St. Filippo Smaldone (1848-1923) : “Telinga dan Mata” bagi  Kaum Bisu-Tuli

113
St. Filippo Smaldone bersama anak-anak yang bisu dan tulis/www.storiadeisoerdi.or.id
Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM –  Sejak awal, ia ingin mengabdikan hidupnya bagi kaum miskin, terutama kaum bisutuli. Ragam tantangan mengasahnya menemukan panggilan sejatinya itu.

 KACAU balau, itulah potret kondisi Italia tatkala Filippo Smaldone menghabiskan masa kecilnya. Ia lahir di Napoli, Italia, pada 27 Juli 1848. Selain situasi masyarakat yang mengenaskan, tak banyak informasi tentang keluarga dan masa kecilnya.

Kemelut politik dan krisis ekonomi saat itu berakibat bobroknya tatanan sosial dalam masyarakat Italia. Kekuasaan diperebutkan demi prestise dan kepentingan pribadi penguasa.

Bahkan, Gereja pun terkontaminasi oleh kebobrokan akhlak yang menjamur di masyarakat. Harapan bahwa Gereja bisa menjadi penengah, kandas dan kondisi pun menjadi kian buruk. Banyak orang kecil menjadi korban dan tersingkir. Kemiskinan pun merajalela. Situasi itu terekam dalam memori Smaldone.

Reinkardasi Keuskupan

Di tengah gonjang-ganjing geopolitik, ekonomi, sosial, dan kebisuan Gereja, tumbuh kerinduan Smaldone untuk mereformasi keadaan itu. Ia bertekad menjadi imam agar bisa mengabdikan diri demi perbaikan Gereja.

Menjawab kerinduan hatinya, Smaldone memutuskan masuk seminari di Napoli. Formasi studi filsafat dan teologi dilakoni dengan penuh antusias. Ia ingin menjadi sahabat seperjalanan bagi kaum bisu-tuli dan kaum miskin yang terus berteriak minta tolong. Menjadi calon imam, Smaldone sudah menunjukkan kepekaan sosial kepada mereka. Waktunya banyak tersita bagi mereka yang tak digubris pemerintah Italia.

Kepekaan hatinya makin tajam kala berada di tengah mereka. Batinnya menderita kala mendengar curahan hati dan perjuangan mereka. Karena keterlibatannya di lapangan, Smaldone kehilangan banyak waktu untuk studi. Alhasil, ia diminta melanjutkan studi di Keuskupan Agung Rossano-Cariati agar bisa fokus dalam formasi calon imam. Buah panenan atas kegigihan menjalani panggilan terukir lewat rahmat tahbisan yang diterima pada 23 September 1871.

Usai tahbisan, Pastor Smaldone lagi-lagi memutuskan terjun di bidang pelayanan yang sama. Kecintaan akan tanah kelahirannya membawanya kembali ke Napoli. Tahun 1876, Pastor muda itu reinkardinasi lagi dari Keuskupan Agung Rossano-Cariati ke Keuskupan Agung Napoli.

Sejak itu, ia mulai berkatekese di tengah orang miskin. Ia belajar Bahasa syarat orang bisu, menjadi “mata” bagi orang buta. Kecintaannya kepada orang miskin kian menggila. Hal ini terekam pas wabah pes merebak di Napoli dan sekitarnya. Ia menambah intens kunjungan pastoralnya. Kesehatannya sendiri ia abaikan. Akibatnya, penyakit menular itupun menjangkiti dirinya. Ia terkena pes.

Godaan untuk Lari

Kesehatannya ini membuat Smaldone mengalami masa sulit. Keinginannya merasul yang menyala-nyala terhalang penyakit pes. Tak patah arang. Ia terus mewujudkan devosi kepada Bunda Maria dari Pompei. Tekun dan setia dalam devosinya. Baginya inilah harapan satu-satunya. “Berserah kepada Tuhan lewat Ibunda,” sebutnya.

Siang malam, ia tekun berkanjang dalam devosi. Alhasil, ketika raga sudah sekarang, Tuhan mendengar jeritan pintanya. Rahmat kesembuhan tercurah atas dirinya. Smaldone sembuh. Baginya, ini adalah mukjizat. Tuhan memberi lagi waktu panjangan untuk pelayanannya.

Pasca sakit, pastor rendah hati ini menjadi pengajar bisu-tuli. Tak semudah yang dibayangkan, karena banyak anak bisu-tulis frustasi atas pengajarannya. Metodenya terlalu sistematis, tak menyentuh jiwa mereka. Kondisi ini menampar tekad Smaldone. Ia depresi berat.

Hingga pada suatu titik, ia tergoda banting stir, merevisi orientasi mimpinya selama ini. Terbesit keinginan untuk menjadi misionaris, keluar Italia. Smaldone pun berbincang-bincang dengan pembimbing rohaninya, yang terus meneguhkan karyanya saat itu. Akhirnya, semangat misioner di tengah orang bisu tuli kembali berkobar. Ia sadar, misi sejatinya adalah apa yang sedang ia tekuni di Napoli.

Bapak Pengakuan

Usai siraman rohani itu, Smaldone total melayani. Ia berkarya bersama sebuah komunitas yang terdiri dari para pastor dan kaum awam. Selama bertahun-tahun, ia bergumul dalam kerasulan di tengah orang bisu-tuli bersama komunitas itu.

Pada 25 Maret 1885, Smaldone hijrah ke Lecce, Italia. Di sana, ia mendirikan institut bagi pendidikan bisu-tuli bersama Pastor Lorenzo Apicella dan sekelompok suster yang ia latih sendiri.

Institut di Lecce itulah cikal bakal Kongregasi Suster Salesian dari Hati Kudus, yang dikemudian hari ditetapkan sebagai rumah induk kongregasi. Kongregasi baru ini cepat bertumbuh. Pada 1897, dibuka institut yang sama di Roma dan Bari, Italia.

Ladang misi terus merebak tak saja bisu-tuli. Sayap-sayap kasih juga menyapa kaum tuna netra, yatim piatu dan mereka yang dibuang oleh keluarga. Ia menulis, “Tuhan mengirim kita cobaan dan kesengsaraan untuk pelunasan hutang kita pada-Nya.”

Nyatanya, menjadi orang baik untuk kaum lemah, belum tentu baik bagi pemerintah. Dewan kota bahkan menolak karyanya. Sementara gejolak internal, superior tarekat pertama mengundurkan diri. Tragedi ini berdampak visitasi apostolik panjang dari Takhta Suci atas tarekat itu. Smaldone tak pupus harapan. Kaki-kaki pengharapan diayunkan dengan menyusun dasar formasi religius bagi para suster. Badai itu secepat kilat berlalu.

Lantas pemerintah dan Gereja setempat angkat topi kepada imam sederhana ini. Ia menjadi bapak pengakuan sejumlah pastor, seminaris, dan perbagai komunitas religius. Ia mendirikan Eucharistic League of Priest Adorers dan  Women Adorers. Bahkan Ia dipercaya sebagai Superior Kongregasi Misionaris St. Fransiskus de Sales dan ahli hukum Gereja di Katedral Lecce.

Tarekat suster yang didirikan menuai panenan di ladang perutusan seluruh semenanjung Italia, Eropa, bahkan hingga lintas benua: Brazil, Moldavia, Paraguay dan Rwanda. Uskup Lecce Mgr Gennaro Trama (1856-1927) mendukung penuh pemekaran tarekat ini.

 Rahmat Terakhir

Kerja keras dan dedikasi pada pelayanan orang miskin, membuat raganya dihinggapi berbagai penyakit. Menjelang usia 75 tahun, 4 Juni 1923, Smaldone wafat karena diabetes akut dengan komplikasi penyakit jantung di Lecce. Saat sakit hingga wafatnya, ia dirawat para suster didikannya.

Pada 8 Mei 1996, Johanes Paulus II menganugerahinya gelar beato. Gereja menghargai keteladanan pastor dari Lecce ini karena totalitas pengabdiannya pada orang miskin, terutama kaum bisu-tuli.

Sepuluh tahun kemudian, 15 Oktober 2006, Benediktus XVI menggelarinya santo. Paus menyebut Smaldone sebagai imam yang berjiwa besar, hormat pada Ekaristi, dan setia dalam doa. Predikat pelayan kaum miskin, terutama penyandang bisu- tuli, terpatri dalam dirinya. Bagi Smaldone, Tuhan hadir dalam diri anak-anak penyandang bisu-tuli. Maka ketika orang bersujud pada Tuhan di hadapan Sakramen Mahakudus, sudah seharusnya ia bersujud di depan penyandang bisu-tuli. Gereja menobatkannya sebagai “Rasul bagi Orang Bisu-Tuli” dan menetapkan 4 Juni sebagai peringatannya.

Yusti H. Wuarmanuk

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here