Tahukan Anda Kisah Sebagian dari Relikui Tiga Raja Tersimpan di Katedral Wina

530
Relikui 3 Raja (Orang Majus) yang tersimpan di Katedral Stephan Vienna Austria. (Foto: Sr. Bene Xavier, MSsR)
5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – Dalam Kalender Liturgi Gereja Katolik Roma, setelah Natal (25 Desember) masih ada „Natal kedua“ yaitu Hari Raya Santa Maria Bunda Allah (1 Januari) dan “Natal ketiga“ yaitu 12 hari setelah Natal sebagai Hari Raya Penampakan Tuhan (6 Januari) yang seringkali juga dikenal dengan istilah Epiphani atau Tiga Raja (Orang Majus) dari Timur. Masa Natal ditutup dengan Pesta Pembaptisan Tuhan yang terjadi pada Hari Minggu setelah 6 Januari (Penampakan Tuhan).

Patung Tiga Raja yang ada di Katedral Stephan, Wina Austria. (Foto: Sr. Bene Xavier, MSsR)

Di Austria dan Jerman, Hari Raya Penampakan Tuhan selalu dirayakan tepat pada 6 Januari karena pemerintah menetapkan 6 Januari sebagai hari libur nasional. Situasi ini berbeda dengan Indonesia atau Jepang. Jika 6 Januari jatuh bukan pada Hari Minggu, maka Penampakan Tuhan (Epiphani) dirayakan pada Hari Minggu terdekat setelah 6 Januari. Dalam Buku Ibadat Harian tercatat, bila Hari Raya Penampakan Tuhan jatuh pada tanggal 7 atau 8 Januari, Pesta Pembaptisan Tuhan ditiadakan.

Apa artinya Epiphani dan apa yang dirayakan?

Epiphani berasal dari Bahasa Yunani „Epiphaneia“, yang berarti penampakan atau suatu misteri yang akhirnya terungkap. Lalu dalam Bahasa Latin diterjemahkan sebagai „Epiphania“, yang diartikan sebagai penampakan dewa secara kasat mata dan kunjungan seremonial seorang kaisar Romawi yang dihormati layaknya seorang dewa.

Pusat perayaan Epiphani adalah penampakan Tuhan dalam Yesus Kristus. Perayaan ini terutama mengingatkan kita bahwa perayaan inkarnasi Tuhan merupakan sebuah peristiwa yang jauh melampaui kelahiran Yesus di kandang di Betlehem. Jika pada perayaan Malam Natal kita diajak berfokus pada inkarnasi Tuhan dalam sosok bayi Yesus yang lahir di Betlehem, sedangkan dalam Epiphani kita diajak untuk berfokus pada penampakan diri Allah bagi seluruh dunia. Bukan hanya itu, dalam perayaan Epiphani pun sebetulnya kita diajak untuk mengingat tiga peristiwa penting dalam kehidupan Yesus, yaitu penghormatan bagi sosok Bayi Yesus yang dilakukan olrh para raja (Majus), pembaptisan Yesus oleh Yohanes Pembaptis di Sungai Yordan dan peristiwa mukjizat pertama yang dilakukan Yesus di Kana.

Bagaimana sejarah perayaan Epiphani?

Awal mula perayaan ini ditemukan di Mesir pada abad ketiga. Clement dari Alexandria menuliskan bahwa para pengikut Gnostik Basilides merayakan pembaptisan Yesus pada 6 Januari yang sebenarnya dianggap sebagai hari kelahiran Allah Putera. Pada saat itulah mereka melakukan pembersihan diri sebagai lambang pertobatan dan pengampunan dosa. Sedangkan dalam Alkitab dikisahkan bahwa Yesus dibaptis ketika dewasa dan saat pembaptisan itu terdengar suara dari langit „Inilah Anak yang Kukasihi“ (bdk. Mat 3:17; Mk 1:11; Luk 3:22).

Ada banyak dugaan bahwa 6 Januari bertepatan dengan perayaan kelahiran Yesus di Romawi pada masa itu (6 Januari dalam Kalender Gregorianus bertepatan dengan 25 Desember dalam Kalender Julianus). Di Alexandria sendiri dirayakan kelahiran Dewa Aeon (dewa waktu dan keabadian) pada malam 5 hingga 6 Januari. Menurut legenda yang ada, Dionysius mengambil air dari Sungai Nil, melakukan upacara dan mengubahnya menjadi anggur. Furius Dionysius Filocalus sendiri merupakan seorang kaligrafer (pengukir batu) asal Roma yang menulis Kronografi 354 atau Kalender 354, kelender Kristiani tertua.

Mengapa Natal dan Epiphani dirayakan secara berbeda?

Sejak 1582, Gereja-gereja Barat tidak lagi menggunakan Kalender Julianus, melainkan Kalender Gregorianus sejak pemerintahan Paus Gregorius XIII. Maka di tahun 1582 itulah pertama kali Perayaan Malam Natal dilakukan pada 24 Desember sebagai pendahuluan hari kelahiran Yesus yang diperingati

 

pada 25 Desember. Sedangkan Gereja-gereja Timur seperti Serbia, Georgia, Rusia dan Ukraina yang secara liturgi masih menggunakan Kalender Julianus, merayakan Malam Natal pada 6 Januari (menurut Kalender Gregorianus). Baru tahun ini (2024) sebagian Gereja Timur (terutama Ukarina akibat situasi perang) merayakan Natal pada 25 Desember.

