Maya Stolastika Boleng : Petani Organik Milenial

78
Maya Stolastika Boleng/Dok. Ist
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COM – Lewat pertanian, ia mengajak generasi milenial untuk berdiri di atas kaki sendiri.

INDONESIA negara agraris, tetapi banyak anak muda menolak jadi petani. Sektor pertanian bukan pilihan utama anak muda Indonesia. Padahal kekayaan alam subur, kondisi udara yang cocok, serta persediaan air melimpah.

Data Badan Pusat Statistik 2022 memperlihatkan pertanian masih menjadi bidang pekerjaan yang banyak ditekuni masyarakat bila dibandingkan sektor lainnya. Tetapi ada catatan merah bahwa sektor ini bukan andalan orang muda. Nampak ada regenerasi pertanian yang terputus. Sebagian besar petani Indonesia saat ini masih didominasi kelompok usia senior. Dari 135, 61 juta penduduk Indonesia, 29, 96 persen atau 40, 64 juta orang di berprofesi sebagai petani, hanya 3.94 juta petani saja yang berusia 16-30 tahun. Dari sekian persen petani muda, ada Maya Stolastikat Boleng.

“Jadi petani itu adalah profesi yang menginspirasi. Saya ingin mengajarkan orang muda untuk tidak saja konsumtif, tetapi juga harus produktif. Berdiri di atas kaki sendiri,” sebutnya. Kini ia menjadi petani organik sukses di Mojokerto, Jawa Timur.

Gagal Panen

Menjadi petani milenial bukan peta karir Maya. Awalnya ia ingin menjadi guru, karena itu mengambil kuliah di Sastra Inggris. Namun dalam perkembangan, dirinya tergugah dengan situasi dan kondisi masyarakat yang sangat konsumtif. Ada beberapa gagasan yang menguat dalam pengalamannya kala bertemu para petani bahwa orang bisa mengonsumsi hasil produksi petani, tetapi tidak menghargai profesi petani. Belum lagi edukasi dan pelatihan pertanian masih menjadi barang langka di masyarakat urban.

Realitas lain yang menguat adalah kurang adanya wadah perkumpulan para petani yang bisa mensejahterakan petani. Di sisi lain, bantuan pemerintah kepada para petani belum memadai. Situasi lain adalah produk langsung dari petani seringkali dibeli murah dan dijual mahal. “Mereka bekerja dari pagi sampai malam, tetapi belum sejahtera. Mereka tetap miskin karena sistem sosial masyarakat yang otoriter,” ujarnya.

Sejak menjadi petani, Maya mencoba mengubah pola pikir para petani sekaligus masyarakatnya. Ia tidak saja membuka lapangan kerja lewat beberapa perkebunannya, tetapi aktif mengedukasi petani tentang banyak hal. Misalkan literasi keuangan, membentuk wadah perkumpulan petani agar saling mendukung.

Wanita kelahiran Waiwerang, Larantuka, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur ini bercerita bahwa sejak lulus dari Universitas Negeri Surabaya, ia terpanggil mengguluti dunia pertanian. Waktu itu tahun 2008, Maya masih menjadi mahasiswa. Ia mengajak empat orang teman untuk bertani. Mereka menyewa tanah di Desa Telaket, Pacet, Mojokerto. Dana awalnya didapat dari mengumpulkan uang hasil berjualan pulsa dan honor sebagai guru bimbingan belajar untuk menyewa lahan tersebut.

Dengan bantuan para petani sekitar dalam hal mengolah tanah, ia pelan-pelan bercocok tanam. Hasil pertamanya gagal, tidak memuaskan. “Maklum pemahaman saya masih minim. Sudah dijelaskan dengan baik oleh para petani, tetapi gagal.” Sebutnya lagi, “Tahun pertama itu benar-benar babak belur, tidak ada untung. Benar-benar rugi.”

Pemahamannya tentang pertanian semakin bertambah kala dirinya pindah ke Bali tahun 2012. Hal ini berawal dari pertemuannya dengan seorang guru yoga yang memperkenalkannya pertanian organik dan filosofi memberi lewat pertanian. Di Pulau Dewata itu, ia kembali menyewa tanah seluas 3000 ribu meter persegi. Lahan itu untuk mendirikan badan usaha bernama Twelve’s Organic. Ia memilih menjalankan pola pertanian organik di lahan itu. “Petani organik itu ada banyak manfaat seperti agar tetap menjaga ketahan tanah, keseimbangan ekosistem, dan kelestarian lingkungan sekitar.”

