Gereja De Krijtberg: Tiga Abad Bertahan setelah Lahir dalam Penindasan

300
Gereja De Krijtberg tampak dalam (Foto: Sr. Bene Xavier, MSsR)
5/5 - (4 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – KEKATOLIKAN Belanda pernah mengalami penindasan dari tahun 1578 hingga 1795 akibat masuknya Protestantisme Inggris. Kala itu, umat Katolik tidak dapat lagi beribadah secara terbuka. Gereja-gereja Katolik diambil alih dan dijadikan tempat peribadatan Protestan Inggris. Rupanya penindasan itu tidak otomatis membunuh iman kekatolikan umat, sebaliknya mereka tetap menjalankan peribadatan secara sembunyi. Mereka melakukan praktik hidden churches (beribadah di dalam rumah secara sembunyi).

Bangun Kembali

Pada masa itu (1628), datanglah seorang imam Jesuit bernama Pater Petrus Laurentius, SJ dari Antwerp, Belgia ke Amsterdam, Belanda. Pater Laurentius bersama para imam Jesuit lainnya pertama kali membangun gereja di dalam sebuah rumah di Herengracht. Mereka bersama umat melakukan Perayaan Ekaristi secara sembunyi-sembunyi.

Gereja De Krijtberg tampak dalam (Foto: Sr. Bene Xavier, MSsR)

Pada 1654 dibangunlah sebuah gereja baru di belakang rumah pedagang De Krijtberg (Gunung Kapur) di Singel. Bangunan itu terbuat dari kapur yang dibawa dari sebuah tebing kapur di Inggris Selatan. Sengaja dibangun di belakang sebuah rumah agar tidak tampak sebagai gereja. Sebuah jalan kecil juga dibuat dari Herengracht sebagai akses untuk bisa menuju gereja tersebut.

Gereja Katolik perlahan mulai mendapat izin untuk dibangun kembali. Secara umum izin ini diperoleh sejak pemulihan hirarki episkopal di Belanda tahun 1853, meskipun belum benar-benar bebas. Gereja Katolik baru mendapat jalan kebebasannya pada 1881. Dengan kebebasan itulah, gereja yang dibangun para imam Jesuit bersama Pater Laurentius di Singel melakukan perluasan gereja yang telah dibangun sebelumnya dengan menghancurkan tiga rumah dan pemberkatannya berlangsung pada 1883.

Perancangan Gereja

Gereja ini dirancang oleh arsitek Alfred Tepe (1840 – 1920) dengan gaya neo-gotik. Bagian interior didesain oleh Friedrich Wilhelm Mengelberg, seorang pematung asal Belanda. Konstuksi Gereja Krijtberg tidak langsung selesai begitu saja, masih ada proses-proses menyusul pada tahun-tahun mendatang. Misalnya, ruang pengakuan dosa yang baru dibuat pada 1889 dan kaca mozaik yang baru dibuat pada 1946.

Lantai altar Gereja De Krijtberg yang bertuliskan Domine non sum dignus (Tuhan, tak layak aku.). (Foto: Sr. Bene Xavier, MSsR)

Setelah Konsili Vatikan II (1965) bagian altar pun mengalami perombakan mengikuti tata liturgi yang baru, altar lama yang menempel dengan dinding digunakan sebagai tabernakel dan meja altar baru didirikan di tengah altar. Gereja ini kembali mengalami renovasi pada 1979 dan 2001.

Alfred Tepe mendesain gereja ini dalam bentuk basilika bertingkat tiga. Ia mendapat pengaruh dari desain gereja-gereja di Jerman Utara. Satu altar utama dan dua altar lainnya di sisi kiri dan kanan, yaitu altar Maria dan altar Yosef.

Untuk memperoleh cahaya matahari yang baik dan agar dapat menampung banyak umat, gereja ini sengaja didesain dengan langit-langit yang tinggi. Bagian tempat duduk umat sengaja didesain dengan pencahayaan yang redup, sedangkan bagian altar bermandikan cahaya dari pantulan cahaya matahari yang masuk melalui mozaik jendela. Seluruh dinding facade dibangun dari bata merah sewarna yang disusun secara bersilang. Desain facade yang satu warna berbanding terbalik dengan desain interior yang penuh warna (dominasi merah, hijau, biru). Meski demikian, gereja ini menjadi sebuah karya seni yang utuh.

