web page hit counter
Selasa, 14 Januari 2025
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Rumah Keluarga Abraham: Belajar dari Indonesia

5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – SOSOK Muhammad Atho’illah Shohibul Hikam tentu tak asing lagi di kalangan masyarakat Indonesia. Ia adalah mantan menteri riset dan teknologi pada era Kabinet Persatuan Nasional dibawah kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid, yang akrab disapa Gus Dur. Baginya, mendiang presiden keempat tersebut secara konsisten memperjuangkan nilai-nilai yang diajarkan para ulama dalam memupuk hubungan antarumat beragama di negara plural ini. Maka tak heran jika ia menganggap dirinya sebagai seorang GUSDURian.

Muhammad AS Hikam [Dok.pribadi]
            GUSDURian adalah sebutan untuk para murid, pengagum dan penerus pemikiran dan perjuangan Gus Dur. Para GUSDURian mendalami pemikiran Gus Dur, meneladani karakter dan prinsip nilainya, dan berupaya untuk meneruskan perjuangan yang telah dirintis dan dikembangkan oleh Gus Dur sesuai dengan konteks tantangan zaman.

Ketika dihubungi HIDUP pada Rabu, 12/4/2023, terkait keberadaan Rumah Keluarga Abraham yang berlokasi di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, ia menyebut bahwa pembangunan komplek lintas agama tersebut selaras dengan nilai-nilai yang diperjuangkan Gus Dur. Mengapa? “Karena bagi almarhum Gus Dur, tiga prinsip yang dipakai beliau dalam hal ini adalah ukhuwah islamiyah, ukhuwah wathaniyah, ukhuwah basyariyah,” ujarnya.

Ukhuwah islamiyah merupakan tata hubungan antara manusia yang berkaitan dengan keagamaan (keislaman). Ukhuwah wathaniyah adalah tata hubungan antara manusia yang berkaitan dengan ikatan kebangsaan dan kenegaraan. Sedangkan ukhuwah basyariyah merupakan tata hubungan antara manusia yang tumbuh dan berkembang atas dasar rasa kemanusiaan yang bersifat universal.

Menurut Hikam, hubungan lintas agama dalam konteks Indonesia sebagai negara plural masuk kategori ukhuwah wathaniyah dan ukhuwah basyariyah. “Kalau Gus Dur, misalnya masih hidup, masih sugeng, pasti beliau sangat appreciate dengan (Rumah Keluarga Abraham) ini,” tuturnya.

Semangat Profetik

Namun tak perlu jauh-jauh ke Abu Dhabi. Sesungguhnya praktik toleransi beragama sudah ada sejak lama di Indonesia. Hikam menyebut Katedral St. Maria Diangkat ke Surga dan Masjid Istiqlal yang terletak bersebarangan di Ibu Kota Negara sebagai contoh konkret. “Ini mencerminkan persaudaraan antara keluarga Abraham, atau Abrahamic traditions or religions,” paparnya.

Baca Juga:  Ketua LBI, Pastor Albertus Purnomo, OFM: Membaptis dengan Roh Kudus dan Api

Dalam pandangannya, Rumah Keluarga Abraham merupakan refleksi dari keinginan profetik tiga agama yang bertumpu pada tradisi Abraham, yakni Kristen, Islam dan Yudaisme. Memang tidak mudah. Terkadang mengalami tantangan, mulai dari yang paling ringan hingga sangat serius seperti konflik dan perang. Meski demikian, semangat profetik untuk tetap menjadi satu dalam persaudaraan terus membara. Ada semacam paradigma yang berubah untuk terus menerus memupuk toleransi beragama.

Soal konflik dan perang khususnya di kawasan Timur Tengah, ia melihat bahwa hal ini tak lepas dari dinamika sejarah. Relasi antara para penganut ketiga agama tak selalu mulus. Bahkan sampai saat ini boleh dikatakan masih ada ganjalan. Bagaimana tidak, upaya untuk meningkatkan toleransi beragama cenderung terdorong mundur oleh konflik non-teologis yang memiliki dampak hebat. Dalam situasi seperti ini, pendekatan teologis harus terus diupayakan untuk menekan konflik dan perang akibat berbagai kepentingan politik.

“Makanya saya sangat mengagumi Paus Fransiskus, karena beliau memang luar biasa soal satu ini. Beliau membuat statement yang kadang mengejutkan, even baik bagi umat Katolik sendiri, terkait masalah hubungan lintas agama. Sekarang muncul tokoh-tokoh seperti Ahmed El-Tayeb … yang memberi peluang semacam pencarian ulang pemikiran-pemikiran yang pada akhirnya akan memberikan ruang lebih besar kepada spiritualitas ini dan kemudian berdampak pada kehidupan lintas iman,” tuturnya.

