Rasul Awam Bernama Paulus Tjen On Ngie dari Keuskupan Pangkalpinang

143
Monumen Paulus Tjen On Ngie (Foto: Caroline Fennie)
Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – Penyebaran agama Katolik dirintis rasul awam Paulus Tjen On Ngie seabad sebelum Keuskupan Pangkalpinang terbentuk.

Seratus tahun lalu, tepatnya 27 Desember 1923 adalah awal sejarah dimulainya Keuskupan Pangkalpinang. Saat itu berdiri Prefektur Apostolik Banka Belitong, yang nantinya berkembang menjadi Vikariat Apostolik pada tanggal 8 Februari 1951 dan pada tanggal 3 Januari 1961 menjadi Keuskupan Pangkalpinang (Keuskupan sufragan dari Keuskupan Agung Medan) bersama 25 keuskupan lain di seluruh Indonesia saat itu. Namun, 27 Desember 1923 bukanlah awal dari sejarah Gereja Keuskupan Pangkalpinang.

Gereja Katolik dimulai kira-kira seabad sebelumnya, yaitu pada tanggal 5 September 1830. Pada tanggal itu seorang awam, Paulus Tjen On Ngie yang berasal dari Tiongkok mendarat di Pulau Bangka, tepatnya Kota Muntok. Sebelum tiba di Pulau Bangka, Paulus Tjen On Ngie terlebih dulu mengunjungi Malaka dan dibaptis di Penang pada tahun 1827.

“Jadi, misionaris kita yang pertama adalah seorang awam yang berasal dari Tiongkok. Beliau adalah seorang tabib yang bekerja mengobati para kuli parit di tambang-tambang timah. Sekaligus beliau juga memperkenalkan iman Kristiani Katolik,” demikian Uskup Keuskupan, Mgr. Adrianus Sunarko, OFM menyampaikan dalam homili pada Perayaan Ekaristi Puncak Perayaan 100 Tahun Keuskupan Pangkalpinang di GOR Sahabudin, Pangkalpinang, Minggu (31/12/2023).

Uskup Pangkalpinang, Mgr. Adrianus Sunarko, OFM menyalakan lilin saat perayaan 100 Tahun Keuskupan Pangkalpinang.

Uskup melanjutkan, menurut catatan alm. Romo Hendrawinata, di rumah Paulus Tjen On Ngie di Sungaiselan ditemukan semacam altar, disertai salib, patung dan gambar orang kudus serta buku doa berbahasa Tionghoa. Semula ia mengirimkan orang-orang yang telah dipersiapkan ke Singapora untuk dibaptis, sebelum kemudian dikirim ke Batavia. Baptisan pertama di Pulau Bangka sendiri terjadi pada tahun 1849. Sekitar 50 katekumen yang telah dipersiapkan oleh Paulus Tjen On Ngie dibaptis oleh Pastor Adamus C. Claessens yang diutus dari Batavia oleh Mgr. P. M. Vrancken.

Setelah itu umat di Bangka mendapat pelayanan dari imam-imam diosesan yang dikirim dari Batavia (1853-1867). Salah satunya adalah Pastor Jan Josef Langenhoff (yang juga sudah sempat mengunjungi wilayah di Kepulauan Riau). Setelah sempat melalui fase vakum, sejak 1871-1889 umat dilayani para imam Yesuit. Pada tanggal 30 Juni  1911 didirikanlah Prefektur Apostolik Sumatera dan Gereja di wilayah Bangka, Belitung serta Kepri menjadi bagian dari prefektur yang baru ini, tidak lagi dari Batavia.

“Pada tahun itu dimulai pulalah pelayanan para imam dan bruder Kapusin ( OFM Cap). Pada masa ini pusat misi dipindah dari Sungaiselan ke Sambong. Pada masa ini pula (1918) kepada Gereja diberikan tanah luas di Kampung Cambai yang sampai sekarang kita kenal sebagai Kebun Sahang; dengan syarat, bahwa Gereja mendirikan sekolah HCS di Sambong,” lanjut Uskup.

Tampak depan Katedral Santo Yosef Pangkalpinang tahun 1959, tempat di mana tahta uskup Pangkalpinang pertama hingga saat ini berada. (Foto/Repro : caroline fennie)

Gereja terus berkembang hingga kemudian didirikan Prefektur Apostolik Banka Belitong pada 27 Desember 1923. Setahun kemudian, tepatnya 14 Agustus 1924 dimulailah pelayanan para religius dari tarekat SS.CC (dengan 5 misionaris yang tiba di Muntok) yang terus berkarya hingga didirikannya Keuskupan Pangkalpinang. Pada masa pendudukan Jepang, Mgr. Vitus Bouma, SSCC menjadi Perfektur Apostolik Bangka, Belitung dan Riau, dengan imam pendamping Romo Johannes Mario Boen Thiam Kiat. Ia adalah imam projo pertama di Indonesia. Imam kelahiran Pulau Bangka. Dalam karya pelayanannya, Romo Johannes Mario Boen Thiam Kiat dibantu Bruder Angelus, BM.

