Mengubah Paradigma tentang Yahudi

268
Sebuah gereja, sinagoga, dan masjid membentuk Rumah Keluarga Antaragama Abraham baru di Abu Dhabi.
5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – SHA’AR Hashamayim adalah satu-satunya sinagoga yang ada di Indonesia saat ini. Terletak di Tondano Barat, Minahasa, Sulawesi Utara, tempat ibadah penganut Yudaisme ini didirikan pada September 2004 oleh Yaakov Baruch, seorang pria keturunan Yahudi. Lima tahun kemudian, sinagoga ini dipugar oleh bupati Minahasa saat itu. Namun sinagoga ini kembali dipugar pada tahun 2019, kali ini oleh para penganut Yudaisme dengan bantuan sejumlah donatur baik dari dalam maupun luar kota. Sejak saat itu, sekitar 20-25 penganut Yudaisme secara rutin beribadah di sinagoga ini setiap minggu.

Sinagoga Sha’ar Hashamayim (Dok. Pribadi)

 

Sebelumnya sudah ada sebuah sinagoga yang dibangun pada tahun 1939 di Surabaya, Jawa Timur. Namun sinagoga ini dirobohkan pada tahun 2013.

Rabi Yaakov, demikian sapaan akrabnya, mulai tertarik mempelajari ajaran Yudaisme ketika ia masih duduk di bangku SMA. Ia ingin kembali ke akar. Neneknya yang berkewarganegaraan Belanda adalah seorang Yahudi. “Mulai ada panggilan. Sebelumnya saya kurang religius dalam agama apa pun karena perbedaan agama dari Ibu dan Bapak saya waktu itu. Jadi saya main ikut-ikut saja,” ungkapnya kepada HIDUP melalui telepon pada Rabu, 22/3/2023.

Awalnya tidak mudah. Pada tahun 2011, ia pernah hendak diserang oleh orang tak dikenal ketika ia tengah menikmati liburan di sebuah mal di Jakarta. Kejadian ini dipicu oleh topi Yahudi yang dikenakannya. Namun situasi perlahan-lahan berubah seiring berjalannya waktu.

 Entitas yang Sama

Nampaknya pola pikir masyarakat tentang Yudaisme mulai berubah di Indonesia. Pembangunan Rumah Keluarga Abraham di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, pun turut memperkuat perubahan pola pikir ini. Memiliki tiga rumah ibadah yakni gereja, masjid dan sinagoga, komplek lintas agama ini terinspirasi oleh Dokumen Persaudaraan Kemanusiaan yang ditandatangani oleh Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Azhar, Ahmed Al-Tayeb, di Abu Dhabi pada 4 Februari 2019.

Rabbi Yaakov Baruch

 

“Saya melihat ini sebuah feomena baru di mana manusia – tempat ini bukan main berdiri saja, tapi didahului oleh adanya Deklarasi Abu Dhabi – akhirnya lelah untuk bertikai, lelah untuk bersengketa, perang atas nama agama. Jadi inisiasi ini mulai dari Paus Fransiskus dan Sheikh Ahmed Al-Tayeb. Ketika di Abu Dhabi, mereka mengeluarkan perjanjian di mana manusia harus bisa hidup berdampingan bersama. Dua agama ini agama mayoritas di dunia: Kristen dan Islam,” ujar Rabi Yaakov.

Baginya, pembangunan Rumah Keluarga Abraham memperlihatkan bahwa agama-agama Abrahamik semakin menyadari pentingnya hidup bersama secara rukun dan damai. Tidak ada lagi perang atas nama agama.

“Ketika ini terjadi, apalagi di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, ini sebuah hal yang sangat-sangat positif di mana entitas Yahudi atau Yudaisme dijadikan sama rata, tidak lagi dipandang sebagai agama ke berapa dengan penganut yang sangat sangat kecil, tapi disejajarkan dengan dua agama mayoritas di dunia. Dan saya sangat respect akan hal itu,” tuturnya.

