Menikah di Metaverse

30
Ilustrasi
Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – Pastor Hertanto, kemajuan teknologi komunikasi dan infomasi kini tak terelakkan lagi. Hal ini juga membawa pengaruh pada orang muda Katolik zaman ini, khususnya mereka yang ingin menikah. Muncul pertanyaan dalam diri saya, bila Misa secara online dianggap sah, apakah menikah di metaverse akan dianggap sah oleh Gereja Katolik? (Cody, Tangerang)

SEJAUH saya mencoba memahami, metaverse (meta, bahasa Yunani, berarti beyond) merupakan buah perkembangan teknologi yang memungkinkan komunikasi lebih multidimensi daripada teknologi sebelumnya. Dengan metaverse orang tak hanya melihat dan mendengar tetapi juga bisa hadir di dunia virtual yang diinginkannya, atau sebaliknya dunia virtual dihadirkan di depan kita sehingga kita bisa mengalami kenyataan lebih dekat.

Dalam metaverse yang terjadi bukan hanya bentuk komunikasi layar ala zoom atau video call, melainkan juga komunikasi kehadiran yang lebih kompleks. Metaverse sendiri terus akan berkembang. Jika sekarang partisipan baru hadir secara avatar, ke depan sosok kehadirannya akan makin mirip realitasnya, termasuk keterlibatan perasaan akan sentuhan, pendengaran dan sebagainya.

Meskipun demikian, secanggih-canggihnya metaverse, komunikasi yang dihasilkannya tetaplah virtual dan maya. Secara fisik orang-orang tetaplah terpisah. Bahkan dunia virtual itu bisa direkayasa. Misalnya di dalam perkawinan metaverse India, operator bisa menghadirkan sosok ayah yang sudah meninggal untuk memberikan berkat restu bagi anaknya. Tempat dan suasana pun bisa direkayasa: entah di pantai, ataupun di istana Hogwart sesuai pilihan mempelai.

Berbeda dari metaverse dunia perkawinan adalah dunia yang real. Bagi iman kita, perkawinan merupakan peristiwa keselamatan Kristus di dunia nyata ini. Di situ terjadi perjumpaan nyata: Kristus dengan kedua mempelai, kedua mempelai satu sama lain, dan dengan Gereja.

Karena itu kehadiran real sangat penting untuk sahnya perkawinan. KHK no. 1104 mengatur sebagai berikut: “Untuk melangsungkan perkawinan secara sah perlulah mempelai hadir secara bersamaan, sendiri atau diwakili oleh orang yang dikuasakan.”

Jadi kehadiran pasangan secara bersamaan dituntut bagi kesepakatan nikah (consensus). Kehadiran itu sebaiknya sendiri (in person), tetapi dalam keadaan tertentu Gereja bisa mengizinkan bahwa kehadiran mempelai diwakili (in proxy), asalkan dibuat dengan surat kuasa yang sah, dan sang wakil bertindak sungguh-sungguh atas nama orang yang diwakilinya. Misalnya tentara di medan perang yang tidak bisa menghadiri sendiri pernikahannya. Namun karena Gereja menuntut kehadiran personal dan riil, kehadiran itu bisa diwakili.

Sejauh kehadiran real ini dituntut untuk sahnya konsensus, Gereja pasti tidak bisa mengatakan bahwa perkawinan di metaverse itu sah (valid) menurut tata cara Katolik. Tentu saja kita perlu membedakan sakramen itu sendiri dan resepsinya. Karena situasi pandemi yang menghalangi, bisa saja orang mengundang tamu secara virtual untuk menyaksikan. Namun demi sahnya Sakramen Perkawinan tetaplah dituntut kehadiran nyata setidaknya dari pasangan, dari pejabat Gereja (imam atau diakon) dan dari saksi-saksi nikah.

Metaverse mungkin akan menjadi dunia masa depan manusia. Banyak pekerjaan yang dulu menuntut kehadiran real, seperti rapat-rapat penting, tatap muka pendidikan, penawaran barang dan pembayaran, bahkan sampai operasi kesehatan yang sulit sekalipun, sekarang bisa dilakukan dari jarak jauh. Pertanyaan Cody tentang pernikahan di dunia metaverse sesungguhnya bisa ditanyakan kepada peristiwa sakramen lainnya: Baptisan, Ekaristi, Orang Sakit dan sebagainya. Bisakah dibuat secara virtual?

Jawabannya kembali ke ciri khas keselamatan Kristiani. Keselamatan itu inkarnatif: artinya Allah sendiri masuk dalam kondisi real manusia, bukan dunia maya dan abstrak. Selanjutnya keselamatan itu juga mendorong kita untuk menggarami dunia ini dengan semangat injil. Maka tanpa menolak perkembangan teknologi Gereja mendorong sikap respek sekaligus kritis, yaitu dengan memanfaatkannya tanpa mengancam martabat kemanusiaan, yang akhirnya justru menjadi real dalam perjumpaan yang nyata.

HIDUP NO.11, 13 Maret 2022

 

Pastor Gregorius Hertanto, MSC
(Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng, Sulawesi Utara)

 

Silakan kirim pertanyaan Anda ke: [email protected] atau WhatsApp 0812.9295.5952. Kami menjamin kerahasiaan identitas Anda.

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here