Pendeta Jacklevyn Frits Manuputty: Bumi sebagai Sakramentum Allah

168
Pendeta Jacklevyn Frits Manuputty (HIDUP/Katharina Reny Lestari)
5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – Bagi PGI, pembangunan Rumah Keluarga Abraham di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, merupakan sebuah memorialisasi relasi. Situs yang menaungi rumah ibadah dari beberapa agama semacam ini diperlukan guna membantu umat beragama menginternalisasi nafas Dokumen  tentang Persaudaran Manusia.

Abrahamic Family House atau Rumah Keluarga Abraham Bertempat di Abu Dhabi, persisnya di wilayah Budaya Saadiyat Cultural District. Foto: Istimewa

Lantas, bagaimana PGI menangkap pesan persaudaraan melalui Rumah Keluarga Abraham?  Berikut wawancara HIDUP dengan Sekretaris Umum PGI, Pendeta Jacklevyn Frits Manuputty, pada 27 Maret 2023 di Grha Oikoumene, Jakarta Pusat:

Apa pandangan PGI tentang Rumah Keluarga Abraham?

Saya sudah berulang kali bicara tentang dokumen (persaudaraan manusia), termasuk pada World Peace Forum Ke-8 yang terakhir di Solo. Memang pembangunan rumah ibadah dari berbagai agama di sana dalam rangka memorialisasi relasi. Kita butuh situs seperti itu semakin banyak. Di Indonesia sangat banyak, ini bukan sesuatu yang baru bagi kita. Di Tanjung Priok ada masjid dan gereja berdempetan tembok. Enam rumah ibadah akan dibangun di IKN. Ada terowongan di Katedral Jakarta dan Masjid Istiqlal.

Situs-situs seperti itu membantu kita menginternalisasi kebutuhan, nafas dari dokumen persaudaran sedunia dalam wujud yang lebih konkret. Setiap orang yang melihatnya akan ingat ada sebuah peristiwa fenomenal yang dicetuskan. Sama seperti monumen-monumen yang kita buat. Selalu tujuannya untuk mengingatkan, tidak melupakan sejarah. Tapi bagaimana menafasi itu dalam dinamika yang lebih konkret dalam perjalanan bersama? Itu yang harus kita kerjakan.

Syukur bahwa saat ini lembaga-lembaga yang dulu kita cap sekuler telah melihat bahwa agama-agama tidak bisa di-deny perannya dalam sebuah proses transformasi kemanusiaan. Karena itu, lembaga-lembaga seperti UN sudah memberikan tempat setiap saat untuk partisipasi konkret dari agama-agama dalam berbagai perumusan kebijakan global. Dan kami setiap saat diundang untuk hadir di situ.

Memang ini sebuah realita yang tidak bisa disangkal, bahwa sekularisme tidak bisa menegasikan peran agama-agama dalam satu tatanan dunia yang lebih manusiawi dalam perjalanan ke depan. Dan kita bersyukur, ada fase-fase historis di mana kita terus memperteguh panggilan dan peran serta agama-agama. Kita harus bekerja keras untuk melakukan regionalisasi dan nasionalisasi dari dokumen persaudaraan sedunia itu pada region-region kita. Jadi tidak sekadar sebuah dokumen penyemangat saja, tetapi secara lebih konkret kita harus lakukan itu, terutama di wilayah yang rapuh.

Indonesia bisa menawarkan sangat banyak hal karena kita negara paling majemuk. Tapi kita juga punya persoalan tentang penataan kemajemukan. Jadi pada level paling global bagaimana diturunkan sampai pada akar rumput, sehingga pemuka-pemuka agama yang hidup di tengah masyarakat juga bisa manafasi (dokumen) yang ditandatangani Syekh Al-Azhar dan Paus Fransiskus pada saat itu.

Bagaimana membawa pesan persaudaraan tersebut ke Indonesia?

Kita punya modal sosial yang kuat. Pada layer kultur kita, kita menafasi itu. Persoalan kita ketika instrumentalisasi agama terjadi di ruang politik. Tapi kalau kita menelisik jauh ke dalam, ke tengah masyarakat di mana basis-basis kulturnya masih kuat, harmoni itu masih tetap terjaga. Dia tidak segera hilang.

Konflik di tempat saya di Maluku bisa terjadi berdarah-darah, tapi selesainya juga sangat cepat. Kenapa? Karena di-recall kembali layer budaya, layer narasi bersama, memori kolektif yang hidup dan telah mengalami internalisasi yang sangat lama.

Jadi sebenarnya kita punya modal sosial yang sangat kuat. Karena sebagai wilayah kepulauan terbesar di dunia, ini keunggulan kita. Karakteristik wilayah kepulauan itu orang berlatih mengapresiasi satu sama lain. Itu sudah nature kita, sudah DNA kita, karena kita berbeda secara pulau-pulau. Suku bangsa sangat banyak. Jadi kita sudah menghidupi itu.

Kita bisa bertahan sampai saat ini dan tidak terpecah seperti di Timur Tengah karena nature kita untuk saling mengapresiasi. Cuma memang kita tidak sekadar menerima itu sebagai sesuatu yang given tanpa menghidupinya. Oleh karena itu, menafasi apa yang dirumuskan secara fenomenal, secara global seperti itu, kita mesti bisa menawarkan dari dalam bahwa kita punya sesuatu juga yang sangat beririsan dengan itu. Yang sudah kita hidupi. Indonesia harus menawarkan itu pada tataran global. Dan kita harus mewujudnyatakannya dalam relasi-relasi yang kita bangun.

