Mengapa Kisah Sengsara Yesus Dipertontonkan

105
Prosesi Jalan Salib
5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – Romo, kisah sengsara Yesus harus selalu diperagakan di paroki-paroki dengan memperlihatkan penyiksaan terhadap Yesus. Apakah ini tidak berarti mengajarkan kekerasan kepada anak-anak dan remaja? Mohon penjelasan. Saya pribadi menolak. Cukup dengan pembacaan passio di gereja.

 Veronika Lase, Surabaya

NABI Yesaya menubuatkan dalam Madah Hamba Yahwe yang menderita, “Kita tidak tertarik untuk memandang dia. Keindahan tidak ada padanya. … Dia dihina dan dihindari orang, dia seorang penuh kesengsaraan.. Dia sangat dihina, sehingga orang menutup mukanya terhadap dia” (Yes. 53:2-3). Demikianlah kita, yang lebih suka membayangkan serta memandang segala yang cenderung serba wah dan mewah, penuh gebyar dan pesona. Maka luka dan derita ingin kita hindari, kita tidak ingin memandang semua itu, memalingkan muka ketika kita menghadapinya. Padahal kekerasan nyatanya adalah wajah dunia kita sehari-hari.

Dalam homilinya di Hari Minggu Palma 2023, Paus Fransiskus menyebutkan ada tiga macam penderitaan dialami Yesus pada saat sengsara-Nya: derita rohani, jiwani dan juga derita badani. Derita badani tersebut dialami lewat pukulan, tamparan, deraan, mahkota duri dan terutama lewat penyaliban. Kekerasan dan penyiksaan yang dihadapi Yesus itu nyata, konkret. Sesuatu yang nyata dan konkret, bahkan menyakitkan, kalau lalu terlalu “diperhalus,” atau sekadar sebagai suatu narasi yang tidak menggigit dan mengusik jiwa, bahkan badani, bisa jadi lalu hanya sekadar sebagai kisah indah tak bergema dan tidak menggoncangkan, tidak membawa kita mempertanyakan berbagai pengalaman kekerasan yang nyatanya sampai sekarang masih saja terjadi, pengalaman mereka yang tanpa salah menderita luka dan bahkan penyiksaan karena naluri kekerasan penguasa dan jadi kurban tuduhan tanpa bukti.

Kita ingat rangkaian kisah para martir, mereka yang menumpahkan darah demi iman. Bahkan dikatakan, tetesan darah para martir itu menyuburkan iman Gereja. Yesus sendiri telah menubuatkan hal itu, “… menanggung banyak penderitaan dari tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh” (Mat 16:21). Banyak orang benar menjadi kurban penganiayaan dan bahkan pembunuhan oleh tokoh-tokoh agama (lih. Mat 23:34; Luk 11:49). Hal serupa dialami oleh para murid Kristus, penganiayaan (lih. 2 Tim 3:12). Bahkan Paulus menasihatkan agar kita tabah, sabar bahkan bermegah sehingga menemukan penghiburan di tengah segala derita (lih. 2 Kor 1:6; 1 Tes 2:14; 2 Tes 1:4), mengalami konsekuensi akibat dari kebencian, sehingga Yesus berdoa agar para murid dilindungi Bapa (lih. Yoh 17:14-15).

Salib, yang ditandai dengan luka dan derita, adalah kenyataan, dan tidak bisa diromantisir bagaikan suatu kisah indah dengan polesan simbolik belaka. Kekerasan adalah fakta yang masih menjadi kenyataan hingga saat ini. Maka kita pun diajak untuk membuka mata akan kenyataan tersebut, jangan menutup diri dari fakta kekerasan, yang juga dialami Yesus. Membuka mata akan fakta kekerasan yang dialami Yesus dan banyak orang hingga saat ini bukanlah untuk mengajarkan kekerasan, namun untuk menyadarkan akan kenyataan konkret bahwa kekerasan, penyangkalan dan pengkhiatan usianya telah sepanjang umur umat manusia. Cinta baru sejati kalau berani terluka, demikian kata Santa Teresa dari Kalkuta, keberanian memandang, dan bahkan memeluk luka merupakan bagian dari pergulatan iman kita. Bahkan dalam tradisi Gereja sering ditemukan ungkapan dari para kudus, Yesus semakin hadir dalam diri mereka yang semakin hancur dan menjijikkan bau dan hidupnya.

Direktorium kesalehan umat dan liturgi dari kongregasi tata ibadah Vatikan (2001) menyebutkan bahwa drama kisah sengsara yang dipentaskan merupakan suatu “pentas kudus” yang bisa dipandang sebagai bagian dari ungkapan kesalehan. Drama seperti itu sudah lama hidup dalam tradisi Gereja. Memang tidak selalu dan harus hal tersebut dibuat. Jika membuatnya, selain aspek kesesuaian dengan kisah nyata yang dialami Yesus, tetap dalam koridor tindak kesalehan, namun juga perlu memperhatikan nilai seni dramatuginya. Melepaskan iman dari seni merupakan suatu skandal, demikian baik Paulus VI maupun Yohanes Paulus II.

Jangan takut memandang luka, derita dan penganiayaan yang dialami Yesus, yang hendak digambarkan sekonkret dan senyata mungkin lewat drama kisah sengsara. Namun kita diajak untuk berefleksi: jangan lagi kita memelihara spiral kekerasan yang masih menjangkiti umat manusia hingga kini. Kekerasan kita tolak, namun jangan menutup mata akan fakta adanya kekerasan, pun yang dialami Yesus.

 

Pengasuh: Romo T. Krispurwana Cahyadi, SJ, Teolog, Tinggal di Ungaran

HIDUP, Edisi No. 21, Tahun Ke-77, Minggu, 21 Mei 2023

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here