Menurut Hikam, Rumah Keluarga Abraham merupakan cerminan dari toleransi beragama yang sudah ada sejak lama di Indonesia. Meski pembangunan komplek lintas agama tersebut dilakukan belum lama ini, namun pesan toleransi beragama yang disampaikan secara konkret oleh masyarakat Indonesia pada akhirnya sampai juga di kawasan Timur Tengah. “Kenapa? Karena daerah-daerah di Timur Tengah lebih top-down. Sementara di Indonesia, upaya-upaya lintas agama muncul dari masyarakat sipil. Jadi lebih kokoh, lama. Dan kemudian ketika sudah jadi, kalau toh muncul seperti kasus pendirian gereja, masih ada semacam riak-riak, tidak akan menjadi besar. Tapi kalau top-down seperti di wilayah Timur Tengah, kalau tidak diawali oleh elite-elite mereka, (ini) akan sangat susah,” ujarnya.

Baca Juga:  Perayaan Natal Oikumene TNI POLRI ASN Sumsel, Uskup Agung Palembang Mendoakan agar Para Pemimpin Menjauhkan diri dari Kepentingan Pribadi

Kampanye Positif

Gema pesan persaudaraan yang digaungkan oleh Rumah Keluarga Abraham pun sampai ke telinga orang muda di Indonesia. Salah satunya Sunanto, mantan ketua umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah. Ia mengawali percakapan dengan HIDUP melalui pesan tertulis pada Rabu, 5/4/2023, dengan menyebut ungkapan populer dari Ali bin Abi Thalib: “Mereka yang tidak saudara dalam iman adalah saudara dalam kemanusiaan.”

Sunanto

Dalam perspektif kemanusiaan terkait toleransi beragama, ia melihat bahwa kampanye-kampanye positif perlu terus menerus digaungkan. “Dalam ruang perspektif ini, keberadaan simbol toleransi dengan beragam jenisnya menjadi penting dilihat sebagai edukasi yang positif bagi generasi muda masa kini dan mendatang. Meski demikian, keberadaanya harus tetap mengacu pada norma hukum dan konstitusi yang diatur di negara kita,” ujarnya.

Sementara dalam perspektif negara hukum, ia berpendapat bahwa simbol-simbol toleransi beragama harus terus dimunculkan sebagai upaya untuk menanamkan spirit toleransi beragama bagi generasi muda di dunia. Ketimbang mempertontonkan hegemoni kekuasaan, perang dan bentuk imperialisme lainnya, negara memiliki kewajiban mutlak dalam melahirkan serta menjaga sikap toleransi beragama dan kerukunan antarumat beragama sebagai laku hidup utama bagi generasi muda. Harapannya, perdamaian dunia dapat terwujud.

Waspada Virus Intoleran

Berkiblat pada Indonesia sebagai bangsa majemuk, upaya memupuk toleransi beragama berpedoman teguh pada Pancasila, atau dasar negara yang dicetuskan oleh The Founding Fathers. Sunanto meyakini bahwa selama spirit Pancasila dapat membumi dengan kuat, niscaya toleransi beragama dan kerukunan antarumat beragama dapat tercipta dengan baik.

Baca Juga:  Perayaan Natal Oikumene TNI POLRI ASN Sumsel, Uskup Agung Palembang Mendoakan agar Para Pemimpin Menjauhkan diri dari Kepentingan Pribadi

Namun bukan berarti bahwa toleransi beragama di Indonesia baik-baik saja saat ini. Virus intoleran yang mulai muncul ke permukaan harus terus diwaspadai, terutama menjelang pesta demokrasi tahun depan. Ada kecenderungan virus intoleran dibawa serta oleh para politisi yang hipokrit. “Karenanya, kewajiban kita semua sebagai generasi muda untuk menjadi benteng persatuan dan kerukunan umat beragama dalam upaya menjaga persatuan dan kesatuan bangsa,” ungkapnya.

Dakwah Kemanusiaan

Tentu, langkah-langkah konkret perlu diambil guna meningkatkan toleransi beragama. Bagi Pemuda Muhammadiyah, dakwah kemanusiaan menjadi hal yang sangat penting. Berbagai aktivitas, termasuk aksi sosial, tidak pernah menyinggung soal perbedaan suku, agama dan ras. “Sepanjang dia membutuhkan bantuan, Insyaallah, Pemuda Muhammadiyah hadir memberi solusi. Spirit Islam berkemajuan kami ejawantahkan salah satunya dengan menghadirkan kerukunan dan spirit persatuan bagi setiap insan muda bangsa. Dengan persatuan dan kerukunan, kami percaya bangsa ini bisa menjadi bangsa yang maju dan beradab,” ungkap Sunanto.

Selain itu, simbol-simbol perdamaian dan toleransi beragama seperti yang terkandung dalam Rumah Keluarga Abraham harus terus diamplifikasi agar generasi muda mampu menyerap energi persatuan secara lebih maksimal. Juga, katanya, spirit toleransi beragama dan persatuan harus dibumikan dalam aksi konkret agar memberi dampak positif bagi kehidupan masyarakat, baik masa kini maupun masa yang akan datang. “Saya kira itu pesan yang dapat dipetik dari keberadaan komplek lintas agama di Abu Dhabi,” ujarnya.

Katharina Reny Lestari

HIDUP, Edisi No. 20, Tahun ke-77, Minggu, 14 Mei 2023

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles