Jelang FFA, KAJ Gelar “Film Making Workshop” bagi Pegiat Komsos Paroki 

372
Peserta "Film Making Workshop" berfoto bersama Monty Tiwa, panifia, dan pengurus Komisi Komsos KAJ. (Dok. Panitia)
5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – Komisi Komunikasi Sosial (Komsos) Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) menggelar program sehari bertajuk “Film Making Workshop” bagi para pegiat Seksi Komsos dari seluruh paroki yang dilayani oleh KAJ pada Sabtu (02/09/2023) di Aula Ignatius Loyola Paroki Blok B, Jakarta Selatan.

Lebih dari 150 orang menghadiri kegiatan yang berlangsung selama enam jam tersebut. Hadir sebagai narasumber adalah Monty Tiwa dan Ernest Prakasa. Monty, yang dikenal sebagai penulis skenario, sutradara, produser, dan komposer, membawakan sesi pertama tentang penyutradaraan. Sementara sesi kedua tentang penulisan skenario dibawakan oleh Ernest, salah seorang pendiri Stand-Up Comedy Indonesia dan sekaligus aktor, penulis skenario, dan sutradara.

Pelaksana program yang diselenggarakan dalam kerja sama dengan Tim Sinergi Bidang Prioritas 5 (TSBP 5) KAJ tersebut adalah Forum Komsos Paroki Dekenat Selatan. Mereka adalah Seksi Komsos Paroki Pasar Minggu, Seksi Komsos Paroki Cilandak, Seksi Komsos Paroki Tebet, Seksi Komsos Paroki Blok B, Seksi Komsos Paroki Jagakarsa, dan Seksi Komsos Paroki Blok Q.

Romo Reynaldo Antoni Haryanto, Pr (kanan) menyerahkan tanda kasih kepada Ernest Prakasa (Dok. Panitia)

“Terima kasih untuk Pak Monty yang tadi sudah memberikan materinya, berbagi, Dan juga Ernest, terima kasih banyak atas kehadirannya. Semoga ini bisa menjadi berkat buat kita semua, bisa kita pakai. Tujuan utamanya sebetulnya kan mengajak kita sekalian untuk semakin mempromosikan nilai-nilai Ajaran Sosial Gereja. Keuskupan Agung Jakarta, keuskupan kita, sedang angkat supaya itu semakin bergema, semakin banyak orang yang tahu, semakin banyak orang yang paham. Dan akhirnya semakin banyak orang tergerak untuk melakukannya,” ujar Ketua Komisi Komsos KAJ, Romo Reynaldo Antoni Haryanto, Pr, dalam sambutannya.

Sementara Hutomo Umhardani, anggota Komisi Komsos KAJ dan pengarah program, mengatakan kegiatan tersebut merupakan pre-event dari Festival Film Ardas (FFA) KAJ, yang mulai dirintis tahun lalu. Tema tahun ini adalah kesejahteraan bersama.

Hutomo Umhardani (depan, nomor dua dari kiri) berfoto bersama Romo Reynaldo Antoni Haryanto, Pr (nomor empat dari kanan) dan pengurus Komisi Komsos KAJ serta Monty Tiwa dan Ernest Prakasa (Dok. Panitia)

“FFA KAJ menjadi wadah bagi para pegiat Seksi Komsos untuk dapat berkarya melalui sarana audio-visual dalam mendukung sosialisasi program prioritas Ardas KAJ 2021-2026. Kualitas-kualitas konkret yang ingin dicapai dalam pelayanan di bidang liturgi dan pewartaan untuk semakin mengangkat nilai-nilai Ajaran Sosial Gereja,” ujarnya.

Rencananya, FFA KAJ akan digelar pada 25 November 2023. 

Penyutradaraan  

Mengawali paparannya, Monty menjelaskan kepada peserta tentang definisi sutradara, yakni orang yang memberi pengarahan dan bertanggung jawab atas masalah artistik dan teknis dalam pementasan drama, pembuatan film, dan sebagainya.

“Bisa kita simpulkan berdasarkan definisi tersebut bahwa penyutradaraan berarti sebuah proses kreatif seorang sutradara saat mengarahkan elemen artistik/teknis dalam pementasan drama, pembuatan film, dan sebagainya,” katanya.

Arah yang dituju dalam penyutradaraan, lanjutnya, adalah kebenaran yang disetujui oleh sebanyak mungkin orang. Dan biasanya kebenaran yang universal adalah sebuah kebenaran obyektif, bukan kebenaran subyektif atau milik sutradara seorang.

“Kenapa harus kebenaran universal? Agar bisa dipercaya oleh sebanyak mungkin orang atau penonton. Hingga mereka percaya bahwa yang mereka sedang tonton adalah realitas sebenarnya dan bukan palsu,” ungkapnya.

Monty Tiwa menyampaikan paparan tentang penyutradaraan. (HIDUP/Katharina Reny Lestari)

Menurut Monty, menjadi sutradara itu 70 persen psikologis dan 30 persen teknis. Sebanyak 30 persen teknis dapat dipelajari lewat internet, sementara 70 persen psikologis dapat diperoleh melalui pengalaman hidup.

“Kenapa psikologis? Kalian akan memimpin kurang lebih 100 orang, angka standar di industri perfilman. Di industri perfilman, ijazah atau pendidikan itu nomor dua atau tiga. Nomor satu adalah kalian bisa kerja atau tidak. Directing is psychological, gimana kalian bisa membuat 100 orang yakin bahwa visi kalian itu benar dan harus dikerjakan,” jelasnya. 

Penulisan Skenario

Dalam paparannya, Ernest menegaskan bahwa penulisan skenario membutuhkan sebuah premis sebagai langkah awal. 

Somebody wants something, but … . Ini adalah struktur sebuah premis. Ada tiga elemen, yakni somebody, something, dan but,” ujarnya, seraya menjelaskan bahwa somebody adalah protagonis atau karakter utama, something adalah tujuan dari karakter, dan but adalah tantangan yang dihadapi oleh karakter tersebut.

Menurut Ernest, semakin banyak karakter yang dimunculkan dalam sebuah drama atau film berarti semakin besar kesulitan yang dihadapi oleh penulis skenario. Yang terpenting adalah semua karakter mendapat pelajaran karena hal ini dapat menjadi berkat bagi penonton.

Ernest Prakasa menyampaikan paparan kepada peserta (HIDUP/Katharina Reny Lestari)

Terkait tujuan dari karakter, ia menggarisbawahi tiga hal, yakni urgency (urgensi), deadline (tenggat waktu), dan good implication (implikasi yang baik).

“Tujuan itu sesuatu yang urgen. Kalau tidak didapat akan ada konsekuensinya. Deadline harus dikejar. Kalau ada urgensi tapi tidak ada deadline, kenapa cerita harus terjadi sekarang? Good implication, ini supaya ketika kita memberi cerita yang baik, ada implikasinya. Tiga hal ini harus dimiliki oleh tujuan,” tuturnya.

Ia melanjutkan bahwa obstacle (tantangan) perlu dihadirkan dalam sebuah drama atau film. Ada dua hal yang perlu diingat terkait hal ini, yakni promise clear conflict dan well balanced. 

“Artinya harus cukup berat untuk karakter. Tapi pada saat yang sama membuat tidak terlalu berat. Ketika masalah dibuat terlalu berat, kita akan sulit menyelesaikannya,” katanya.

Ia mengakhiri paparannya dengan menyampaikan pesan kepada peserta agar menjalin kolaborasi yang baik dengan seluruh anggota tim.

“Kalau kita bicara festival film, membuat film, apa pun itu, pasti harus melibatkan semangat kerja sama yang tinggi. Jadi percuma teman-teman jago, punya ide bagus, tapi tidak bisa bekerja sama dengan baik. Itu percuma. Jadi ingat itu, semua harus bisa berkolaborasi dengan baik. Siapa pun yang bertugas sebagai pemimpin … pastikan menjadi pemimpin yang baik. Utamakan kolaborasi, tidak gampang tersinggung, mudah berkomunikasi dengan baik. Make it a team effort karena in the end of the day film ini sesuatu yang sangat kolaboratif,” pungkasnya.

Kesan

Romo Stefanus Ruswan Budi Sunaryo, MSF (HIDUP/Katharina Reny Lestari)

Salah seorang peserta, Romo Stefanus Ruswan Budi Sunaryo, MSF, mengatakan kepada HIDUP di sela-sela kegiatan bahwa ia mengikuti program tersebut untuk memperdalam pengetahuannya tentang penyutradaraan dan penulisan skenario.  

“Kebetulan saya juga dikasih tugas sama tarekat untuk belajar sinematografi. Sudah belajar dan beberapa kali bikin film juga. Ini kesempatan buat saya untuk memperdalam. Kebetulan pembicaranya juga asyik,” katanya. 

Ia mengaku memperoleh banyak pelajaran dari program tersebut.

“Kita harus mengikuti arus zaman. Dan pewartaan kita juga harus menyesuaikan kepada siapa kita mewartakan. Media sosial masih efektif sampai sekarang. Dan media apa saja selama masih efektif akan menjadi media pewartaan yang sangat bagus. Tergantung misi dan nilai-nilai yang disampaikan,” ujarnya.

Katharina Reny Lestari       

   

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here