Trisomy 18

73
Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – DENGAN segenap hati, kau menghalau suara dokter Norman agar tidak menerobos gendang telingamu. Meski posisi dokter spesialis kandungan itu  hanya sekitar tiga jengkal dari tubuhmu, kau menganggapnya tiada. Diagnosisnya begitu runcing menusuk hatimu, mengguratkan jejak sakit dan perih tiada terkira. Kau sungguh tidak ingin mendengarnya.

Tubuhmu terasa lemas, tulang-belulangmu seakan merepih. Sejenak kesadaranmu melayang, sementara dokter tersohor itu membeberkan panjang lebar tentang keganjilan kondisi janinmu yang memasuki usia 20 pekan.

“Ini trisomy 18, kelainan kromosom nomor 18 yang dikenal sebagai Sindrom Edward, Bu. Kondisi janin ini agak fatal. Itu sebabnya, air ketuban di rahim Ibu berlebihan karena janin ini sulit menelan,” urai dokter Norman terus terang. Dengan mimik serius, ia mencermati layar ultrasonografi  (USG) lima dimensi yang canggih di hadapannya.

Dokter itu masih menyambung paparannya kendati hanya terdengar samar di telingamu.

“Jantung janin Ibu juga bocor,” lanjut dokter Norman. Suaranya melirih saat menunjukkan bagian jantung janinmu, sementara tangannya menggerak-gerakkan probe di permukaan perutmu.

Rudy, suamimu, yang berada di sisimu ikut lemas mendengarkan uraian dokter.

“Lalu, apa yang harus dilakukan, Dok?” desak Rudy.

“Ditunggu saja perkembangan berikutnya. Biasanya janin trisomy 18 akan meninggal dengan sendirinya. Kalaupun lahir, biasanya tidak bertahan lama,” urai dokter Norman dengan ekspresi prihatin.

Tiba-tiba, kau menimpali pernyataan dokter Norman yang sayup-sayup kau dengar.

“Biarkan dia hidup, Dokter!”

Seraya mengelus perut yang menggembung, yang terasa licin karena sisa gel  USG, tangismu mengiringi. Namun, realitas muram itu tidak serta-merta kau percaya. Tunas harapanmu tetap bersemi; semoga diagnosis itu meleset. Kendati sesungguhnya, kecanggihan USG lima dimensi nyaris tidak menyodorkan kekeliruan diagnosis.

“Biarkan dia hidup, Bang…” katamu kepada Rudy.

Sepulang dari rumah sakit, kau masih melanjutkan perbincangan dengan suamimu hingga pengujung malam. Kau tak habis pikir bagaimana janinmu menyandang trisomy 18. Beragam dugaan tercetus di antara dirimu dan Rudy. Katarsis luka pun mengalir bagai lahar gunung berapi dari relung hatimu.

“Aku menerima anak ini apa adanya,” hibur Rudy.

“Tuhan menitipkan anak istimewa kepada kita,” simpulmu dengan paras sembab.

“Kehadirannya menjadi sejarah bagi kita sebagai orang tua,” kata Rudy lagi seraya menggenggam erat telapak tanganmu.

Kegelapan malam kian pekat menuju pergantian hari. Angin berembus basah. Kau nyaris tak memejamkan mata di sepanjang malam. Resah menyesah hatimu.

***

 

Normalnya, setiap manusia memiliki 46 kromosom; 23 kromosom dari ibu dan 23 kromosom dari ayah. Pada kasus trisomy 18, terjadi kelainan genetik akibat salinan ekstra dari kromosom 18. Kromosom 18 memiliki satu salinan tambahan. Alhasil, yang seharusnya ada dua kromosom 18, menjadi tiga kromosom.

Kelainan ini menyebabkan cacat pada banyak organ tubuh janin, Pada sebagian besar kasus, bayi yang dilahirkan dengan trisomy 18 meninggal saat masih berada di dalam kandungan. Sementara bayi yang lahir dengan sindrom ini biasanya berusia relatif pendek karena banyak organ tubuhnya yang cacat. Meski demikian, ada juga penyandang trisomy 18 yang bertahan hingga usia 20 sampai 30 tahunan, tergantung pada tingkat keparahan organ-organ tubuh yang cacat.

Dari beragam sumber, kau mendulang beragam informasi di seputar trisomy 18. Hingga pada akhirnya, kau bertelut memasrahkan realitas ini kepada Sang Ilahi.