Mengapa Sosok Tiga Raja muncul dalam Perayaan Epiphani?

Dalam Injil Matius dikisahkan tentang orang-orang Majus (diartikan sebagai orang bijak atau ahli nujum dari Timur) yang mengikuti konstelasi bintang datang dari Yerusalem atas perintah Herodes menuju Betlehem untuk mencari Raja Orang Yahudi yang baru lahir. Mereka menemukannya di kandang dan mempersembahkan emas, kemenyan dan mur (Mat 2:1-12).

Sedangkan Origenes (185 – 255 Masehi) yang pertama kali mengungkapkan tentang sosok tiga ahli sihir (penyembuh). Tertullian (160 – 225 Masehi) mengutip dari Perjanjian Lama untuk menggambarkan para ahli sihir sebagai sosok raja. Paus Leo Agung (abad ke-5) melihat adalah masuk akal bahwa emas, kemenyan dan mur sebagai tiga pembawa kebijaksanaan. Maka pada abad ke-8 muncul ide pemikiran bahwa ketiga raja tersebut merupakan perlambangan tiga jaman (pemuda, lelaki dewasa dan lelaki tua), tiga benua yang dikenal saat itu (Eropa, Asia, Afrika). Baru pada abad ke-9 dimulailah pemberian nama Caspar (digambarkan sebagai orang Afrika yang memberikan mur), Melkhior (digambarkan sebagai orang Eropa yang memberikan emas) dan Balthasar (digambarkan sebagai orang Asia yang memberikan kemenyan) untuk ketiga tokoh tersebut.

Relikui Tiga Raja

Diketahui bahwa Ratu Helena (Permasuri Romawi, ibu dari Kaisar Konstantinus) bukan hanya menemukan salib yang pernah digunakan untuk menyalibkan Yesus, kain yang dipakai Yesus, kerudung Bunda Maria, namun juga menemukan tulang belulang ketiga orang Majus. Atas perintah Ratu Helena relikui itu dibawa ke Konstantinopel dan kemudian dibawa ke Milan.

Kemudian pada 1164 atas perintah Uskup Agung Köln (pernah menjabat sebagai Kanselir Agung Italia sekaligus penasehat pribadi Kaisar Friedrich Barbarossa), Rainald von Dassel (1114 – 1167), relikui itu dipindahkan ke Katedral Köln, Jerman dan masih tersimpan di sana hingga saat ini. Hal ini yang membuat Katedral Köln menjadi pusat ziarah pada abad pertengahan dan tentu saja memperkuat perekonomian Köln pada masa itu.

Sebagian dari relikui tersebut juga tersimpan di Katedral Stephan, Wina Austria. Pada Perayaan Epiphani 6 Januari 2024 lalu, relikui tersebut ditempatkan secara khusus pada Altar Utama Katedral.

Tradisi Pemberkatan Rumah pada Epiphani

Dalam perkembangan selanjutnya, muncul tradisi pemberkatan rumah pada setiap Perayaan Epiphani. Dalam pemberkatan rumah ini, setiap pintu rumah akan dituliskan tahun dan tulisan C+M+B. Contoh penulisan pada tahun 2024 adalah 20+C+M+B*24. Angka 20 dan 24 menunjukkan tahun, tiga salib melambangkan Allah Tritunggal, CMB merupakan singkatan dari „Christus mansionem benedicat“ yang berarti Kristus memberkati rumah ini. Namun CMB seringkali orang salah mengartikan sebagai nama ketiga raja yaitu Caspar, Melkhior dan Balthasar. Pada proses pemberkatan rumah, akan dilakukan pendupaan dan pemercikan dengan air suci. Pada jaman dahulu kala, tindakan ini dianggap sebagai perlindungan dari hal-hal buruk bagi penghuni rumah, seperti penyakit atau berbagai marabahaya.

Aksi Tiga Raja

Sejak abad pertengahan juga muncul kebiasaan pada saat Epiphani, dimana anak-anak dan remaja akan berpakaian layaknya para raja dan mereka berkeliling dari rumah ke rumah. Sejak 1954, muncul sebuah organisari internasional „Dreikönigsaktion“ (Aksi Tiga Raja) yang menjalankan tradisi ini sebagai sarana mengumpulkan dana untuk keperluan membantu berbagai proyek sosial di berbagai negara.

Dana yang terkumpul dikelola oleh Dreikönigsaktion untuk berbagai proyek sosial di Asia (Papua New Guini, Myanmar, Filipina, India), Afrika (Afrika Selatan dan Kenya), Amerika Latin (Brasil) dan beberapa negara lainnya. Proyek sosial yang dilakukan antara lain untuk membantu pembiayaan fasilitas kesehatan dan pendidikan bagi anak-anak juga proyek pelatihan ketrampilan bagi perempuan- perempuan yang terjerat masalah prostitusi. Pada tahun 2023, seluruh hasil pengumpulan dana Dreikönigsaktion yang dilakukan di Jerman, disumbangkan untuk sebuah rumah singgah di Surabaya yang menangani anak-anak jalanan dan anak-anak yang tidak memiliki biaya untuk sekolah.

Sr. Bene Xavier, MSsR (Kontributor, Wina, Austria)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here