Uskup Padang, Mgr. Vitus Rubianto Solichin, SX: Kemuliaan dalam Penderitaan

239
Mgr. Vitus Rubianto Solichin, SX
5/5 - (6 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – Minggu, 05 Maret 2023 Minggu Prapaskah II Kej. 12:1-4a; Mzm. 33:4-5,18-19,20,22; 2Tim. 1:8b-10; Mat. 17:1-9

KISAH Transfigurasi, atau Penampakan Kemuliaan Tuhan yang kita dengarkan dalam Injil Minggu Prapaskah Kedua ini “menandai saat yang menentukan dalam pelayanan Yesus. Peristiwa itu ditandai perwahyuan yang meneguhkan iman dalam hati para murid, menyiapkan mereka bagi tragedi Salib dan mempralambangkan kemuliaan Kebangkitan. Misteri itu tiada hentinya dihayati lagi oleh Gereja, umat peziarah menuju perjumpaan dengan Tuhannya pada akhir zaman.” (Vita Consecrata n.15).

Dalam suara “Inilah Anak yang Kukasihi” (Mat. 17:5), Anak yang bagaimana yang diwahyukan pada kita dengan kisah ini? Dialah Yesus yang sudah datang kepada kita, yang sedemikian kita kasihi, yang menarik tetapi sekaligus rapuh, rentan dan hina. Sang Anak itu adalah Yesus yang telah berbicara tentang`penderitaan dan kematian, yang wajah-Nya akan kita lihat ketakutan di Getsemani dan pucat pasi di salib. Namun, Dia juga yang nanti bangkit, yang kini tampak bercahaya mulia. Kesatuan dua wajah ini sedemikian sulit dibayangkan, tetapi wajah satu-satunya adalah wajah Anak terkasih Bapa yang menanggung risiko kematian dan diangkat ke kemuliaan yang membutakan musuh-musuh-Nya.

Inilah misteri yang tak pernah berhasil kita pahami sepenuhnya, selain di surga. Allah yang berkata: “dengarkanlah Dia!” diwahyukan sebagai Bapa yang sedemikian mengasihi jati diri Anak yang kontradiktoris ini, yang lemah sekaligus kuat, rapuh sekaligus ampuh, hina tapi mulia. “Dengarkanlah Dia!” berarti peganglah wajah ganda Sang Anak, jangan biarkan dirimu dilarutkan dalam wajah penderitaan-Nya, jangan pula lupa diri karena wajah kemuliaan-Nya. Hanya dalam kontemplasi wajah ganda yang kenyataannya satu saja, kita akan melihat misteri Bapa yang mewahyukan diri dalam keadilan dan belas kasihan-Nya.

Petrus, Yakobus, dan Yohanes terangkat dalam satu ekstase dan mendengar panggilan Allah Bapa untuk mendengarkan Kristus, untuk menaruh seluruh kepercayaan mereka pada-Nya, untuk menjadikan-Nya pusat hidup mereka. Kata-kata dari langit itu memberi kedalaman baru kepada ajakan Yesus.

Orang-orang yang membaktikan diri dalam hubungan mesra semacam ini, dikuduskan bagi Allah dan tidak hanya menjadikan Kristus seluruh makna hidup mereka, melainkan sedapat mungkin mewujudkan dalam diri mereka pola hidup yang dikenakan oleh Yesus sendiri. “Dengarkanlah Dia!” berarti “teladanilah Dia,” buatlah seperti yang telah dibuat-Nya, menyesuaikan diri dengan-Nya, mengambil sebagai model pribadi Yesus yang miskin dan dihina, tetapi lemah lembut dan penuh belas kasihan.

Antusiasme Petrus dapat membuat kita juga merasa diyakinkan untuk merasakan dalam hidup Kristiani dalam satu ungkapan yang sama: “betapa bahagianya kita berada di tempat ini.” Memang indah menjadi milik Kristus, sungguh bahagia dan bangga kita menjadi orang kristiani. Kita sangat membutuhkan keyakinan ini. Mampukah kita membaca panggilan kekristenan kita pada zaman sekarang dengan keyakinan sedemikian sehingga orang-orang menemukan betapa indahnya hidup kita sebagai seorang murid Kristus, sehingga mereka terdorong untuk ikut ambil bagian dalam doa dan karya kita? Namun, masih ada reaksi lain dari para murid, yakni ketakutan besar karena hormat pada yang ilahi.

Reaksi ini mendorong kita untuk mengarahkan pandangan pada Yesus juga ketika wajah-Nya tersembunyi, seperti pada “malam gelap jiwa.” Pada saat kekeringan rohani kita diundang untuk tetap mengarahkan pandangan pada Yesus, dengan penuh hormat, juga ketika awan terang memudar. Karenanya, kita perlu menerima antusiasme sekaligus ketakutan, kegairahan sekaligus rasa hormat dalam menghidupi tantangan khas zaman kita ini.

Kita dapat bertanya, di manakah Roh Kudus dalam Kisah ini? Kita dapat merasakan intuisi kehadirannya dalam awan terang “yang menaungi” dengan bayang-bayangnya. Itulah Roh Allah yang telah menjadikan subur rahim Sang Perawan, yang merupakan rahim di mana kita masuk dalam Kasih, yakni dalam pengenalan akan Bapa dan Putra, pengenalan akan Sang Pengasih dan Yang Terkasih.  Tekanan khusus pada Roh ini nampak pada tanda dinamika sejati Roh Kudus, satu kuasa yang menaungi kita, yang memahami kita dan dapat kita rasakan sejak kita berada dalam Dia, kita digerakkan oleh-Nya, kita berkarya bagi-Nya, tanpa dapat melukiskannya lebih dari itu. Dari sinilah undangan untuk menyadari Roh Kudus yang hadir dalam diri kita, satu undangan untuk memberi ruang kepada-Nya, untuk masuk menembus rahim Kasih Allah Tritunggal Mahakudus.

HIDUP, Edisi No.10, Minggu, 5 Februari 2023

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here