Soto “Mbah Trimo”

520
5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – AKU sengaja tidak langsung masuk tetapi berhenti sepelemparan batu dari Warung Soto “Mbah Trimo”, warung soto legend di Ambarawa. Masih sama. Aku bisa melihat aktivitas pagi ini, paginya kaum rebahan. Meja selebar 40 centi di sepanjang dinding. Dua meja makan yang lebih lebar dan besar di tengah.  Semua berlapis  plastik bekas spanduk pilpres. Bangku kayu panjang hapir semua terisi penikmat soto. Tempe, tahu, bakwan tak pernah menunggu lama di meja. Ibuku sebagai generasi kedua, tampak sibuk melayani penikmat soto. Di depan warung deretan sepeda motor, agak jauh berderet juga mobil-mobil.

Tak kuasa aku ingin segera memeluk ibu. Apa kira-kira reaksi ibu? Tetapi… terbesit keraguan. Turun dan menemui ibu atau balik kanan, pergi?

Pergi? Pergi! Pergi /?%&?#@&

Sore itu aku terakhir melihat Ibu, itu pun Ibu yang sedang murka. Entah apa yang merasuki pikiranku saat itu? Saat itu aku pulang kuliah dan lanjut main futsal, lelah, capai, lapar, kesal, jengkel, dongkol. Tim kami kalah dan aku salah satu penyebab kekalahan itu.

“Sudah tahu kalau pesanan banyak malah keluyuran …., “ kata Ibu sambil meracik soto,“kamu itu bisa kuliah, naik motor karena soto ini!!!” sembari mengangkat mangkuk soto dan matanya melotot ke arahku. Aku masih diam. Tiba-tiba suara itu menggema, menggelegar membuat kepalaku pecah, “Minggat ….!!!!”

Saat itu juga aku berdiri, menyambar tas, dan setengah berlari pergi dari rumah tanpa menoleh. Sebagai laki-laki aku direndahkan, diusir dari rumah. Tak ada gunanya di rumah. Aku pergi dan bersumpah tak akan kembali. Titik.

Setelah di jalan aku kebingungan. Mau balik pulang malu, mau pergi, pergi ke mana. Uang tidak ada. Lelah berjalan aku berhenti di pangkalan pasir. Di situ aku mula-mula duduk lalu tiduran di bangku kayu tempat biasa para sopir dan kernet menunggu sebagian pasir diturunkan.

Malam menjelang, lapar, capai, lelah menderaku. Di tengah ketidakpastian seorang mendekati. Aku sudah beringsut mau pergi. Dari cara bergerak beliau yang aku pikir akan mengusirku malahan dengan perlahan mendekat dan bertanya, “Le… sudah malam kok masih duduk di sini apa nggak pulang”. “Mboten, Mbah….,” jawabku pelan.

Tak lama, seorang seusiaku menyusul, membawa semangkuk mie dan teh. Simbah mempersilahkan untuk makan-minum. Aku makan. Ini mie terenak.

Perpaduan rasa lapar yang mendera, udara dingin, dan merasa terbuang, bertemu mie hangat, segera rasa hangat menjalar dari mulut perut dan kembali menghangatkan nalar pikiranku. Disentil dengan mie,  tanpa diminta aku cerita kalau aku minggat dari rumah.

Tanpa banyak bicara dan tanya-tanya, mereka membawaku ke sebuah rumah tak jauh dari pangkalan pasir. Sejak malam itu aku menjadi salah satu dari para pekerja pangkalan. Tugas kami menurunkan pasir merapi, tapi hanya sebagian saja. Mbah kakung, begitu aku memanggilnya, adalah sang pemilik lapak. Beliau ini punya anak buah tiga orang, tambah aku jadi empat.

Tak terasa tiga bulan sudah aku menjadi pekerja yang menaikturunkan pasir. Sebenarnya rumah ini tidak jauh dari rumah ibu, tetapi aku sudah bersumpah tidak menoleh lagi. Sebenarnya ada sesuatu yang mengganjal relung hati, tetapi …..

Keberuntungan ada padaku, suatu sore Mbah Kakung menanyaiku, “Le… gelem melu bos pasir ra?” Tampaknya pertanyaan itu sebuah perintah. Aku dititipkan bos besar, Koh Eddy, Babe Eddy. Tugasku mengatur truk, ambil pasir dari Muntilan, dibawa ke Semarang dan sekitarnya. Termasuk lapak dan lokasi pengambilannya.