Ia lantas menyinggung soal House of One di Berlin, Jerman. House of One merupakan sebuah gedung pertemuan dan tempat ibadah tiga agama, yakni Kristen, Islam dan Yudaisme. Seremoni peletakan batu pertama dilakukan pada Mei 2021. Konon, proyek pembangunannya membutuhkan waktu sekitar lima tahun.

Harapannya, masyarakat Indonesia yang selama ini terkesan anti-Yahudi dapat melihat komplek lintas agama di Abu Dhabi sebagai sebuah kesempatan baru untuk berpikir out of the box. Dan pesan penting yang dapat diambil oleh pemerintah Indonesia adalah bahwa pembangunan Rumah Keluarga Abraham tidak ada kaitannya dengan politik.

Ezra Abraham

 

“Tapi saya melihat ini urusan agama, agama Yahudi, bisa – saya tidak bilang di-recognize atau diakui karena eksistensinya sudah ada – diterima dengan baik dan pemerintah tidak lagi tertutup atau terkesan seperti menganggap ini ada dan tiada,” ungkapnya.

            Yang terpenting baginya adalah bahwa Rumah Keluarga Abraham dapat mengubah paradigma masyarakat Indonesia dalam melihat Yahudi sebagai entitas yang nyata, karena Kitab Suci umat Kristen dan Islam menyebut kata “Yahudi.” Ini berarti bahwa eksistensi para penganut Yudaisme adalah nyata.

Ke depan, katanya, pemerintah Indonesia diharapkan dapat membangun komplek lintas agama serupa untuk memperlihatkan kepada dunia bahwa bangsa Indonesia itu toleran dan berada di barisan paling depan dalam upaya menghargai perbedaan.

Tidak Terlalu Terbuka

Di Cirebon, Jawa Barat, Ezra Abraham, seorang penganut Yudaisme, masih belum berani terbuka kepada masyarakat sekitar tentang agama yang dianutnya. Meski ia tidak pernah mengalami persekusi dan intimidasi selama ini.

“Saya tidak terlalu terbuka juga. Saya harus baca kondisi. Kalau saya bilang cukup toleran, soal Yahudi ini agak sensitif. Tapi di lingkungan yang tahu saya adalah seorang Yahudi, tidak ada masalah. Kalau misalnya saya ditanya, saya jawab. Saya tidak selalu pakai kipah. Saya pakai Bintang Daud. Cuma orang nangkepnya mungkin cuma fesyen,” ujarnya.

Umat tengah mengikuti ibadah di Sinagoga Shar’ar Hashamayim

 

Meski demikian, ia kerap muncul di depan publik bersama sejumlah tokoh agama lain. Hal ini sangat membantunya dalam mengedukasi masyarakat tentang Yudaisme. Juga dalam penyampaian pemahaman tentang perbedaan isu politik di Indonesia dan di kawasan Timur Tengah.

“Dan saya juga mulai sedikit mengajarkan jangan membawa perang di Timur Tengah ke Indonesia. Ini yang terjadi sekarang ini di Indonesia. Kita harus stop itu,” tuturnya.

Secara pribadi, ia melihat pembangunan Rumah Keluarga Abraham sebagai sebuah kemajuan, terlepas dari isu politik yang terjadi di kawasan Timur Tengah. Warga Timur Tengah nampaknya mulai memiliki kesadaran untuk membuka diri terhadap umat beragama lain, khususnya para penganut agama Abrahamik. Yang terpenting baginya adalah memperbanyak dialog antaragama. Hal ini dapat meredam saling curiga di kalangan para penganut agama. Mereka curiga bukan karena mereka tidak suka, melainkan karena mereka tidak tahu tentang ajaran agama lain. Hal ini terjadi karena kurangnya dialog antaragama.

“Terlepas setelah mereka dialog, mereka akan mengubah cara berpikir atau tidak, itu urusan lain. Tapi kita memang perlu dialog, mengenal satu sama lain. Saya pikir dulu di Abu Dhabi pun pasti langkah pertamanya dialog,” ungkapnya.

Katharina Reny Lestari

HIDUP, Edisi No. 20, Tahun ke-77, Minggu 14 Mei 2023

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here