“Kita bersyukur atas sejarah keuskupan kita dan penyertaan Allah. Kita mengenangkan dengan penuh terima kasih kepada para pendahulu kita, misionaris, umat yang membuka hati, imam, bruder dan suster dari berbagai tarekat,” ujar Mgr. Adrianus melanjutkan homilinya.

Kontribusi Nyata untuk Negara

Selain menyampaikan sejarah perkembangan Gereja, Uskup Adrianus juga menekankan perlunya Gereja yang cinta tanah air. “Kita bersyukur, bahwa kita menjadi bagian dari Gereja Indonesia yang sejak awal pergerakan menuju kemerdekaan dan mempertahankannya, turut terlibat aktif. Kita memiliki pahlawan-pahlawan Katolik, seperti Agustinus Adi Sucipto, Ignasius Slamet Riyadi, I.J. Kasimo, Uskup Albertus Sugijapranata SJ, Yosafat Sudarso, dll.,” tutur Uskup.

Upacara pentahtahan uskup pertama Keuskupan Pangkalpinang,  Mgr. Van der Westen, SSCC di Katedral Santo Yosef, Pangkalpinang. (Foto/Repro : caroline fennie)

Sejarah juga mencatat peran khas dari masyarakat Bangka khususnya, Pangkalpinang. Selain Depati Amir sebagai pahlawan nasional, Bangka memiliki peran unik, khususnya dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Bung Karno dan Bung Hatta pernah menjalankan pemerintahan dan memimpin perlawanan dari Bangka saat diasingkan Belanda pada periode 1948-1949. Keduanya ditangkap Belanda dan diasingkan ke Bangka. Presiden dan Wakil Presiden pertama itu dikembalikan ke Yogyakarta setelah perjanjian Roem-Royen yang mengakui Yogyakarta sebagai bagian dari Republik Indonesia ditandatangani di bulan Mei 1949.

Menurut sejarahwan Universitas Gajah Mada (Sri Margana): Tanggal  6 Juli 1949, Presiden Soekarno dan rombongan diizinkan kembali ke Kota Yogyakarta dari Pulau Bangka. Pada tanggal 4 Juli 1949 mereka berpamitan kepada rakyat Bangka dalam sebuah acara di Muntok yang dihadiri sekitar 300 orang. Pada hari berikutnya diadakan lagi di Bangka yang dihadiri sekitar 3000 orang. Pada waktu itu diserahkan dana bantuan kepada Soekarno sebesar sekitar Rp 14 Milyar. Distrik-distrik: Pangkalpinang, Petaling, Sungaiselan, Sungailiat,  Toboali, Koba, Muntok, Jebus, Baturusa dan Belinyu.

“Dana itu didapat dari para dermawan, hasil pertunjukan amal, lelang barang, dan penjualan bunga oleh kaum perempuan muda dan ibu-ibu di Bangka.” Hal itu tercatat dalam lembaran negara (oleh Panitia Penyokong Pembangunan Djogjakarta (tanggal 22 Juni 1949).

Mgr. Van der Westen, SSCC menduduki katedranya didampingi imam diosesan pertama Indonesia yang adalah imam Tionghoa kelahiran Pulau Bangka, RD Johannes Mario Boen Thiam Kiat (kanan uskup). (Foto/Repro : caroline fennie)

Sukarno sangat terkesan,  karena pengumpulan itu dilakukan terang-terangan di hadapan para pejabat dan tentara Belanda. Sukarno menyebut rakyat Bangka sebagai Republiken sejati. “Dari Pangkalpinang Pangkal Kemenangan Bagi Perjuangan”. (”Abdul Gaffar Pringgodigdo dalam buku Memoar Bung Hatta, mengatakan bahwa pada saat kami dari Muntok menuju Pangkalpinang untuk bertemu KTN, sesungguhnya saat ini ada dua pusat diplomasi politik internasional, yaitu di Washington DC dan di Bangka”.)

Upacara pentahtahan uskup pertama Keuskupan Pangkalpinang, Mgr. Van der Westen, SSCC di Katedral Santo Yosef, Pangkalpinang. (Foto/Repro : caroline fennie)

“Jangan-jangan ada satu atau dua orang di antara 3.000 orang yang mengantar Soekarno itu? Atau satu orang di antara 300 orang di Mentok? Atau sejumlah rupiah yang disumbangkan orang Katolik? Marilah kita menjadi Gereja yang turut aktif memberi kontribusi nyata bagi perkembangan bangsa dan negara Indonesia,” ajak Uskup di hadapan sekitar 3.000 umat saat Perayaan Ekaristi Puncak 100 Tahun Keuskupan Pangkalpinang di GOR Sahabudin, Pangkalpinang, Minggu (31/12/2023).

Disarikan oleh Caroline Fennie dari homili Uskup Pangkalpinang, Mgr. Adrianus Sunarko, OFM saat Perayaan Ekaristi Puncak 100 Tahun Keuskupan Pangkalpinang, Minggu (31/12/2023).

Majalah HIDUP, Edisi No. 02, Tahun Ke-78, Minggu, 14 Januari 2024

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here