Mengomposkan Jenazah, Apa Kata Gereja

289
5/5 - (3 votes)

HIDUPKATOLIKCOM – Pastor Hertanto, baru-baru ini saya membaca sebuah berita di sebuah koran umum, bahwa gubernur New York melegalkan jenazah manusia untuk dijadikan kompos. Apa pandangan Gereja mengenai hal ini?

Santi, Makassar

Terima kasih atas pertanyaan yang menarik ini. Menurut berita tersebut New York adalah negara bagian di Amerika Serikat keenam yang melegalkan pengomposan jenazah (recomposing). Pada tahun 2019 Washington sudah mengesahkannya sebagai sebuah cara baru yang berbeda dari penguburan tradisional dan kremasi. Jadi dengan cara ini jenazah orang yang meninggal tidak dikubur atau dibakar, melainkan dijadikan kompos. Sederhananya, jenazah dimasukkan di dalam kapsul dengan dicampur kayu dan bahan-bahan yang mengandung mikroba tertentu dan kemudian secara perlahan diproses sehingga tubuh hancur alami. Dalam waktu satu bulan saja jenazah tersebut terurai dan menjadi tanah kompos yang akan diberikan kepada keluarga untuk ditebarkan di tanaman atau menjadi media tanam. Cara ini dianggap lebih ramah lingkungan dan mengurangi efek karbon, dan lebih efektif dari penguburan biasa dan kremasi.

Ide recomposing sedemikian lahir dari berbagai alasan. Pertama, karena kesadaran lingkungan, yaitu mengurangi efek karbon yang muncul dari kematian benda-benda hidup. Kedua, keinginan manusia untuk bersatu dengan alam semesta, kesadaran mana tanpa sadar dipengaruhi oleh agama-agama alam. Ketiga, permasalahan lahan pekuburan yang semakin berkurang. Recomposing (seperti juga kremasi dalam tradisi agama atau budaya tertentu) tidak memerlukan lahan lagi karena tanah yang dihasilkan akan ditaburkan atau dijadikan media tanam.

Dalam berita tersebut dikatakan bahwa Uskup Agung New York menentang keputusan itu dan mengatakan bahwa tubuh manusia tidak boleh diperlakukan seperti sampah rumah tangga, yang memang sering dijadikan kompos itu. Uskup Agung mewakili suara Gereja Katolik yang sangat menghargai penghormatan terhadap jenazah. Memang sampai sekarang belum ada pernyataan resmi dan universal Gereja yang menanggapi proses ini, tetapi pernyataan Uskup Agung bisa mewakili pandangan magisterium yang sah juga. Intinya Gereja Katolik mempunyai tradisi yang sangat luhur dalam memperlakukan jenazah secara hormat.

Dalam Dokumen Piam et Constantem (1963) dan Resurgendum cum Christo (2016) yang berbicara tentang kremasi, misalnya, Gereja Katolik tetap menegaskan bahwa penguburan adalah prioritas yang harus dipertahankan bagi jenazah orang Katolik. Penguburan merupakan prioritas karena cara ini dianggap paling tepat mengungkapkan iman Kristiani: kita mengikuti Yesus yang mengalami wafat dan dimakamkan; dengan demikian kubur juga menghantar kita pada perenungan Paskah setiap orang beriman dalam persatuan dengan misteri kematian Kristus.

Proses penguburan juga menandakan hormat kita pada tubuh kita yang telah menjadi Bait Roh selama kita hidup. Dengan tubuh itulah kita telah bekerja sama dengan rahmat dalam peziarahan hidup kita. Kubur juga membawa aneka kebiasaan lain yang baik, seperti menjadi kenangan akan dia yang kita cintai, menjadi tempat yang mempersatukan keluarga dan menampakkan cinta kita, apalagi disertai dengan doa-doa yang berlanjut. Itulah sebabnya, meskipun mengizinkan pilihan kremasi, Gereja tetap menganjurkan agar abu jenazah tidak ditaburkan di laut, di udara atau di tanah, melainkan disimpan di dalam bejana untuk dikuburkan atau disimpan di dalam columbarium (Rumah Abu) yang khusus.

Persoalan yang patut direfleksikan adalah motivasi yang melatarbelakangi pilihan seseorang,  yang sering terkait juga dengan pengabaian iman. Meskipun Gereja meyakini bahwa Allah berkuasa membangkitkan semua orang mati dalam semua keadaan, tetapi orang bisa saja memilih tanpa memperhitungkan iman akan kebangkitan badan dan kehidupan kekal. Gereja sendiri merupakan promotor lingkungan yang unggul, tetapi alasan ekonomis atau cinta lingkungan hendaknya tidak boleh dilebih-lebihkan sampai orang membahayakan iman yang dijaga melalui tradisi Gereja.

Pengasuh: Romo Gregorius Hertanto, Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng, Sulawesi Utara

HIDUP, Edisi No. 08, Tahun ke-77, Minggu, 19 Februari 2023

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here