionaris yang melayani di Kampung Sawah tahun 1963, tetapi juga dari para guru beragama Katolik dari Yogyakarta tahun 1977 lewat program pemerintah Kabupaten Bogor, juga para karyawan, pedagang, pengusaha yang hampir tidak terdata di era 1970-an.

Maka bila bertanya manakah umat perdana di Gunung Putri? Pastor Heuken setuju bahwa para pekerja dari Mayor Jantje di Citeureup, para guru dari Yogyakarta, dan para pekerja di industri sekitar Kecamatan Gunung Putri. “Jadi umat Kristen yang dalam perkembangan disebut Katolik bisa kita tarik dari tiga sumber yaitu para pekerja Mayor Jantje yang sudah bertemu para misionaris seperti Pastor. Y. van Drie, SJ yang suka naik kereta bumel menuju Kampung Sawah. Dalam perjalanan dari Stasiun Depok ke Kampung Sawah, ia sering menyapa para pekerja dari Gunung Putri. Selain itu para guru beragama Katolik dari Yogyakarta dan tentu para pekerja atau karyawan di wilayah Gunung Putri,” sebut Pastor Adolf.

Komunitas Kecil

Setelah pembaptisan pertama di Cibinong, Mgr. Geise bergerak cepat dengan memekarkan beberapa stasi di wilayah kecamatan di antaranya Stasi St. Andreas Kedunghalang, St. Philipus Cibinong, St. Thomas Sukma Jaya, St. Simon Citeureup. Wilayah Gn. Putri masuk sebagai Lingkungan III (kemudian hari Lingkungan St. Vincentius) dari Stasi St. Simon. Di akhir tahun 1980-an hingga awal dekade 1990, Gereja Gunung Putri bisa disebutkan mengalami perubahan baik dari sisi yuridis maupun administratif.

Tahun 1990, bertemulah empat umat Katolik yang bekerja di Gunung Putri dalam sebuah ibadah Natal Oikumene. Mereka adalah Denny Jansen, B.M. Setyantoro, B. Pujiarto, dan Untung. Keempatnya lantas sepakat mencari dan menemukan umat Katolik lainnya yang terpencar. Dalam pencarian itu, ditemukanlah 16 orang Katolik di sekitar Kecamatan Gunung Putri. Kelompok kecil ini yang kemudian hari memberi warna bagi pastoral di Gunung Putri.

Umat Gunung Putri saat berdoa di bawah tenda terpal.

Selanjutnya, kegiatan ibadah dilaksanakan dari rumah ke rumah yang rata-rata adalah kontrakan sempit. Tidak sedikit tetangga yang beragama Muslim menaruh curiga. “Kami berdoa kadang dilempari batu, ada tatapan curiga dari umat sekitar. Mereka mengernyitkan kening kala kami bernyanyi,” cerita Setyantoro.

Walau demikian komunitas kecil ini tetap setia dalam doa. Pada November 1998, Lingkungan St. Vincentius dinaikan statusnya menjadi wilayah dengan empat lingkungan. Di sini mulai nampak keterlibatan umat dalam kor, ibadah wilayah, dan juga kunjungan antarkeluarga, serta pendalaman Kitab Suci. “Meski seadanya, umat begitu bersemangat. Mereka terus meminta supaya secepat mungkin mendapatkan tanah untuk gereja,” cerita Setyantoro.

Kerinduan umat ini terwujud dengan hibah tanah 1000 meter persegi dari PT. Ferry Sonneville. Ignatius Setiadi Noto Subagio selaku Kepala Developer PT. Ferry Sonnevile waktu itu mengatakan proses awal mendapatkan tanah itu karena kerelaan Pak Ferry, seorang Katolik yang ingin umat Gn. Putri memiliki gedung ibadah yang layak.

Setelah memperoleh hibah tanah, dimulailah proses IMB. Proses ini dimulai sejak 1994 dan baru mendapatkan IMB pada 21 Desember 2000. “Proses ini menghabiskan biaya tidak sedikit dengan perjuangan panjang mendapatkan tanda tangan warga sekitar,” cerita Olivia Theresia.

Terus Berjuang

       Pada Januari 2001, panitia pembangunan memasang plan di lokasi tanah yang akan dibangun. Plan tersebut ternyata memicu aksi penolakan dari masyarakat sekitar. Tanggal 4 Maret 2001, ada surat dari desa yang mewakili Komite Muslim dari tiga desa yaitu Bojongnangka, Kranggan, dan Tlajung Udik menyatakan sikap menolah pembangunan tersebut.

Ada dua alasan penolakan. Pertama sesuai peraturan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 7/1979 dan nomor 77/1979 yang isinya melarang membangun tempat ibadah minoritas di tempat mayoritas agama lain. Kedua, keberadaan lokasi tersebut dekat dengan pemukiman mayoritas Muslim. “Kami membantah karena tanda tangan warga di sekitar lingkungan gereja sudah selesai,” cerita Olivia sambil melanjutkan, nyatanya masyarakat tidak menerimanya. Sepekan kemudian, tepatnya 2 Maret 2001 malam, terjadi peristiwa pengrusakan warga di rumah Ketua Panitia Pembangunan Fred Takas dan kediaman Mayjen Ignatius Moeljono. Hal ini membuat umat Gunung Putri harus mengalami masa vakum selama kurang lebih tujuh tahun. Tidak ada aktivitas peribadatan di tempat itu, juga umat lebih senang beribadah ke Cibinong.

Melihat situasi ini, Uskup Bogor waktu itu, Mgr. Mikhael Cosmas Angkur, OFM terus mendorong agar pihak Gereja membangun dialog dan diskusi. Dialog itu terjadi dalam proses yang panjang antara panitia, LSM, tokoh masyarakat, pemuka agama. Hingga akhirnya disepakati gereja bisa dilanjutkan pembangunannya. Pada 1 September 2001, Pastor Ignatius Basembun meletakkan batu pertama sebagai awal pembangunan gedung gereja.

Proses pembangunan gereja terus berlanjut dengan tiga tahap 2001, 2009 dan 2010. Pada Oktober 2009 diadakan Misa perdana oleh Pastor Michael Suharsono. Meski masih beratapkan terpal, tetapi umat begitu gembira. Sering bertambahnya umat dan semakin menggeliat kehidupan menggereja maka pada 22 Juli 2012 Gunung Putri ditetapkan dari wilayah menjadi stasi. Kemudian pada Selasa, 25 Januari 2022 menjadi Paroki St. Vincentius Gn. Putri.

Dari jumlah umat yang terbilang sangat sedikit 16 orang Katolik, kini menurut data terakhir pada 28 Maret 2021, sebelum menjadi paroki, berjumlah 1.502 jiwa yang berasal dari 429 Kepala Keluarga dan tersebar di 9 lingkungan.

Yusti H. Wuarmanuk

HIDUP, Edisi No. 07, Tahun ke-76, Minggu, 13 Februari 2022

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here