Neo-Gotik

Gaya neo-gotik Gereja De Krijtberg mengacu pada gerakan abad 19 dalam hal arsitektur, yang terinspirasi oleh gaya gotik abad pertengahan. Hal ini dimulai di Inggris dan dianggap sebagai gothic revival (kebangkitan gotik). Setelah kejatuhan Napoleon, neo-gotik juga banyak ditiru di daratan Eropa. Begitu juga di Belanda, akibat adanya larangan terhadap agama Katolik, maka sangat kecil kemungkinan untuk membangun gereja baru. Setelah lepas dari penindasan, barulah gereja-gereja Katolik kembali dibangun dengan mengambil gaya neo-gotik. Pada masa itu, arsitek neo-gotik paling terkenal di Belanda adalah Pierre Cuypers. Ia berperan dalam mendesain altar Yosef dan pulpit (mimbar).

Santo Fransiskus Xaverius, yang adalah seorang imam Jesuit sekaligus pelindung misi dipilih sebagai pelindung Gereja De Krijtberg (Gunung Kapur). Di bagian kanan dan kiri dinding altar terdapat figur Santo Ignatius Loyola dan Santo Fransiskus Xaverius, serta figur Santo Aloysius Gonzaga di dinding samping. Mereka adalah tokoh-tokoh penting sekaligus orang kudus dalam Serikat Jesus. Pada lantai persis di depan meja altar terdapat tulisan berbahasa Latin Domine non sum dignus (Tuhan, tak layak aku).

Gereja De Krijtberg (Gereja St. Fransiskus Xaverius) masih terus aktif hingga kini, seolah menjadi mata air spiritualitas di tengah profannya kehidupan Amsterdam. Misa harian berlangsung setiap jam 12.30, sedangkan pada Hari Minggu misa berlangsung dua kali dalam Bahasa Belanda dan satu kali dalam Bahasa Latin.

Setiap Sabtu ada kesempatan bagi siapa saja untuk menerima Sakramen Pengakuan Dosa. Ketika saya mengikuti Misa berbahasa Latin pada Hari Minggu, seluruh bagian liturgi dan lagu dilakukan dalam Bahasa Latin, kecuali Bacaan Injil dan homili. Paduan suara gregorian pun lengkap mengenakan jubah putih. Saat itu saya perkirakan ada sekitar 120 umat yang hadir. Yang menarik bagi saya adalah bahwa umat yang hadir bukan hanya mereka yang sepuh, melainkan juga ada beberapa keluarga dan beberapa orang muda yang datang sendirian ke gereja.

Mimbar karya Pierre Cuypers (Foto: Sr. Bene Xavier, MSsR)

Kini, 368 tahun sudah gereja tersebut bertahan dan masih terus hidup iman Katolik di sana. Kesetiaan para imam dan umat dalam mempertahankan iman Katolik dalam penindasan telah melahirkan sebuah kekuatan spiritualitas yang hidup hingga saat ini dan menjadi oase spiritualitas di tengah profannya kehidupan Amsterdam.

TUHAN dekat pada setiap orang yang berseru kepada-Nya, pada setiap orang yang berseru kepada-Nya dalam kesetiaan. Ia melakukan kehendak orang-orang yang takut akan Dia, mendengarkan teriak mereka minta tolong dan menyelamatkan mereka. TUHAN menjaga semua orang yang mengasihi-Nya, tetapi semua orang fasik akan dibinasakan-Nya. Mulutku mengucapkan puji-pujian kepada TUHAN dan biarlah segala makhluk memuji nama-Nya yang kudus untuk seterusnya dan selamanya (Mzm.145:18-21).

Sr. Bene Xavier, MSsR ( dari Amsterdam)

HIDUP, Edisi No. 34, Tahun ke-76, Minggu, 21 Agustus 2022

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here