Kebijakan Autopsi Menurut Gereja

144
Ilustrasi
Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM Romo Kris, dari kemarin saya menyimak kasus Brigadir J, lalu terlintas mengenai tindakan autopsi, apakah diperbolehkan oleh Gereja Katolik? Sesudah autopsi, lalu jenazah harus dimakamkan ulang, bagaimana tata caranya sesuai dengan aturan Gereja? (Alfons, Jakarta) 

SEJAUH yang saya ketahui autopsi merupakan suatu tindakan investigatif untuk mengetahui penyebab kematian seseorang. Kata autopsi, atau otopsi, sendiri punya arti “melihat dengan mata sendiri”, atau “melihat mayat”. Dari sini kita bisa menarik arti umum autopsi dalam pengertian sebagai bedah mayat. Ada dua alasan dasar melakukan autopsi: klinis untuk menentukan penyakit yang menyebabkan kematian dan forensik, demi kepentingan hukum atau penyelidikan medis yang bisa dipakai untuk kepentingan legal, entah di pengadilan, yang sering kali hal ini terkait dengan tindak pidana atau kecelakaan. Namun autopsi bisa pula dilakukan demi kepentingan anatomis, keperluan penelitian atau pendidikan kedokteran.

Katekismus Gereja Katolik (KGK) secara umum menyebutkan bahwa penelitian media demi perkembangan pengobatan dapat diterima, kalau itu menyumbang bagi perkembangan kehidupan manusia, secara medis, sejauh tidak melanggar martabat pribadi manusia dan norma moral (2292-2296). Dalam konteks ini Gereja menyetujui tindakan autopsi demi penyelidikan medis dan pemeriksaan pengadilan (Katekismus 2301). Hanya memang dalam tradisinya Gereja tidak pernah mengenal lengkap autopsi atas wafatnya Paus. Bahkan saat kritis dan saat setelah wafatnya Paus, foto atau perekaman tidak diperkenankan. Demikian dikatakan Paus Yohanes Paulus II ketika menata tentang saat tahta kosong dan proses pemilihan Paus, dalam Universi Dominici Gregis (1996). Kita menjadi bisa memahami bahwa kematian Paus Yohanes Paulus I, yang akan dibeatifikasi pada 4 September 2022 nanti, tidak diselidiki penyebabnya, betapapun karenanya berbagai spekulasi beredar akan hal itu.

Sebuah penelitian mengatakan bahwa praktik penyelidikan atas wafatnya seseorang telah pula dibuat dalam Gereja Katolik dalam kepentingan penelaahan akan kesucian seseorang. Penelitian tersebut menyebutkan kasus terkenal terjadi di tahun 1595 atas tubuh Filipus Neri, yang dikenal sebagai rasul Kota Roma. Di abad 16 dan 17 hal tersebut dikatakan terjadi beberapa kali atas permintaan Gereja Katolik, untuk membuktikan akan adanya mukjizat atas tubuh mereka yang kemudian dinyatakan kudus. Kesucian dan mukzijat pun bisa dibuktikan lewat kajian ilmiah dan pembuktian ilmu, demikian dikatakan dari penelitian tersebut. Sebuah penelitian lain malahan menyebutkan dari masa sebelumnya, bahwa antara tahun 1348-1350, Paus Clemens VI, memerintahkan autopsi bagi korban wabah maut hitam (black death), yang berjangkit di masa itu dengan gejala kulit yang menghitam. Langkah tersebut dimaksudkan Paus untuk menemukan penyebab dari penyakit atau wabah tersebut.

Dari sini kita bisa melihat bahwa praktik atau proses autopsi atas jenasah seseorang bukanlah sesuatu yang asing dalam Gereja Katolik. Tentu hal tersebut dimaksudkan untuk suatu tujuan tertentu, yang dapat dipertanggungjawabkan, serta dijalankan dengan penuh rasa hormat atas tubuh dan jenasah mereka.

Tentang pemakaman secara umum Gereja mengharapkan agar jenasah mereka yang telah meninggal diperlakukan dengan hormat dalam harapan akan kebangkitan. Kebangkitan Kristus membawa suatu hidup yang penuh dengan harapan (Lih. 1 Ptr. 1:3), maka sebagaimana kita menjadi satu dengan kematian-Nya, kita [un akan menjadi satu dengan kebangkitan-Nya (Lih. Rom. 6:5). Maka upacara pemakaman menjadi sesuatu yang bermakna bagi umat beriman. Mereka yang diautopsi sebelum dimakamkan tentu tidak menjadi persoalan bagi kita di sini. Pertanyaan muncul, sebagaimana dalam kasus yang ditanyakan, bagaimana lalu kalau autopsi dilakukan setelah dimakamkan, karena ada temuan baru atas kematiannya, yang perlu pembuktian akan penyebabnya.

Tentu setelah semua proses dilalui, pemakaman dengan penuh hormat atas tubuh dan jenasahnya perlu juga dilakukan. Bagaimana ini dilaksanakan perlu dibicarakan dalam keluarga dan pastor setempat. Yang menjadi penting di sini adalah kebijakan pastoral, karena terkait dengan kasus ini, sejauh saya tahu, tidak ada suatu ketentuan umum yang berlaku. Karena ini memang kasus khusus, tentu dibicarakan sebagai suatu kasus tertentu, dalam suatu langkah pastoral yang tepat, terutama bagi keluarga yang ditinggalkan.

HIDUP NO.35, 28 Agustus 2022

 

Romo T. Krispurwana Cahyadi, SJ 
(Teolog Dogmatik)

 

Silakan kirim pertanyaan Anda ke: [email protected] atau WhatsApp 0812.9295.5952. Kami menjamin kerahasiaan identitas Anda.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here