Bosku hanya satu dari puluhan orang yang bergelimang harta dan semakin kaya raya. Nuraniku bergejolak saat melihat orang-orang harus bekerja keras mengandalkan tenaganya. Driver yang harus bertempur di jalanan. Setoran ke polisi, ke preman, ke ormas yang membuat harus memuat sebanyak-banyaknya. Harus carai tambahan, “berak” di lapak. Mereka menjadi sapi perah para bos pasir.

Lereng Merapi rusak parah. Lahan pertanian dirombak, dikeruk pasir meninggalkan lubang-lubang galian menganga. Air kali menghilang. Aku mengundurkan diri dengan alasan mau meneruskan kuliah.

Akhirnya aku kembali terdapar di jalanan. Tanpa ijazah akhirnya ikut orang-orang kaki lima, pecel lele, bakso, soto, roti bakar. Jadi awak warung, kuli, karyawan.

Cukup lama aku ikut bos jualan soto. Mungkin karena aku pernah dikenalkan bagaimana meracik soto. Aku ikut Bu Wiwiek mulai dari pinggir jalan di Tingkir sampai mempunyai warung soto permanen, dari dua anak buah menjadi selusin.

Dua tahun aku merasa cukup kuliah di Warung Soto Bu Wiwiek, aku mengundurkan diri untuk usaha sendiri, masih menjadi pemain soto dengan pangsa pasar sendiri.

Pertama buka di Baledono, dua tahun kemudian buka baru di Ungaran, tak lama ditawari ngisi warung yang kosong di Bawen.

Semakin mendekati rumah semakin menekan perasaanku. Aku merasa hambar menapaki perjalanan karier persotoanku. Ada tarikan kuat untuk pulang. Hatiku bergejolak. Nalarku berkecamuk. Logikaku kacau balau. Untuk  apa. Untuk siapa semua ini?

Aku sengaja tidak langsung masuk tetapi berhenti sepelemparan batu dari Warung Soto “Mbah Trimo”, warung soto legend di Ambarawa. Masih sama. Aku bisa melihat aktivitas pagi ini, paginya kaum rebahan. Meja selebar 40 centi di sepanjang dinding. Dua meja makan yang lebih lebar dan besar di tengah.  Semua berlapis  plastik bekas spanduk pilpres. Bangku kayu panjang hapir semua terisi penikmat soto. Tempe, tahu, bakwan tak pernah menunggu lama di meja. Ibuku sebagai generasi kedua, tampak sibuk melayani penikmat soto. Di depan warung deretan sepeda motor, agak jauh berderet juga mobil-mobil. Tidak banyak berubah.

Perlahan aku mendekat. Ibu masih sibuk meracik soto, hanya Mbak Endang yang aku kenali. Rupanya sudah berkembang dan banyak mempekerjakan pelayan warung. Semakin dekat semakin dekat. Ada batu besar menindih hatiku, aku ingat sumpahku, aku tidak akan kembali, …. ???  Aku tak peduli.

Aku berpura pura menjadi pelanggan yang antre, seperti di youtube, anak yang  memberi kejutan pada ibu. Aku pulang Bu ..…..

“Ibuuuuk … “ teriakku. Ibu mendongak dan melihatku, menghentikan pekerjaannya lalu masuk rumah.  Aku terguncang. Ibu tidak mau bertemu aku. Tapi aku tak peduli. Setengah berlari aku menyusul ibu. Aku mau mencium kakinya sebagai bentuk penyesalanku. “Ibu …. Ibu… Ibuk ….. di kamar Ibu …. nggak ada. Mungkin di dapur, juga tak ada.  Aku lari ke belakang . Kosong ….

Aku  terus berterian teriak memanggil ibu ……..\

Aku mendengar suara orang yang masuk. Berbalik dan, “Mbak …..

Mbak Endang salah satu karyawan ibu yang aku lihat tadi, sambal menyeka air matanya menuntunku duduk di bangku depan yang berdebu.

“Kebetulan tadi mbak … lewat, kok pintu gerbangnya terbuka, maka mbak masuk, ternyata kamu, Dik.”

“Budhe,  selalu duduk di situ … menunggumu, setiap malam sampai menjelang pagi … Pagi-pagi sudah bangun dan segera membuka pintu, mencarimu, Dik  ……”

“Mbakmu ini heran, siapa yang membukanan pintu rumah, rumah ini selalu terkuci…” cerita Mbak Endang.”

“Ibu di mana Mbak sekarang?” tanyaku nggak sabar.

Mbak Endang menangis sesenggukan, aku merasa ada yang aneh…, “Di mana Mbak…?”

“Ibu … ibu sudah ….. “

Oleh Nicolas Widi Wahyono

HIDUP, Edisi No. 17, Tahun ke-77, Minggu, 21 April 2022

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here