“Anak adalah titipan-Nya. Rupanya, aku dipercaya menjadi ibu seorang anak dengan kondisi khusus,” simpulmu saat aku menjengukmu menjelang persalinan. Saat itu, kau sempat menyelipkan berita kehamilan anak keempat iparmu. “Nina beruntung. Bayi keempatnya dinyatakan sehat padahal umur Nina sudah 43 tahun, usia yang rawan untuk melahirkan anak cacat…,” ucapmu.

Rasa kagumku menjulang melihat keberserahanmu yang sedemikian mendalam. Tiada keluh ataupun protes terluncur dari mulutmu. Aku tidak berani membayangkan seandainya hal demikian terjadi padaku…

Kau menyadari, untuk merawat anak dengan kondisi khusus butuh gelontoran dana yang tiada henti. Uang bagai berkaki seribu! Namun, keyakinanmu merimbun; Sang Pencipta tidak sekadar menitipkan seorang anak istimewa tetapi juga dana yang memadai untuk merawatnya.

“Apa pun yang terjadi aku sudah pasrah,” ucapmu dengan tatapan lengang.

Menjelang hari H kelahiran, sebagaimana calon ibu pada umumnya, kau menyiapkan diri secara fisik seraya esktra menata hati demi menyambut bayimu yang menyandang trisomy 18.

Aku mengunjungimu lagi, sehari sebelum kau menjalani operasi Caesar. Kau tengah merapikan almari baju bayimu. Semua serba merah muda karena jabang bayimu berjenis kelamin perempuan. Hembusan kipas angin mempermainkan helai-helai rambutmu hingga rada acak-acakan. Kau tidak memedulikannya. Konsentrasimu telah tercurah pada persiapan kelahiran bayimu.

Dua hari berselang, aku mengunjungimu lagi. Kudengar berita lelayu; bayimu telah berpulang. Ia hanya bertahan sehari semalam saja. Kendati trisomy 18 yang disandangnya bukanlah jenis yang kompleks, ternyata ia tidak bertahan.

“Kehendak Tuhanlah yang terbaik untukmu dan Rudy. Anakmu tidak ingin menyusahkanmu,” hiburku tak kuasa membendung air mata. Kesedihan ikut menyusup ke bilik dadaku.

Kau terpaku dalam duka.

“Bagaimanapun, aku sudah menjadi ibu. Aku sudah sempat menggendongnya…,” balasmu dengan tatapan lengang.

“Kau sudah menjadi ibu dan kau akan mendapat bayi lagi suatu saat,” hiburku.

“Ikhlaskan si baby,  Mila,” sambungku.

Kau berupaya membendung tangis kendati tengah terjerumus ke dalam duka yang curam. Sementara aku seakan kehabisan kata untuk membesarkan hatimu atau sekadar menghiburmu.

Sepulang dari kediamanmu, kugantungkan harapan di tangan Sang Ilahi melalui darasan doaku. Semoga kau dan Rudy segera ceria kembali, meniti pematang kehidupan yang terkadang terjal dan berliku. Kiranya kau sanggup mengikhlaskan sang jabang bayi yang telah bersemayam sekitar 40 pekan di dalam ceruk peranakanmu, melebur bersama detak jantungmu.

***

Malam itu, selepas digilas aktivitas, aku kembali datang ke kediamanmu. Sesuai undanganmu, aku ingin berhimpun dengan keluarga dan relasimu guna memperingati 40 hari kepergian bayimu. Sengaja aku datang lebih awal sebelum tamu-tamu lain berdatangan.

Kendati meja altar dan kursi-kursi tamu telah tertata rapi, rumahmu masih senyap. Tetapi, di selasar rumah, aroma minyak telon menyengat hidungku. Benakku sempat disinggahi pikiran janggal. Apakah arwah bayimu datang? Sejurus berselang, tangisan bayi memecah keheningan. Tiba-tiba, kau sudah berdiri di hadapanku sembari menggendong bayi perempuan dengan tangis melengking. Pemandangan yang menelentang di depanku itu membuat aku terkesima.

“Hai Tante Maria, terima kasih sudah datang untuk memperingati kepergian baby Amanda. Kenalkan aku, baby Sabrina, sepupu Amanda,” katamu dengan nada suara bocah. Di bawah tempias cahaya lampu, kau tampak berseri. Sesaat kutelisik parasmu, tak lagi terlacak duka bertapak di situ. Senyum kembali merekah, mempertegas kecantikanmu.

Aku terdiam. Sementara dari balik jendela, kutatap hujan deras memberingas layaknya hendak menebas bias-bias duka di hatimu.

Oleh Maria Etty

Majalah HIDUP, Edisi No. 53 Tahun Ke-77, Minggu, 31 Desember 2023

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here