Kesejahteraaan Bangsa

Pendirian Twelve’s Organic menjadi awal mula kesuksesan Maya menjadi seorang petani milenial. Setahun menjalankan Twelve’s Organic, dirinya berhasil memasok hasil panen dari lahan pertaniannya untuk dikirim ke supermarket dan hotel. Ia juga memasarkan hasil panen lewat media sosial agar bisa memutus rantai distribusi yang dianggapnya tidak adil bagi para petani.

Saat ini Twelve’s Organic sudah memiliki beberapa kebun yang tersebar di Dusun Claket dan Dusun Mligi, Pacet, Mojokerto. Maya juga membimbing puluhan petani yang dibagi dalam dua kelompok tani berdasarkan spesifikasinya, yakni Kelompok Petani Madani yang fokus kepada sayuran dan Kelompok Petani Swadaya yang fokus menanam raspberry dan blueberry, serta membuat pupuk organik.

Soal profesinya, Maya menyebutkan para petani harusnya memiliki kebebasan memilih tanaman tanpa terbebani permintaan tengkulak. Distribusi hasil pertanian yang tidak adil, akan mencekik pendapatan para petani. “Para petani harus memiliki kebebasan memilih tanaman apapun, asalkan itu bermanfaat bagi masyarakat,”katanya.

“Ada sekat antara hubungan hulu dan hilir, petani ketika menaman tidak mengetahui siapa konsumennya atau konsumen saat membeli tidak mengetahui siapa petaninya. Distribusi yang tidak tepat ini seringkali mencekik petani,” tegasnya.

Total, Twelve’s Organic sudah memilik lebih dari 25 petani sayur dan buah. Mereka sudah memiliki pasar yang jelas yaitu 80-an rumah tangga, 5 supermarket, dan 4 restoran. Seringkali juga Twelve’s Organic mengundang tamu dari luar negeri untuk datang ke kebunnya. Mereka belajar cara bertani organik dan saling bertukar pengetahuan.

Tahun 2013, jika tadinya cuma merambah supermarket, kini mereka mulai memasok sayuran, buah-buahan dan bumbu dapur organik ke banyak hotel. Bahkan lahan pertaniannya ia sulap menjadi seperti pasar swalayan modern. Masyarakat kapan pun datang untuk melihat, bisa langsung membeli atau menanam tanaman secara langsung dari lahan pertanian tersebut. Banyak sekolah memanfaatkan lahannya untuk wisata alam sembari mengenal dunia pertanian.

Maya Stolastika Boleng/Dok. Ist

Berkat ketekunannya, Maya telah mendapat berbagai macam penghargaan. Tahun 2016, Maya berhasil mendapatkan penghargaan sebagai Duta Petani Muda Pilihan Oxfam Indonesia. Tiga tahun berselang, dirinya kembali mendapatkan sebuah penghargaan sebagai salah satu penerima Apresiasi Semangat Astra Terpadu untuk Indonesia (SATU) Indonesia Awards 2019 di bidang lingkungan.

Salah satu fokus Twelve’s Organic saat ini adalah terus mengedukasi para petani dengan berbagai kursus eksklusif, agar petani lebih mandiri dan bisa mempunyai pasar sendiri. Ia juga terus membantu para petani agar tidak tergantung pada para tengkulak atau pedagang perantara. Mereka datang membeli harga murah kepada petani, tetapi menjual mahal di pasar. “Kalau bicara soal sistem sudah terjadi bertahun-tahun, ya ini sudah menjadi fakta yang tidak bisa terbantahkan. Hampir satu desa itu minimal ada tiga tengkulak,” ungkapnya.

Dengan bertani, Maya punya harapan sederhana agar semakin banyak orang muda terpanggil untuk mengembangkan sektor pertanian. Ini pekerjaan kasar bila dibandingkan punya startup atau bekerja di perusahaan asing dan sebagainya. “Tapi ingat bahwa tanpa petani, kita tidak bisa berbicara soal kesejahteraan bangsa, soal kemapanan ekonomi bangsa. Yang muda yah bertani,” tutup Maya.

Yustinus Hendro Wuarmanuk

Profil:
Maya Stolastika Boleng
Lahir              : Waiwerang, Larantuka, Flores Timur, 11 Juni 1985.
Pendidikan    : Prodi Bahasa Inggris, Universitas Negeri Surabaya
Pekerjaan      : Petani
Karya             : Twelve’s Organic

  • Kelompok Petani Madani (sayuran)
  • Kelompok Petani Swadaya (raspberry dan blueberry, serta membuat pupuk organik

Penghargaan : –    Duta Petani Muda pilihan Oxfam Indonesia (2016)

  • Semangat Astra Terpadu untuk Indonesia (SATU) Indonesia Awards bidang lingkungan hidup (2019)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here