Kardinal Miguel Ayuso (tengah) dan Pastor Markus Solo Kewuta, SVD (kanan) di depan Abrahamic Family House atau Rumah Keluarga Abraham. Bertempat di Abu Dhabi, persisnya di wilayah Budaya Saadiyat Cultural District. Foto: Istimewa

Salah satu syarat adalah menghentikan instrumentalisasi agama untuk kebutuhan politik. Itu fundamen, dasar. Kita akan menghadapi tahun 2024. Ini harus di-counter. Bukan cuma kontra-narasi yang kita buat, tetapi juga kontra-medium. Kontra-medium karena, misalnya, medium yang dipakai adalah kotbah, ceramah, spanduk, social media. Itu semua medium yang dipakai untuk mengarusutamakan kebencian, perpecahan.

Buat saya, itu akan tetap menjadi dokumen, itu akan tetap menjadi monumen per se semata-mata kalau kita tidak mengadministrasinya dalam tindakan dan perilaku etis. Dan untuk itu, ini harus dilakukan oleh masing-masing lembaga, komunitas sampai pada level aktor.

Toleransi tercipta setelah konflik di Maluku. Bagaimana caranya?

Kita bicara dari pengalaman. Tapi ada banyak variabel yang harus dihitung. Variabel yang memberi kontribusi terhadap perdamaian lebih besar daripada variabel yang memberi kontribusi terhadap konflik. Kita harus mengkalkulasikan itu. Variabel konflik diminimalisir sehingga kita bisa memperbesar variabel perdamaian. Seperti di-recall kebudayaan lokal. Yang mati suri dihidupkan lagi.

Kita punya itu semua. Dan kita bisa pakai itu secara maksimal. Bahkan harus ada strategi untuk mengelola itu. Selama ini hanya hidup dalam lagu. Selama ini hanya hidup untuk konsumsi tourism. Tetapi dalam perilaku politis-sosial sehari-hari, kita masih mendorong itu. Dan ini harus dikerjakan. Kerja-kerja kebudayaan di mana pemuka-pemuka agama turut berpartisipasi.

Bagaimana mengaitkan situasi ini dengan Rumah Keluarga Abraham?

Dalam bahasa lain, The Household of God, rumah bersama tempat Allah berdiam. Itu diksi yang selalu digelorakan PGI. Bumi sebagai Sakrametum Allah punya derajat kemuliaan Allah dalam relasi antarmanusia dan antarlingkungan. Ini terus dinarasikan PGI. Tetapi juga diterjemahkan ke dalam aksi-aksi yang lebih konkret, mulai dari perumusan teologis sampai praksis di lapangan.

Relasi interfaith menjadi salah satu isu strategis yang dikelola PGI dari tahun ke tahun. Pada level penguatan jejaring, PGI menjadi tempat di mana jejaring-jejaring interfaith berkumpul. Bukan semata-mata untuk percakapan teologis, tetapi satu yang menyatukan kita dalam melihat bagaimana persoalan sosial dikelola, bagaimana product legislasi harus kita hadapi bersama-sama.

Bagi saya, persaudaraan, Dokumen Abu Dhabi, harus diterjemahkan dalam langkah-langkah yang konkret. Kita bertanggung jawab atas kelangsungan lingkungan di mana kita hidup ke depan. Baik relasi antara kita dan alam maupun relasi antarsesama manusia.

Islam terpanggil untuk mendatangkan rahmat bagi semesta. Kristen terpanggil untuk mendatangkan shalom, damai, sejahtera Allah bagi semesta. Itu titik himpit, kita ketemu pada panggilan dan misi bersama.

Ada tantangan dalam mewujudkannya?

Tantangan tentu ada, karena tren untuk mensegregasikan publik juga berlangsung tajam. Konsep pemukiman satu identitas berkembang di mana-mana. Kecenderungan untuk mensegregasikan sekolah berdasarkan agama, misalnya, berkembang juga di mana-mana. Persoalan kebebasan beragama nampak di mana-mana. Tantangan yang berkaitan dengan keberlangsungan lingkungan itu serius terjadi di mana-mana.

Dalam lima tahun ini PGI merusmuskan tiga krisis dan satu tantangan.

Krisis kebangsaan, termasuk terkait dengan kualitas demokrasi, kemajemukan dan pengelolaannya, kekokohan Pancasila. Krisis lingkungan. Lalu krisis oikumene.

Satu tantangan yakni transformasi digital. Ini tantangan yang dahsyat saat ini. Bagaimana kita bicara segregasi manusia dan konsep manusia ke depan dalam perkembangan yang gila-gilaan dari transformasi digital. Kita harus merumuskan banyak sekali hal karena dalam kekristenan sendiri serius bergumul dalam hal ini. Lahir konsep-konsep atau diksi-diksi seperti virtual congregation, Gereja analog atau analog church. Tetapi juga dalam konsep kebangsaan, kita sudah berkelindan dengan konsep seperti virtual nationalism.

Katharina Reny Lestari  

HIDUP, Edisi No.20, Tahun ke-77, Minggu, 14 Mei 2023

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here